Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia

Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia 
Konstitusi secara sederhana oleh Brian Thompson dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang berisi aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yang me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Kata kunci­nya adalah konsensus atau general agreement.

Oleh karena itu, karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah satu konsensus dasar yang termaktub dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu. Konstitusi dibuat berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai.

Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter yang unik. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang secara intrinsik tidak ada yang bersifat superior satu diantara yang lainnya. Dalam hubungannya dengan pembentukan sistem hukum, von Savigny menyatakan bahwa suatu sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotetis dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity).

Dengan demikian akar hukum dan ketatanegaraan suatu bangsa yang diatur dalam konstitusi dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, akar ketatanegaraan Indonesia modern dapat dilacak dari Hukum Tata Negara Adat yang pernah berlaku di kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang pernah hidup di wilayah nusantara. Bahkan hukum tata negara adat juga masih dapat dijumpai hidup dan berlaku dalam lingkup masyarakat hukum adat.

Oleh karena itu mempelajari hukum tata negara adat diperlukan sebagai bagian dari upaya memahami ketatanegaraan Indonesia modern serta mengenali identitas bangsa Indonesia yang senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keberagaman. Selain itu, mempelajari hukum tata negara adat dengan kontekstualisasi terhadap ketatanegaraan Indonesia modern juga akan mendekatkan konsep-konsep konstitusi modern terhadap masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat hukum adat. Dengan demikian konstitusi memiliki akar dan benar-benar menjadi bagian dari sistem hidup masyarakat, dipraktikkan dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat (the living constitution).

Hukum Tata Negara Adat dalam Pembahasan BPUPK
Proses pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK menunjukkan bahwa UUD 1945 dibuat dengan cita-cita dan spirit yang berakar dari semangat bangsa Indonesia yang khas, serta pengalaman ketatanegaraan adat yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari pidato Soekarno, Soepomo, bahkan Muhammad Yamin. Spirit bangsa Indonesia dari semua golongan yang ada diungkapkan oleh Soekarno menjadi lima dasar, yaitu Pancasila. Inilah salah satu bentuk kesepakatan mengenai filosofi pemerintahan yang dapat disepakati bersama (general acceptance of the same philosophy of government) . Kesepakatan tersebut terjadi karena Pancasila memiliki akar dalam masyarakat Indonesia sehingga disetujui oleh para pendiri bangsa, sebagaimana dikemukakan dalam pidato Soekarno berikut ini.

Kita bersama-sama mentjari philosophische grondslag, mentjari satu “Weltanschauung” jang kita semuanja setudju. Saja katakan lagi setudju! Jang saudara Yamin setudjui, jang Ki Bagoes setudjui, jang Ki Hadjar setudjui, jang saudara Sanoesi setudjui, jang saudara Abikoesno setudjui, jang saudara Lim Koen Jian setudjui, pendeknja kita semua mentjari satu modus.

Soepomo menyatakan bahwa dasar dan susunan negara berhubungan dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial dari negara itu sendiri. Oleh karena itu pembangunan negara Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia yang ada, seperti yang disampaikan oleh Soepomo pada rapat BPUPK sebagai berikut.

Sungguh benar, dasar dan bentuk susunan dari suatu negara itu berhubungan erat dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial (sociale structuur) dari negara itu. Berhubung dengan itu apa jang baik dan adil untuk suatu negara, belum tentu baik dan adil untuk negara lain, oleh karena keadaan tidak sama.

Tiap-tiap negara mempunjai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan riwajat dan tjorak masjarakatnja. Oleh karena itu, politik Pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan “sociale structuur” masjarakat Indonesia jang njata pada masa sekarang, serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman, misalnja tjita-tjita Negara Indonesia dalam lingkungan Asia Timur Raya.

Muhammad Yamin juga menyatakan bahwa yang dapat menjadi dasar negara adalah dari susunan negara hukum adat. Hal itu dikemukakan oleh Yamin berikut ini.

Dari peradaban rakjat jaman sekarang, dan dari susunan Negara Hukum adat bagian bawahan, dari sanalah kita mengumpulkan dan mengumpulkan sari-sara tata negara jang sebetul-betulnja dapat mendjadi dasar negara.

Salah satu wujud hukum tata negara adat yang menjadi ciri ketatanegaraan Indonesia adalah prinsip musyawarah. Musyawarah diperlukan agar penyelenggara negara dapat menjalankan tugasnya mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan cita-cita rakyat. Musyawarah merupakan forum pengambilan keputusan sekaligus pembatasan kekuasaan. Konsep musyawarah telah dikenal dan dipraktikkan dalam ketatanegaraan adat di wilayah nusantara. Soepomo menyatakan

Menurut sifat tatanegara Indonesia yang asli, jang sampai sekarangpun masih dapat terlihat dalam suasana desa baik di Djama, maupun di Sumatera dan kepulauan-kepulauan Indonesia lain, maka para pendjabat negara ialah pemimpin jang bersatu-djiwa dengan rakjat dan para pendjabat negara senantiasa berwadjib memegang teguh persatuan dan keimbangan dalam masjarakatnja.

Kepala desa, atau kepala rakjat berwadjib menjelenggarakan keinsjafan keadilan rakjat, harus senantiasa memberi bentuk (Gestaltung) kepada rasa keadilan dan tjita-tjita rakjat. Oleh karena itu, kepala rakjat “memegang adat” (kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala gerak-gerik dalam masjarakatnja dan untuk maksud itu, senantiasa bermusjawarah dengan rakjatnja atau dengan kepala-kepala keluarga dalam desanja, agar supaja pertalian bathin antara pemimpin dan rakjat seluruhnja senantiasa terpelihara.

Yamin juga menegaskan bahwa prinsip musyawarah merupakan sifat peradaban bangsa Indonesia yang asli, bahkan sebelum masuknya Islam. Prinsip musyawarah lah yang menyusun masyarakat dan ketatanegaraan berdasarkan keputusan bersama.

Diantara segala negeri-negeri Islam di dunia, barangkali bangsa Indonesialah jang sangat mengemukakan dasar permusjawaratan dan memberi tjorak jang istimewa kepada pelaksanaan permusjawaratan. Keadaan itu bukan kebetulan, melainkan berhubungan karena dikuatkan oleh sifat peradaban yang asli. Sebelum Islam berkembang ditanah Indonesia, maka sedjak zaman purbakala sudah membentuk susunan desa, susunan masjarakat dan susunan hak tanah jang bersandar kepada keputusan bersama jang boleh dinamai kebulatan bersama atas masjarakat. Dasar kebulatan inilah jang sama tuanja dengan susunan desa, negeri, marga dan lain-lain dan mufakat itulah jang menghilangkan dasar perseorangan dan menimbulkan hidup bersama dalam masjarakat jang teratur dan dalam tata-negara desa jang dipelihara untuk kepentingan bersama dan untuk rakjat turun-temurun.

Pemikiran Soekarno, Soepomo, dan Yamin tersebut menunjukkan pentingnya hukum tata negara adat sebagai akar ketatanegaraan Indonesia merdeka. Oleh karena itu, memahami ketatanegaraan Indonesia tentu akan lebih komprehensif dengan mengetahui dan memahami hukum tata negara adat. Bahkan hukum tata negara adat yang berlaku di dalam persekutuan-persekutuan hukum adat dinyatakan oleh Yamin sebagai “kaki susunan negara sebagai bagian bawah”.

Pengakuan terhadap hukum tata negara adat dan masyarakat hukumnya selanjutnya terwujud dalam rumusan Pasal 18 UUD 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. 

Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan bahwa dalam wilayah Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbestuurende landchappen dan volksgemeenschappen, yang memiliki susunan asli dan dapat dikatakan sebagai daerah istimewa. Negara menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mempertimbangkan hak-hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Hak asal-usul tersebut juga meliputi bentuk dan struktur pemerintahan yang diatur berdasarkan hukum tata negara adat.

UUD 1945 Pasca Perubahan dan Hukum Tata Negara Adat
Walaupun para pendiri bangsa mengakui pentingnya hukum tata negara adat dan merumuskannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan dan penjelasannya, namun dalam praktiknya hukum tata negara adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri kurang mendapat perhatian. Sebaliknya, kebijakan yang dikembangkan adalah sentralisasi dan penyeragaman ketatanegaraan di tingkat daerah. Aspek hukum masyarakat adat tersisa adalah aspek keperdataan semata, yang memang tidak banyak melibatkan peran pemerintah. Hal itu dapat dilihat antara lain dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan struktur pemerintahan tanpa mempertimbangkan struktur masyarakat yang telah ada ada berjalan. Akibtanya, masyarakat harus mengikuti struktur dan norma bermasyarakat yang asing dan mungkin dalam beberapa hal kurang sesuai dengan tata nilai setempat. Hal itu menimbulkan ketegangan dan ketidakadilan yang tidak jarang mengarah pada konflik sosial.

Bersamaan dengan munculnya gelombang reformasi, berkembang perlunya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat. Oleh karena itu kebijakan mengalami perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dan pembangunan berbasis pada kearifan lokal dengan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, termasuk hukum tata negara adat.

Penegasan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hukum ketatanegaraan adat dilakukan dengan mengangkat hal-hal yang bersifat normatif dalam penjelasan UUD 1945 menjadi bagian dari pasal-pasal. Hal itu dimaksudkan untuk menegaskan dan memperkuat ketentuan tersebut agar dilaksanakan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketentuan tentang pemerintahan daerah yang semula hanya 1 ayat dalam 1 pasal, berkembang menjadi 3 pasal yang berisi 11 ayat ketentuan. Terkait dengan masyarakat hukum adat dan hukum tata negara adat diatur dalam Pasal 18B, sebagai berikut.
  1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.
  2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pengakuan dan penghormatan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa adalah meliputi pengakuan terhadap berlakunya hukum tata negara adat sesuai dengan struktur masyarakat setempat. Hal itu meliputi baik aspek struktur pemerintahan daerah maupun pembentukannya. Masyarakat yang memiliki struktur yang khusus dan istimewa tentu tidak dapat dipaksakan menjalankan ketentuan yang kurang sesuai. Hal itu misalnya dapat dilihat pada kasus pemilihan Gubernur Jogjakarta di mana struktur dan budaya masyarakatnya memiliki kekhususan dan keistimewaan sehingga belum dapat menerima pemilihan kepala daerah secara langsung.

Demikian pula halnya dengan pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat, tentu dimaksudkan juga meliputi hukum tata negara adat, baik pada tingkat desa dan nagari, marga, atau tingkatan yang lebih luas lagi. Namun demikian, pengakuan tersebut adalah terhadap kesatuan masyarakat hukum adat yang memang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip negara kesatuan. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya untuk memaksanakan hukum tata negara adat yang sesungguhnya sudah tidak hidup dalam masyarakatnya, untuk diberlakukan kembali pada masyarakat setempat yang sudah jauh berbeda struktur dan budayanya.

Adanya ketentuan Pasal 18B UUD 1945 merupakan landasan pluralisme hukum, terutama dalam hal tata pemerintahan daerah sesuai dengan hukum tata negara adat masing-masing. Di dalam sistem hukum nasional terdapat beberapa sistem hukum yang lebih kecil dan terbatas, yang saling terkait dan tertata dalam kesatuan sistem hukum nasional.

Hukum Tata Negara Adat dan Domestikasi UUD 1945
Studi terhadap hukum tata negara adat tidak hanya diperlukan dalam kaitannya dengan penerapan norma hukum tata negara adat itu sendiri. Untuk hukum tata negara adat yang sudah tidak hidup dan tidak berlaku lagi dalam masyarakatnya sendiri, tentu tidak dapat diberlakukan. Namun demikian mempelajari hukum tata negara adat itu tetap diperlukan untuk mendekatkan dan menjadikan UUD 1945 sebagai bagian dari sejarah perkembangan masyarakat. Hal itu berarti menunjukkan bahwa konsep-konsep dalam UUD 1945 memiliki akar sejarah.

Walaupun dari penjelasan para pendiri bangsa dapat diketahui bahwa UUD 1945 disusun berdasarkan karakteristik asli masyarakat Indonesia, namun konsep-konsep dan istilah-istilah yang digunakan adalah istilah-istilah asing yang tidak dikenal masyarakat. Pada saat pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK misalnya, istilah dan konsep yang dipakai lebih banyak dari Belanda dan Jerman, misalnya philosophische grondslag, weltanschauung, rechtstaats, dan sebagainya. Sedangkan dalam perubahan UUD 1945, istilah-istilah yang dipakai juga merupakan istilah asing seperti konstitusi itu sendiri, rule of law, separation of power, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan sebagainya.

Istilah-istilah tersebut digunakan adalah untuk memudahkan penyampaian atau komunikasi. Sedangkan esensinya sesungguhnya sudah dapat ditemukan akarnya dalam hukum tata negara adat. Separation of power misalnya, sudah banyak dipraktikkan oleh kerajaan-kerajaan di nusantara dengan memisahkan antara lembaga atau pejabat-pejabat yang menjadi pelaksana pemerintahan (eksekutif), mengadili (hakim), dan yang memberi pertimbangan pembuatan aturan dan keputusan kepada raja, walaupun semua lembaga atau pejabat tersebut kedudukannya berada di bawah raja. Demikian pula dengan konsep supremasi konstitusi, juga dikenal dalam hukum tata negara adat karena terdapat kerajaan-kerajaan yang memiliki kitab-kitab rujukan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara. Untuk kesultanan-kesultanan Islam, yang menjadi sumber hukum tertinggi asalah al-Qur’an dan hadist.

Di sisi lain, eksplorasi hukum tata negara adat juga diperlukan untuk menyampaikan konsep-konsep UUD 1945 sesuai dengan pengetahuan dan medan pengalaman masyarakat Indonesia sehingga mudah di pahami dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian UUD 1945 akan menjadi konstitusi yang hidup dan berkembang dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution).

Oleh karena itu, upaya mempelajari hukum tata negara adat memiliki arti yang penting dalam proses membangun konstitusionalisme Indonesia. Hal itu dapat dilakukan dengan mempelajari konstitusi-konstitusi di kerajaan atau kesultanan yang pernah ada di wilayah nusantara. Di Jawa Barat dan Banten misalnya, dua kesultanan besar yang pernah ada adalah Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Kesultanan Cirebon berdiri pada awal abad ke-16 di bawah pemerintahan Sunan Gunung Djati. Kesultanan ini berdiri hampir 2 abad, yaitu hingga tahun 1697 dengan Sultan terakhir adalah Panembahan Sepuh. 

Sedangkan Kesultanan Banten terbentuk dari Kerajaan Panten yang telah ada sejak tahun 1330 yang semula berada di bawah kekuasaan Majapahit. Karena pengaruh pedagang Islam yang berdatangan di Banten, berdirilah Kesultanan Islam Banten pada tahun 1552 dengan Sultan pertamanya adalah Sultan Maulana Panembahan Surasowan. Kesultanan Banten berjalan efektif hingga tahun 1820 saat meninggalnya Sultan terakhir, Muhammad Rafi’uddin.

Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi

Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi 
A. Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.

Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.

Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter. 

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya. 

Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. 

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.

Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
  1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya.
  2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah.
  3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi.
  4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu.
  5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
  6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
  7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat. 
  8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia.
  9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
  10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain.
  11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan.
  12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
  13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat.
  14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun.
  15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia.
  16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya. 
  17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum.
  18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
  19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
  20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
  21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.
  22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya.
  23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah.
  24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
  25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang.
  26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.
  27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:

1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:
  • Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
  • Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
  • Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.
  • Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
  • Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
  • Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.
  • Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.
  • Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
  • Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
  • Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
  • Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
  • Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.

Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
  • Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
  • Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
  • Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.
  • Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
  • Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.
  • Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
  • Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.
  • Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.
  • Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.
  • Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
  • Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa.
  • Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.
  • Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya.

3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
  • Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.
  • Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
  • Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
  • Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.
  • Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
  • Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.
  • Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).

4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
  • Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  • Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.
  • Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.
  • Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia. Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesa­daran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu di­adop­sikan ke dalam rumusan Undang-Un­dang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikem­bangkan sen­diri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemi­kiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan menca­kup pula pemi­kiran-pemikiran yang masih terus akan ber­kem­bang di masa-masa yang akan datang.

B. Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebe­basan dan kemerdekaan umat manusia dari penin­dasan penjajahan me­ningkat tajam dan terbuka dengan menggu­nakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.

Semua peristiwa yang mendorong mun­culnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerde­kaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah ter­bangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menya­tu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penja­jahan. 

Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh peme­rintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demo­krasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.

Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperan­kan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government to Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemung­kinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi peme­rintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlin­dungan hak asasi manusia.

Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita ha­dapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks rela­tionalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubah­an berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-ke­kuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan tekno­logi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-pro­sedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus di­kaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.

Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidup­an kemasya­rakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini meru­pakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsu­mennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eks­ploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.

Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
  1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendo­minasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyang­kut kepen­tingan-kepentingan politik maupun kepen­tingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
  2. Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otori­tarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas pen­duduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
  3. Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta mana­jemen produsen dengan konsumen di setiap ling­kungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelom­pok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorong­nya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.

Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:

Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlin­dungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Indepen­dence, dan di Perancis dengan Decla­ration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.

Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and Political Rights, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-pene­muan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditanda­tanganinya International Couvenant on Eco­nomic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966. 

Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pemba­ngunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.

Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan peme­rintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya. 

Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekua­saan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain. 

Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedang­kan sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama. 

Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelum­nya. Pertama, kita menyaksikan munculnya fenomena konglo­merasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corpo­rations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusa­haan-peru­sahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusa­haan besar itu terhadap kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.

Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.

Ketiga, dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkem­bang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masya­rakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri yang terpisah dari lingkungan masya­rakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplo­matic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbe­lanja. Semua ini memper­kuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendo­rong munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat. 

Bersamaan dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke mana-mana di seluruh dunia.

Keempat, dalam berbagai literatur menge­nai corpo­ratisme negara, terutama di beberapa negara yang menerap­kan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelom­pokan kultural penduduk. Pem­bagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demo­kratis dalam institusi parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism. 

Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus dan membang­kitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami fenomena hubungan-hubungan kema­nusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan yang baru itu.

Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara peme­rintah dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubung­an yang bersifat horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan antara kelompok masya­rakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat banyak merupakan pihak yang mengkon­sumsinya atau konsumennya. Demikian pula setiap perusa­haan adalah pro­dusen, sedangkan produk dibeli dan dikon­sumsi oleh masya­rakat konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilin­dungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewe­nang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsu­mennya.

Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan konsepsi hak asasi manusia generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia di masa yang akan datang.

C. Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.

Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia. 

Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struk­tur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.

Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom” pada tahun 1998.

Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama dalam Community Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.

Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis

Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis 
“ada pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi tersebut. 

Penekanan saya terhadap perbedaan institusi agama dan Negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini dan di masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak diinginkan karena masyarakat muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat muslim sebelumnya. Usaha untuk menerapkan pengalaman historis tersebut akan menjadi tidak konsisten dengan asumsi mengenai pentingnya menegosisasikan secara kontekstual hubungan agama dan negara serta hubungan agama dan politik. Tinjauan historis dan analisis terhadap hubungan antara Islam, negara dan politik dalam bagian ini hanya ditujukan untuk memperlihatkan bahwa pendekatan yang saya ajukan bisa didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim bahwa salah satu masyarakat tersebut telah hidup dalam negara sekuler yang modern. Namun, tinjauan historis ini tetap akan menjadi signifikan bagi diskusi kita untuk memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yang saya ajukan di sini, bukanlah ide yang asing dalam sejarah masyarakat Islam.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai dengan menjelaskan cara saya membaca dan menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, pada bagian dua bab ini, saya akan mengungkapkan visi ideal dan realitas pragmatis sejarah Islam tersebut. Dalam bagian tiga, saya akan memperlihatkan bagaimana visi ideal dan realitas pragmatis tersebut dalam sejarah Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir. Dalam bagian tiga tersebut, saya juga akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab) di beberapa negara bagian di Mesir untuk memperlihatkan implikasi pengalaman sejarah masa lalu tersebut terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi manusia dalam masyarakat Islam saat ini. 

Satu hal yang harus saya klarifikasi dari penjelasan ini adalah bahwa sejarah yang saya kemukakan di sini adalah sejarah ummat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah daerah. Namun bukan berarti status mayoritas ini membuat mereka dianggap Islami atau ideal menurut sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu maupun sekarang biasa berpendapat bahwa kegagalan ummat Islam saat ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak bisa menjalankan islam yang ideal. Saya tidak menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan saya ungkapkan di sini, karena saya lebih tertarik dengan Islam yang dipraktikkan dan dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal dan berbentuk abstrak. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman dan pengalaman manusia. Dimensi ini biasanya ada, paling tidak, dalam ingatan kolektif yang relevan dengan organisasi politik dan sosial masyarakat. Contohnya seperti yang tersurat dalam Qs. 43: 3 dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab kepadamu agar kamu memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tersebut atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha untuk menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Demikian juga ketika seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan tetap terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk pada al-Qur’an kecuali jika ia memahaminya.

Dengan kata lain, usaha apapun untuk mengidentifikasi atau mendeskripsikan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan dan kemungkinan manusia untuk berbuat salah. Memang tingkat pemahaman dan pengalaman seseorang terhadap makna al-Qur’an itu berbeda-beda, tapi tidak ada seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Jika kemampuan manusia yang terbatas untuk memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islami dalam konteks ini? saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman individual dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman dan pengamalan ini tidak bisa dijadikan dasar organisasi sosial dan politik masyarakat, kecuali jika ada pemahaman yang sama dan bisa dipatuhi oleh semua pihak. Dengan kata lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah yang harus terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, kini dan nanti.

Dalam bingkai perspektif inilah saya menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha untuk menunjukkan kontradiksi yang terdapat dalam gagasan penyatuan otoritas politik dan agama. Saya juga ingin menunjukkan bahaya yang tak terhindarkan jika mengimplementasikan gagasan tersebut. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan tetap ada, baik jika gagasan tersebut diklaim secara eksplisit ataupun implisit, atau bahkan jika ia hanya sebuah usaha yang dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini saya ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah masyarakat muslim dimana kualitas Islami dipahami dengan cara sebagaimana yang sudah saya ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa saya tidak mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yang komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa tertentu yang disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini bisa dilakukan, saya akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Karena itulah, saya hanya akan menyoroti beberapa peristiwa dan tema yang cukup familiar dalam sejarah Islam untuk memperjelas isu yang saya bicarakan di sini. Saya juga akan mengutip beberapa sumber yang memberikan informasi dan elaborasi lebih lanjut. 

I. Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam 
Sejarah sebuah masyarakat berisi berbagai jenis peristiwa dan dimensi hubungan manusia. Persepsi yang berbeda mengenai sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, dan ini dilakukan untuk mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi politik tertentu. Sebagai contoh, persepsi yang berbeda tentang sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, sebaliknya terhadap perbedaan agama, praktik dan pendapat politik dalam masyarakat. Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan dan perilaku ummat Islam saat ini, pembuat kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung untuk menekankan persepsi-persepsi yang cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yang terlibat dalam debat pasti menekankan visi mereka tentang sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya, visi itu tidak serta merta menjadi benar atau sah. Jelas bahwa kerangka dan interpretasi terhadap sejarah Islam yang akan saya kemukakan berikut ini pun merupakan salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing dan memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan merupakan satu-satunya pandangan yang sah. Namun, memang begitulah pendekatan sejarah; tidak ada seorang pun yang bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam dan sejarah lainnya. 

Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah dan Mamluk Mesir yang saya paparkan di sini bukanlah wakil dari seluruh masyarakat Islam masa lalu, bahkan bagi masyarakat yang ada di negeri tersebut dan hidup pada saat itu, apalagi dari masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi kasus ini sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai pusat Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di daerah tersebut, terutama pada masa 4 atau 5 tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim di daerah lainnya hampir menganggap pengalaman masyarakat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah dan otoritatif. Bahkan masyarakat muslim yang tinggal di daerah lain pun menganggap bahwa pengalaman keagamaan dan sosial mereka lebih rendah dibandingkan dengan pengalaman masyarakat Timur Tengah jika digunakan sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami karena teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab dan dipahami dalam konteks pengalaman masyarakat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan untuk menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yang sama nampaknya harus diberikan kepada semua pengalaman masyarakat Islam, dimanapun mereka berada.

Bias yang tadi saya sebutkan nampaknya sudah sangat tertanam dalam sumber dan sejarah intelektual masyarakat Islam sehingga tidak mungkin dihilangkan dalam waktu singkat. Namun, upaya tersebut tidak mungkin dimulai jika kita tidak mengenalinya saat ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi saya, namun saya berharap ide saya mengenai pembacaan alternatif terhadap sejarah masyarakat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu tersebut, terlepas dari pengalaman sejarah yang digunakan untuk melakukan hal itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari pengalaman satu masyarakat Islam pra-modern dengan menggunakan sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa masyarakat. Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha untuk mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu memahami pengalaman hubungan Islam dengan negara dan politik dalam sejarah pengalaman masyarakat Islam. 

Hubungan antara Islam, negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam jelas merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan otonomi dari negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara dan masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara untuk memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yang sekular dan politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif untuk kehidupan individu dan publik dalam ruang publik maupun ruang privat. Namun, negara pada dasarnya memang merupakan institusi yang sekular dan politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan prediktabilitas yang tidak bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah dalam teori. Tapi, mereka tidak mempunyai kekuasaan maupun kewajiban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi dan sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara untuk memiliki kontrol yang efektif terhadap wilayah dan penduduknya, serta memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk dan patuh pada kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin politik daripada pemimpin agama. 

Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak bisa memiliki otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk membedakan kedua jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki oleh satu orang. Sebagai contoh: otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian dan kepercayaan personal terhadap tingkat kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin dan bersifat lokal. Namun perlu juga diingat bahwa model interaksi yang seperti ini nampaknya tidak bisa dimiliki oleh semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau di daerah yang sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung berdasarkan kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini bisa menjadi lebih jelas pada bagian-bagian selanjutnya.

Setiap masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus memilih salah satu dari sejumlah kebijakan yang saling bertentangan dan mempunyai monopoli yang efektif untuk menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saya harus tekankan di sini bahwa kita sedang berbicara tentang kebijakan publik dalam skala yang luas; bukan kepercayaan personal seseorang terhadap pemimpin agamanya dengan mematuhi saran-saran yang mereka berikan dalam persoalan-persoalan rutin maupun spiritual. Kebutuhan untuk melaksanakan kebijakan publik yang umum, seperti dibedakan dari kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin yang ditentukan (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan cara apapun) karena mereka diharapkan bisa melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diharapkan pula memiliki kecakapan politik dan kemampun untuk menggunakan kekuasaaan kursif. Kualitas pemimpin politik yang efektif, dengan demikian, harus ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan cara yang jelas dan teratur, agar bentrokan sipil atau konflik bernuansa kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik dan otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau, paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan. 

Sebaliknya, pemimpin agama mendapatkan pengakuan dari ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini bisa ditentukan oleh penilaian personal seseorang yang butuh untuk tahu potensi pemimpin agamanya melalui interaksi sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya bisa dicapai secara gradual dan tentatif melalui relasi interpersonal dengan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini tidak saja terjadi dalam komunitas sunni, namun juga dalam komunitas syi’ah yang memiliki hirarki struktural yang sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian di level lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang sampai pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, bisa juga diungkapkan untuk membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif yang dimiliki oleh pemimpin politik atas wilayah dan penduduk tertentu, dengan otoritas moral yang dimiliki oleh pemimpin agama yang bisa juga berlaku luas dan bagi banyak orang.

Dengan demikian, ada perbedaan fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin agama dalam cara penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk serta jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik juga memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan berpolitik dan kemampuan untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat. Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya penilaian independen terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan dengan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan dan pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya karena kualitas dan keterampilan politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan orang yang sama untuk memiliki kedua otoritas ini pun merupakan hal yang berbahaya dan kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.

Karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tak heran jika mereka selalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan. Namun, klaim seperti itu tidak serta merta menjadikannya muslim yang hebat atau menjadikan negara yang dipimpinnya islami. Malah, penguasa biasanya sangat menginginkan legitimasi keagamaan ketika klaim mereka tidak lagi dianggap sah. Padahal, kerendahan hati yang merupakan simbol kesalehan, menuntut seseorang untuk tidak mengklaim dirinya sebagai orang soleh atau paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tersebut. Namun bila cara ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin agama dengan membiarkan mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yang justru menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga mendorong negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk dipertahankan. 

Paradoks yang dalam dan kompleks ini, yang juga merupakan pengalaman komunitas agama lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan harus dipisahkan dari kekuasaan politik agar pemimpin agama bisa menjaga penguasa untuk tetap akuntabel pada prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yang pasti merasa terbebani dengan itu, maka persoalannya adalah bagaimana membuat penguasa tetap akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya mengarah pada perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah dilema yang dihadapi pemimpin agama seperti al-Ghazali untuk mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak sah dan menyebutnya sebagai The Lesser of Two Evils (iblis kerdil). 

Dari perspektif ini, sejarah Islam bisa dibaca sesuai dengan jarak antara institusi agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh rezim yang berbeda. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara berdasarkan prototipe masyarakat yang dibangun Nabi di Madinah yang mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan kepemimpinan agama. Dalam model seperti itu berarti tidak ada pemisahan antara institusi agama dan politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan nampaknya ada hirarki dan sentralisasi yang kuat. Model yang lain adalah pemisahan utuh antara otoritas agama dan politik yang nampaknya menjadi pilihan yang dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim politik di negara-negara Islam ada diantara dua model ini. Mereka tidak pernah mencapai penyatuan secara utuh seperti model ideal yang dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu mengklaim lebih dekat pada model ini daripada ke model pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. 

Penyatuan ideal tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak ada seorang manusiapun pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan keagamaan yang sama sepertinya. Sebagai perwujudan utama model ini, ummat Islam menerima Nabi sebagai satu-satunya pembuat undang-undang, hakim dan pemberi perintah. Pengalaman seperti itu unik dan tidak bisa direplikasi, karena ummat Islam percaya bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad. Semua penguasa sejak Abu Bakar, Khalifah pertama, harus menegosiasikan atau memediasi ketegangan permanen antara otoritas politik dan agama, karena tidak satupun dari mereka yang dianggap mampu oleh semua ummat Islam untuk menggantikan posisi Nabi yang telah mendefinisikan Islam dan yang menentukan bagaimana ia harus diimplementasikan oleh ummatnya.

Semua pemimpin, memang, pasti menghadapi oposisi yang bisa jadi sangat kuat bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun perbedaan yang signifikan antara dua model otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya bisa berdasar pada penilaian manusia yang bisa dinilai oleh manusia lain. sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan agama memerlukan adanya otoritas ketuhanan yang tentu saja mampu mengatasi tantangan manusia. Karena dasar otoritas politik, seberapapun despotik dan otoriternya, adalah representasi pandangan dan kepentingan warga, maka ia bisa ditantang dengan menggunakan alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan agama adalah klaim otoritas moral, maka ia tidak bisa tunduk pada penilaian manusia. Meskipun ada kebebasan untuk menerima atau menolak pesan-pesan Islam, namun tidak ada masalah oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, ketika Abu Bakar menggunakan otoritasnya untuk memerangi suku-suku Arab yang menolak untuk membayar zakat kepada negara, banyak sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk Umar yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang kebijakan ini.

Contoh yang saya kemukakan barusan masih menjadi bahan kontroversi di kalangan sarjana Islam, seperti yang dijelaskan dalam bagian berikutnya, karena Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan untuk menumpas pemberontakan. Saya sendiri berpendapat bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya juga melihat bahwa pada sahabat menerima pendapat Abu Bakar karena ia adalah pemimpin politik komunitas muslim saat itu, dan bukan karena persoalan otoritas keagamaan. Tentu saja benar bahwa, bagi para sahabat Nabi saat itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yang sah merupakan kewajiban agama seperti yang tersurat dalam Qs. 4:59. Namun, kewajiban ini juga nampaknya berlaku meskipun seseorang tidak setuju dengan kebijakan penguasa dengan alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas dan keamanan masyarakat. Jika saja Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yang tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yang akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yang melatari peristiwa-peristiwa itu jelas-jelas politik dan bukan agama, walaupun kampanye untuk memerangi suku Arab yang murtad itu memiliki alasan-alasan religius sekaligus politik. 

Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun, di sisi lain, otoritas keagamaan juga berusaha untuk mempertahankan tingkat otonomi dan kemerdekaan mereka dari aparat negara agar mereka bisa menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara. Seperti yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus menyelesaikan paradoks pemberian otonomi yang cukup bagi otoritas keagamaan agar mereka bisa mendapatkan legitimasi dari kelompok ini untuk kekuasaannya. Tapi, penguasa juga tidak bisa membiarkan mereka terus independen, hingga mereka bisa menantang otoritas negara. Secara historis, model yang telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase dan pemberian sponsor oleh pihak yang berkuasa kepada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk negosiasi telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas bisa ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 ketika Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad dan harus menghadapi minoritas syi'ah serta sunni yang menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, dan Mamluk meniru model ini dengan berbagai penyesuaian.

Ini tidak berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa oleh penguasa. Para ulama dan pemimpin sufi, misalnya, memilih untuk menghindari negara dan aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya dengan cara damai, tak sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin kasus-kasus oposisi politik para pemimpin agama tidak memperlihatkan model terpisah, seperti yang terlihat pada respon sejumlah pemimpin agama terhadap penguasa yang berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yang dipimpinnya. Namun keberadaan respon-respon tersebut tetap menunjukkan adanya pembedaan antara otoritas agama dan negara, seperti yang sudah diungkapkan oleh Lapidus di muka. Sekarang saya akan mencoba untuk mengklarifikasi dan mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara dan politik dan tidak sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.

Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah masyarakat Islam yang saya ajukan adalah bahwa ada pemisahan yang jelas antara otoritas agama dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini tidak berlaku di kalangan ummat Islam tidak berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis hubungan antara Islam dengan negara dan politik yang sedang dialami oleh ummat Islam saat ini di manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru dalam membaca sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai pedoman pelaksanaan syariah dalam masyarakat muslim di masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan yang saya ajukan di sini seluruhnya benar, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif bagi pandangan umum yang berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yang tidak familiar.

II. Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yang sudah saya ungkapkan, karena model Nabi di Madinah terlalu unik untuk direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750). Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini dalam hubungannya dengan dua model penyatuan dan negosiasi hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik. Dalam bagian kedua saya akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah yang dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam bab ini. Karena peristiwa-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam menegosiasikan hubungan Islam dengan negara dan politik. 

Sebagaimana muslim yang lain, sulit bagi saya untuk menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut karena tingginya penghormatan yang diberikan kepada para sahabat yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu. Bagaimana saya bisa melakukan penilaian salah atau benar kepada Abu Bakar, seorang sahabat Nabi yang paling dihormati di kalangan muslim sunni, ketika ia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi persoalan Khalid bin al-Walid karena perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seorang sahabat lain yang mendirikan dinasti Umayyah? Namun, sebagai seorang muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut dan perilaku mereka karena saya percaya pentingnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam kini dan nanti. Karena sebagai Muslim saya tidak mau menghindar dari tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat untuk mengungkapkan pandangan seperti itu dan karena saya melakukannya untuk kemasalahatann bersama bukan demi keuntungan pribadi. 

Lagipula, keterlibatan saya dalam melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu merupakan bagian dari alasan saya untuk tetap menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara agama dan negara diperlukan agar ummat Islam bisa memegang teguh kepercayaan agamanya dan hidup sesuai dengan kepercayaan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah menunjukkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan dan paksaan untuk mendukung agenda politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yang berat seperti yang terlihat dalam kasus mihnah berikut ini. Untuk menghindari dilema ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yang sama, saya menyarankan agar ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan negara, yang berarti bahwa mereka yang mengontrol negara tidak bisa menggunakan kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. 

Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan Institusi Politik dan Agama 
Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan agama dan politik dengan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai jelas, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah merupakan bukti yang jelas bahwa struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk direplikasi. "Secara implisit, keberadaan para pemberontak merupakan tanda kemunculan kelompok ummat Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah." Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan peristiwa drastis yang lebih dikenal sebagai mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Konflik antara otoritas khalifah dan ulama harus dilihat dalam konteks relasi sosial antara 3 kelompok yaitu: elite Bangsa Arab yang mewakili Istana Khalifah dan aparat administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah. 

Penting juga untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan universalisme Islam. Para khalifah berusaha untuk mengkombinasikan otoritas keagamaan sebagai penerus Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat jelas dalam patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan perayaan ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yang lain, serta gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model Persia dengan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik." Sebagai respon, para ulama periode awal menunjukkan adanya keterputusan antara cita ideal dan realitas, dan meragukan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki pengaruh yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah berkembang bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam tidak lagi terintegrasikan." Kemunculan otoritas keagamaan yang independen dari khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan agama dalam sejarah masyarakat Islam.

Apa yang disebut mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan untuk membuat anggota kelompok ulama, yang pada saat itu merupakan sebuah kelompok yang bersatu tanpa tujuan tertentu, menyetujui sikap yang diambil oleh kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah ciptaan Allah dan dengan demikian ia adalah atribut dan bukan kata-kata yang tidak diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan bagian dari debat yang berkelanjutan antara kelompok yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-sumber Islam (Mu'tazilah) dengan kelompok lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yang menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) untuk memaksa ulama tertentu agar mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun setelah al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri hukuman itu dengan melepaskan para ulama yang tidak tunduk pada kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan menempatkan beberapa orang diantaranya dalam pemerintahannya. 

Al-Ma'mun berkuasa setelah memenangkan perang sipil dengan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak dari Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah dua belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi'ah yang terus berlanjut pada saat itu, atau untuk mengembalikan kekhalifahan pada formulasi orisinalnya sebagai lembaga keagamaan dan politik. Ia juga mengadopsi warna hijau Syi'ah untuk atribut pasukannya. Namun dua keputusan itu dibatalkan segera setelah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun kembali ke Baghdad yang saat itu sedang dilanda kekacauan, ia berusaha untuk memaksakan teologi tertentu kepada masyarakat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di Baghdad diakibatkan oleh adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk mendapatkan kekuasaan dan juga tentara yang marah dan tidak puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal dan penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yang semakin mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan agama dan politik tidak lagi relevan untuk dipraktikkan.

Sebagai contoh, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai salinan al-Qur'an di lehernya dan menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru kota yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ia juga menyeru pengikutnya untuk tidak hanya mempertahankan lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi tempat tinggal mereka, namun juga mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang memberikan justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal untuk menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan kepada al-Qur'an dan Sunnah harus mengalahkan ketaatan kepada otoritas yang gagal menegakkan Islam." Ia mengadopsi slogan 'tidak ada ketaatan kepada makhluk bila untuk melakukan ma'siat kepada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya di berbagai penjuru kota membangun menara di depan rumah mereka yang berfungsi membentengi mereka dalam kota." Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yang dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka. 

Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil "menarik sentimen yang berada di luar batas-batas pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal tentang Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan di luar sistem seperti ini merepresentasikan konsepsi yang revolusioner mengenai struktur masyarakat Islam." Kewajiban untuk melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar' pada dasarnya merupakan kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung oleh banyak ulama yang percaya bahwa kewajiban itu juga merupakan kewajiban semua muslim. Gerakan ini, dengan demikian, menggunakan simbol otoritas religius yang kuat dan alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong oleh penguasa yang tidak kompeten. Salah satu ulama terkemuka yang terlibat dalam gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di salah satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya sendiri. Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl dan lainnya muncul bersamaan dengan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik.

Ahmad bin Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yang menghidupkan kembali gerakan Sahl yang meredup setelah al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode berikutnya, slogan yang sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan terhadap khalifah, terus muncul dan berkembang dengan mengorganisasi perekrutan masa untuk gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha seperti itu terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin Nasr dan karena ia sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya. Penting untuk dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan karena pandangan keagamaannya dan bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi dan kepalanya dipajang di hadapan publik untuk memperingatkan yang lain tentang hukuman yang akan diterima jika membangkang kepada khalifah.

Inkuisisi yang berlarut-larut memperlihatkan adanya konfrontasi antara ulama dan khalifah dalam mengklaim otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk menerima klaim keagamaan khalifah yang kemudian membuatnya dipenjara hingga akhir hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara dan agama. seperti yang Lapidus ungkapkan:

"perdebatan tentang status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah dan komunitas, pemisahan otoritas di antara keduanya sekaligus memberikan peran yang berbeda kepada masing-masing yang sebelumnya dimiliki oleh Nabi. Dengan demikian, berbeda dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang menjadi institusi kerajaan dan militer yang disahkan dengan cara Byzantium dan Sasanid, sementara para pemuka agama mengembangkan otoritas yang lebih lengkap terhadap aspek komunal, personal, keagamaan dan doktrin dalam Islam."

Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai dengan tujuan diskusi kita adalah mengenai hubungan antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana hubungan itu dibentuk dalam rezim dan lokasi yang berbeda? Bagaimana ia berubah sepanjang waktu? Seberapa besar pengaruh ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama dan komunitas keagamaan? Namun penting pula untuk menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan dan politik belum dikenal oleh mayoritas ummat Islam saat itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata mendapat dukungan dari sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi dan Ibnu Taimiah. "Hasil terorisasi mereka adalah, negara bukanlah ekspresi langsung Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas untuk menegakkan Islam; komunitas ummat Islam yang sebenarnya adalah komunitas ulama dan orang suci yang melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya." Pandangan ini selaras dengan saran saya untuk menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap agama dengan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.

Nampaknya kita perlu mempertimbangkan kembali dinamika sosial dan implikasi mihnah dalam kerangka teori Habermas tentang "ruang publik" tempat ide-ide diperdebatkan dalam ruang publik sehingga orang yang berbeda dapat mengakses dan berpartisipasi di dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yang diwakili oleh Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, jelas bahwa khalifah dan ulama memperoleh ruang pengaruh yang berbeda dan kedua pihak memahami bahwa artikulasi dogma keagamaan adalah wilayah ulama…mihnah dengan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yang ingin membentuk doktrin." Relevansi pandangan ini untuk proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai pentingnya otonomi "public reason" dari otoritas negara, seperti yang nanti akan kita diskusikan dalam buku ini. 

Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan dengan baik melalui kemunculan kontrol militer terhadap kekhalifahan pada saat yang bersamaan. Kesulitan para khalifah Abbasiyah dalam mengelola problem internal kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan di Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan Khawarij di hampir seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan tentara budak untuk memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk sebagai tentara dimulai pada masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42), periode setelah pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa sebagai khalifah. Tentara non Arab dan para komandan militer hanya memiliki sedikit kesetiaan kepada kekhalifahan sebagai sebuah institusi, dan cenderung menganggap jabatannya sebagai sumber kekuatan politik dan keuntungan ekonomi. Karena diharapkan menjadi mesin militer yang efektif, Mamluk memang didorong untuk tidak berinteraksi dengan penduduk sipil dan tetap diposisikan sebagai kekuatan asing. 

Sebagai contoh, para komandan dari suku Buwaihi yang berasal dari daerah Kaspia di Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung dan berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan di Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka juga menggunakan otoritas negara untuk mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan membuat peringatan idul ghadir secara resmi, peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari ditunjuknya Ali sebagai pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga mempertahankan toleransi yang penuh terhadap golongan Sunni dengan mendukung lembaga-lembaga utamanya, tidak mencampuri urusan-urusan ritualnya dan berusaha untuk tampil sebagai pemimpin yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting adalah institusi kekhalifahan tetap dipertahankan hingga karakter sunni yang melekat pada kerajaan dan rezim pun tetap ada. Namun kurang dari satu abad kemudian, setelah konflik internal di kalangan Buywaihi mengganggu kemampuan mereka untuk memerintah, pasukan Seljuk dengan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad dan mendukung massa sunni dan ulamanya untuk mengklaim diri sebagai penjaga ortodoksi.

Sejak saat itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, namun tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan model negosiasi kemudian menguat dengan dua institusi besar yang bekerja dalam hubungan yang saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi daerah-daerah muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil terkemuka mengamankan kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf sekolah-sekolah agama, masjid, dan lembaga-lembaga komunitas muslim lainnya. Model ini terus berlanjut hingga masa pra kolonial, dan sisa-sisanya masih tetap ada hingga saat ini seperti terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim. 

Sementara model seperti tadi berlaku di Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku di Afrika Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya pada tahun 909 di Tunisia ketika Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yang nanti akan kita diskusikan, berusaha untuk menegakkan kembali penyatuan kepemimpinan agama dan politik. Namun dinasti Fatimiah hanyalah salah satu contoh kecendrungan yang berlaku umum di kawasan Afrika Utara saat itu karena kawasan ini telah didominasi dengan model kepemimpinan seperti itu sejak jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim dari berbagai rezim di Afrika Utara seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, dan al-Muwahhidun mengklaim otoritas ketuhanan untuk berkuasa berdasarkan kualifikasi individu dan keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah adalah penganut syi'ah dan sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah mengklaim dirinya bebas dari dosa. Di sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha untuk menjalankan bentuk rigid dari Islam.

Namun dalam kasus Afrika Selatan itu, usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan agama berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan dalam beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai contoh, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol pada masa al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang berbeda sesuai dengan kondisi geografis dan demografis negerinya, dimana keluarga dan suku merupakan faktor penting untuk organisasi sosial di tingkat lokal. Selain itu, koalisi bersama yang disatukan oleh peninggalan sejarah dan budaya yang sama nampaknya menjadi komponen yang fundamental bagi aparat negara di daerah-daerah tersebut. Tetapi, mereka juga melindungi kelompok-kelompok persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yang ada di pusat kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol sampai periode pra-modern. 

Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas bahwa model hubungan antara otoritas agama dan negara beragam baik dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga hubungan yang lebih independen namun kooperatif, dan otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara". Saya akan berusaha mengklarifikasi dan mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada pengalaman historis Mesir dari abad sembilan sampai empat belas masehi. 

III. Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian lalu, saya tidak sedang berusaha untuk memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir secara umum. Tapi, saya akan memaparkan masing-masing periode dan kemudian menandai aspek-aspek tertentu untuk memberikan ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara agama dan negara. Saya mengatakan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah ada pada masa lalu karena dinasti Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa. Namun, jika pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta menjadi sah atau realistis. Hal yang penting untuk kita catat adalah bahwa klaim seperti itu tidak hanya gagal dalam tingkat praksis, tetapi juga tidak mungkin berhasil karena adanya perbedaan fundamental antara otoritas agama dan negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yang membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yang saya sebut tadi. Bahaya negara yang berusaha untuk memaksakan otoritas keagamaan, walaupun tidak membuat klaim eksplisit tentang itu, bisa menjadi lebih jelas dalam diskusi kita tentang dinasti Mamluk berikut ini.

Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah di Mesir
Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909 di Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah untuk periode 953-975) menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada tahun 969. al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti oleh al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya dan memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yang berakhir dengan berkuasanya militer dalam pemerintahan. Sejak saat itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer, dan gubernur adalah untuk meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan munculnya 6 imam yang berbeda, yang otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir ketika Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1171.

Pencitraan diri dinasti Fatimiyah sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki Nabi karena baik syi'ah Imamiyah maupun syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka bumi." Kualitas yang harus dicapai seorang imam agar bisa dianggap memiliki otoritas ketuhanan tidak bisa dianggap remeh. Seorang Imam harus menjadi a'immat al-huda, imam keadilan yang bisa menjauhkan ummat dari siksaan", "suar kebenaran dan pedoman… yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia." Bagi orang awam, imam adalah sosok yang sempurna dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah dan zakat, dan memutuskan pelaksanaan hudud…pendek kata, ia lebih dari siapapun kecuali Nabi." Karena imam juga dianggap mendapatkan posisi istimewa dalam bidang keilmuan, maka seorang imam juga dituntut untuk menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin ummat Islam untuk selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil dan sempurna. Imam juga harus mempunyai kualitas mufahham artinya ia bisa dipahami oleh Tuhan, seperti Sulaiman yang dideskripsikan dalam al-Qur'an.

Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam sikap Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menunjukkan sikap materialitik di ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah (biasanya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya dengan memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Para sedadu yang menunggangi gajah dan mengangkat senjata berbaris di hadapannya. Khalifah sendiri berpawai dengan memakai tenda yang dihiasi mutiara.” Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yang kelaparan nampaknya memang digunakan untuk menegakkan otoritas keagamaan khalifah.

Sebagai contoh, dalam prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi dan hakim yang berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan busana, keluar dari istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti oleh khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan hingga sang Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat itu, karena panggilan untuk melaksanakan shalat id tidak membutuhkan adzan, tapi cukup dengan takbir, “maka dapat kita katakan bahwa pelaksanaan shalat id dimulai sejak datangnya khalifah dan bahkan prosesi kedatangan khalifah pun menjadi bagian dari perayaan shalat id.” Qadi al-Nu’manlah yang pertama kali membuat Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah karena ia mengklaim adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha dan peran imam dalam seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap klaim seperti itu hanya terjadi pada Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun seperti yang akan saya tekankan nanti, ciri-ciri seperti itu ada dalam setiap usaha mengkombinasikan otoritas politik dan agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yang mendasarkan otoritas politiknya pada klaim keagamaan akan selalu mencari cara untuk mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yang suci. 

Aspek lain yang membuat asosiasi seperti ini berbahaya adalah karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa untuk mengakumulasi kekayaan dengan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam kasus Dinasti Fatimiah, sumber-sumber keuangan dinasti ini didapat dari hampir toko-toko yang disewakan bulanan di Kairo, tempat mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih dari 8.000 bangunan, tanah pedesaan dan lain sebagainya. Sumber-sumber itu, tentu saja, hanya merupakan bagian dari perdagangan milik pribadi imam yang meliputi seluruh pelabuhan dan armada laut. Sebagai penentu semua urusan negara, “Imam Fatimiyah juga bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.” Tanggung jawab ini tidak sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual karena sistem militer yang mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yang sedikit lebih tinggi daripada biaya untuk mendapatkan perbekalan dan pembayaran honor tentara bayaran. Selain membayar tentara, imam juga nampaknya harus membayar gaji pegawai negara. Namun, justru penyatuan fungsi penguasa militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi dalam negara inilah yang harus kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara kelompok militer yang beranggotakan budak pecah menjadi peristiwa penuh kekerasan karena adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yang diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya masyarakat umum.

Sekedar penjelasan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri dari pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), dan polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung yurisdiksi mazalim, jika dianggap akuntabel. “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul mal.” Penyatuan peran peradilan dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara terkait.

Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana hukuman) dan pengelola penjara. Meskipun kepala polisi seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.

Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar ma’ruf nahyi munkar. Seorang pelaksana hukum hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh kehidupan sosial.

Muhtasib merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memperlihatkan penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini. Namun karena kekuasaan muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai muhtasib harus memiliki kualitas moral yang tinggi. Ia berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung. Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini. Namun fakta ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik. 

Dengan demikian, peran muhtasib dalam sejarah Fatimiyah sebagai pengawas tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, namun meliputi semua aspek yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa karena ia tidak hanya menjadi badan arbitrase perdagangan tetapi juga agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan masyarakat Mesir saat itu. Pemerintah mendapatkan gandum dengan membelinya dari pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang pribadi milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga harus berhadapan dengan para pedagang yang menjualnya. Karena hal itulah, membedakan milik pribadi, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit. Peran muhtasib sebagai agen negara bagi publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik. Praktik penjualan gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat miskin.

Seperti yang terlihat dalam fungsi muhtasib sebagai pengumpul pajak dan penjaga moralitas publik, masalah yang potensial muncul dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara adalah ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik seperti pengaturan penyatuan laki-laki perempuan di ruang publik, mabuk di muka umum, atau pengunaan alat-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa di jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya. Ada pula hukum resmi yang berkaitan dengan warga dzimma seperti larangan untuk menunggang kuda atau keledai dalam kota, atau kewajiban untuk memakai baju yang berbeda dan mengalungkan lonceng di leher jika memasuki tempat mandi umum (hammam). Saya akan mengulang penjelasan mengenai hal ini di bagian lain. 

Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah dan institusi-institusinya diatas diharapkan bisa menjadi latar dan konteks untuk penjelasan utama kita dalam bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama dua abad, mazhab Syi'ah yang dianut oleh negara tidak pernah benar-benar tersebarkan kepada masyarakat banyak, dan mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas agama dan politik yang dipakainya?

Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan keamanan (aman) kepada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya program-program politik rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat. Referensinya kepada sunnah dan persatuan Islam jelas sesuai dengan interpretasi khas Ismaili yang dirumuskan oleh Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yang saat itu masih berkuasa di Tunisia disebut-sebut dalam khutbah Jum'at di masjid Agung Fustat. Ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan keinginan rezim baru untuk menegakkan citra Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam. Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan fenomena baru, merupakan simbol yang amat kuat bagi dinasti Fatimiyah untuk mengklaim otoritas keagamaan dan politik dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik juga dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yang berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan keluarga Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim Agung membagikan infak kepada warga di masid Agung Fustat sebagai cara untuk memperlihatkan keagungan dan keberadaan rezim Fatimiyah baru.

Selain model ini, ada pula model penyatuan institusi agama dan politik yang lebih tingi tingkatnya yaitu ketika 2 masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil dan administratif sementara pada saat yang sama istana khalifah atau imam dipandang sebagai tempat yang tepat untuk proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun memberikan kuliah di al-Azhar. Khalifah atau Imam sering menjadi kurator dan patron bagi berbagai institusi dan aktivitas keagamaan seperti wakaf masjid, perpustakaan dan sekolah disamping ia juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat seperti menteri-menteri sipilnya.

Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara untuk diinterogasi, atau paling tidak, untuk menjawab sejumlah pertanyaan mengenai masalah-masalah pemahaman dan interpretasi agama." Prestise negara dipertaruhkan dalam peristiwa semacam itu. Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm dan majlis alhikma) yang menjadi wahana untuk penumbuhan, pengembangan dan pengajaran mazhab syi'ah ismailiyah. Dar al-Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar. Ia berfungsi sebagai sekolah tempat berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah juga berfungsi sebagai pusat pelatihan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yang diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah." Lembaga ini kemudian diwakafkan setelah berdiri selama lima tahun sebagai upaya pemberian otonomi kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad kemudian, ketika dua orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yang terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu dan Dar al-Ilm pun ditutup." Sejak saat itu, Dar al-ilm mulai dipimpin oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin ketika ia mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.

Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir secara bertahap termasuk dengan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah. Namun sejak awal, nampaknya ada resistensi dan negosiasi dari kalangan sunni. Sebagai contoh, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, namun tidak menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara politik dan agama yang tidak jelas itu, untuk mengakui adanya pengaruh politik. Namun pada saat yang sama, ia pun menolak otoritas spiritual." Imam-lokal dengan demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah sebagai otoritas yang sah secara de fakto, namun menolak otoritas keagamaannya. 

Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai menggunakan hisab untuk menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah langsung dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama sunni tidak ikut dalam tradisi itu sampai setahun kemudian. Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dihukum mati pada tahun 953 oleh al-Mu'izz karena melakukan observasi ru'yah untuk menentukan awal puasa Ramadlan, daripada dengan menggunakan perhitungan astronomi yang biasa dilakukan oleh Sang imam. Seorang laki-laki juga dihukum karena ia melakukan qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih. Namun hukuman-hukuman ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan politik dengan kalangan mayoritas sunni. 

Ritual syi'ah lain seperti perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yang biasanya menjadi lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, juga menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, perayaan Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, seperti sebelumnya pernah terjadi pada masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur. Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan dengan komunitas sunni. Selama perayaan ashura 1005, mereka yang mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr dan setelah melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan dan meneriakkan kutukan kepada para sahabat Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menahan dan menghukum seorang laki-laki dan mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yang sama akan ditimpakan bagi siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi. Walaupun perayaan Ashura dilaksanakan di luar kota oleh qadi dinasti Fatimiyah, namun perayaan itu terus menimbulkan kerusuhan di dalam kota. In 1009, al-Hakim melarang perayaan Ashura dan kemudian menunjuk seorang alim dari kalangan Hanbali untuk menempati posisi Hakim Agung untuk meredam oposisi sunni. Namun, beberapa perayaan syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein tetap disponsori oleh negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang kuat yang mempergunakan sumberdaya untuk mengimplementasikan dan memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini biasanya ditentang dan dikritik keras oleh para ulama. 

Dinasti Fatimiyah perlahan namun pasti mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yang terlihat dalam kasus Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada di Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha untuk menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam kasus perceraian dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan untuk menjabat sebagai hakim di Fustat karena ia setia kepada Jawhar dan al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir juga bisa mempertahankan jabatannya sebagai Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man datang dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan kasus-kasus mazalim. Namun, qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, dengan bantuan khalifah yang berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir hingga semua kewenangan yang dimilikinya jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yang menjabat sebagai Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi dan mereka bersama-sama menerapkan hukum dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seorang ahli hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung untuk memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi dari kalangan sunni. Dengan demikian, pada masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite agama yang sudah ada, namun mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya ketika mereka mulai lebih stabil. Untuk untuk tujuan diskusi kita pada bagian ini, kita bisa katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni tindakan politis.

Watak otoriter kekuasaan Imam dalam dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yang berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan dari jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme. Strategi yang umum digunakan, seperti yang sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yang berpartisipasi dalam berbagai forum-forum munazharat. Namun penting untuk diperhatikan, posisi Ibnu Killis ketika melakukan tindakan itu tidak jelas, apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya sebagai menteri? Para khalifah tentu saja mengembil peran langsung dalam patronase semacam itu, seperti yang dilakukan al-Hakim dengan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah besar uang bagi dua masjid agung dan masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut tidak memberi pemasukan. Al-Hakim juga membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang menggambarkan keagungan Sang Imam dan dianggap setara posisinya dengan masjid-masjid yang ada di Mekah, Madinah dan Jerussalem. Inovasi keagamaan yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yang sudah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan pelaksanaan doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah pada rakyat banyak, seperti dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain dan mengharuskan setiap orang untuk menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah. Namun usaha-usaha semacam itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen seperti dalam kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan dan Sallar.

Dinasti "Bahri" Mamluk di Mesir
Korps militer Mamluk yang terdiri dari para budak mendapatkan prestise yang cukup besar pada masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tak pernah mendapatkan kekuasaan untuk diri mereka sendiri. prestise tertinggi dicapai pada tahun 1260 ketika mereka mengalahkan pasukan Mongol di Ain Jalut, selatan Damaskus. Karena kekuasaan dan status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki dominan yang bertanggung jawab atas pembelian, pelatihan dan pengurusan mereka, maka Mamluk merupakan mesin militer yang efektif digunakan oleh sejumlah negara penjajah untuk menekan pemberontakan maupun mempertahankan diri dari serangan luar. Namun status mereka sebagai budak juga menimbulkan ketegangan sosial serta kerusakan struktur politik dan ekonomi di negara-negara tempat mereka mengabdi.

Pasukan mamluk adalah pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yang membuat mereka menjadi simbol kesatuan sunni menjadi kekuatan politik independen. Mereka juga menyandang image sebagai pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat mereka menjadi penguasa. Serdadu Turki misalnya digunakan oleh Dinasti Saljuk untuk mempertahankan Islam sunni dari ancaman Syi'ah yang terus meningkat ketika berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah dan Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan militer membuat mamluk menjadi penekan yang keras bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma dan pengikut Syi'ah. Namun pada 1517, seluruh kesultanan Mamluk berakhir oleh serangan militer Dinasti Utsmaniyah. Dalam bagian ini, saya akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi dan keagamaan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir untuk menekankan adanya ketegangan hubungan antara otoritas dan institusi politik dan agama dalam salah satu periode sejarah Islam. 

Kesultanan Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) dengan oligarki yang esklusif dan memiliki kekuasaan politik/militer berdasarkan kekuatan resimen militer Mamluk yang dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, dalam hal ini Sultan, bahkan semua elite militer berasal dari budak atau orang asing yang dibeli dan dibesarkan sebagai budak kemudian dilatih sebagai tentara dan tenaga administratif. Karena mereka tidak mempunyai keluarga atau hubungan apapun di daerah tersebut, maka mereka sangat setia kepada tuannya dan mengabdi dengan sangat baik di kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan sumber keuangannya dari sistem iqta dimana mereka bisa mendapatkan hasil tanah namun tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya. Seperti Dinasti Ayyubi dan Seljuk, dinasti Mamluk juga tidak mempunyai justifikasi lain untuk berkuasa selain kekuatan militer yang mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka dapatkan untuk dinasti mereka berasal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam. Dominannya berbagai dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad dan di beberapa daerah Islam lain diikuti dengan berkuasanya Turki Utsmani yang membuat institusi negara menjadi institusi sekuler yang tersendiri. 

Kampanye militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan perlindungan terhadap tanah-tanah ummat Islam merupakan simbol-simbol publik yang sengaja ditampilkan untuk menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama dilatih, dihidupi, diajari di institusi-institusi tersebut dan dijamin kehidupannya dari waqaf-waqaf yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun Amir-amir itu memiliki tujuan-tujuan keagamaan, namun ada motivasi politik yang jelas terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama untuk mendapatkan legitimasi keagamaan bagi elite yang sedang berkuasa dan jajaran aparatnya. Selain memberikan wakaf kepada institusi pendidikan agama, para penguasa Mamluk juga menekankan pentingnya kehadiran mereka di kota suci Mekah dan Madinah dengan menyelenggarakan festival haji tahunan dan berperan sebagai pelindung utama Ka'bah. Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian dengan suku Qatadah yang saat itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah untuk memasangkan kelambu khusus yang dikirim dari Mesir pada Ka'bah dan memasang lambang-lambang kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.

Karena Mamluk tidak mempunyai klaim yang independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin untuk mengontrol negara. Tahun 1261 setelah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir dan melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui Baybars sebagai sultan. Sultan kemudian mengirim khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol di Ibukota Islam tersebut. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan kemudian menggantinya dengan melantik al-Hakim sebagai khalifah pada tahun tersebut. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya merupakan kegiatan seremonial dan lebih banyak diwarnai dengan penahanan rumah. Walaupun sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan pengawasan yang ketat terhadap para Khalifah yang mereka angkat dan memperlakukan mereka hanya sebagai pelengkap acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik dan ancaman yang mungkin muncul dari khalifah-khalifah tersebut. Karena mereka tidak memiliki gelar untuk berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk menggunakan simbol keagamaan Khalifah untuk maksud-maksud politik mereka melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka. 

Perkembangan hubungan antara institusi politik dan agama yang cukup signifikan terjadi pada saat transformasi lembaga peradilan yang dilakukan oleh Sultan al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tersebut pada periode 1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yang biasanya diisi hanya oleh seorang hakim agung yang bermazhab syafi'I dengan memberikan tempat yang sama kepada hakim dari tiga mazhab lain, dengan demikian majelis hakim terdiri dari 4 orang hakim dari empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya disebabkan beberapa hal termasuk keinginan Baybars untuk mendapatkan dukungan dari kalangan sunni yang bermazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali yang memang menjadi mayoritas pada saat ia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia juga bermaksud untuk mengarahkan mereka untuk berkonfrontasi dengan hakim bermazhab Syafi'i yang saat itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz. Episode ini sengaja saya ungkapkan untuk memperlihatkan peran negara untuk menegosiasikan kekuasaannya dengan institusi keagamaan dalam rangka mendapat legitimasi dan juga peran negara untuk memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.

Kompetisi antara para ulama untuk mendapatkan atau menarik dukungan terhadap negara memperlihatkan betapa kompleksnya hubungan antara institusi agama dan negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam menyelesaikan masalah-masalah fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat hirarkis lembaga peradilan membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim ketua dan hakim deputi. Hakim ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tersebut bisa dicatat dalam daftar hukum pengadilan (diwan al-hukum) dan dengan demikian bisa dilaksanakan oleh negara. namun bila deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yang sama dengan hakim ketua, maka hakim ketua tetap berkewajiban untuk melaksanakan keputusan itu. Namun minoritas hakim bermazhab syafi'I tidak mengizinkan hal tersebut karena itu berarti melanggar aturan mazhab orang lain. Dengan demikian, bila seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia tidak akan mengeimplementasikan keputusan yang dihasilkan oleh hakim dari mazhab lain. Karena pada saat Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yang memiliki pandangan seperti yang tersebut di atas, maka ia mulai memutuskan untuk menunjuk hakim agung lain yang mewakili kelompok-kelompok sunni yang bisa menerima keputusannya. Kebijakan ini memberikan keuntungan politis yang sangat jelas bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka tidak hanya menerima ucapan terimakasih dan kesetiaan dari kelompok-kelompok mazhab baru di lembaga peradilan yang tentu bisa membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi juga mereka bisa mempengaruhi khalayak banyak untuk menerima keberadaan mereka sebagai penguasa yang berasal dari tentara budak asing. Pada saat perang, rezim Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk memberikan mereka izin untuk memungut pajak baru dan mengalihkan dana wakaf untuk kepentingan perang.

Mari berbalik sejenak untuk melihat kewenangan muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini tetap memiliki fungsi yang sama di bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga moral publik, pengawas pasar dan sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib juga memperlihatkan adanya negosiasi yang sama antara institusi politik dan agama seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk jabatan muhtasib lebih dikenal sebagai jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang biasanya dipegang oleh para fuqaha, ulama, pengajar madrasah, dan praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun. Namun akhirnya rezim-rezim Mamluk yang saling bermusuhan menguasai jabatan ini untuk kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, dan berakhir dengan konsekuensi ekonomi yang buruk. Perubahan posisi jabatan ini juga terrefleksikan dalam perubahan hubungannya dengan negara dan persepsi masyarakat umum.

Kasus Ibnu Taimiyah bisa menjadi contoh intervensi rezim Mamluk dalam masalah diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak kurang lima kali selama hidupnya pada zaman kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dianggap tidak mendapat dukungan dari kalangan salaf dan bertentangan dengan konsensus para ulama dan para pembuat hukum (hakkam) yang hidup pada zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap membuat kekhawatiran di kalangan masyarakat awam". Pendapat Ibnu Taimiyah yang kontroversi itu diantaranya adalah pemisahan antara kelompok masyarakat ahl al-dzimma dengan muslim dan penggunaan kekuasaan negara untuk melawan musuh dari dalam seperti komunitas syiah yang termasuk dalam kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita bisa melihat bahwa dinasti Mamluk memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap politik yang cukup keras karena Ibnu Taimiyah memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan masyarakat Islam dan amir-amir Syiria. Namun Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama dan melayani pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah ia setuju dengan pandangan dan kebijakan mereka atau tidak.

Sebaliknya, para ulama, terutama ulama Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan mereka kepada rezim militer manapun yang memasuki kota tersebut agar ketertiban segera bisa dikembalikan secepat mungkin. Sikap seperti ini berdasarkan pada pendapat bahwa negara, seperti apapun bentuknya, lebih baik daripada perang dan pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian dan pengampunan yang diharapkan para ulama itu tidak mereka dapatkan ketika pasukan Mongol menyerang kota itu pada tahun 1299-1300. Bahkan hal yang sama terjadi pada saat Timur Lenk menginvasi kota itu satu abad setelahnya pada tahun 1400. Sementara ulama-ulama lain bersedia untuk bertahan dan melawan dengan mempersiapkan blokade atau perang gerilya, ahli fiqih Hanbali yang terkemuka, Ibnu Muflih, malah memperingatkan masa untuk menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri menjadi Sultan setelah berhasil memblokade kota selama 2 hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih menjadi qadi dan agen Timur Lenk, namun kota tetap saja dihancurkan. 

Peran para Qadi dalam kekuasaan Mamluk terintegarasi dan terpenetrasi oleh aparat negara. ada 4 jabatan qadi di setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi memiliki jaringan deputi yang memiliki kekuasaan politik yang setara dengan menempatkan diri mereka sebagai penengah antara ulama dan rezim Mamluk yang menuntut pajak yang tinggi untuk membiayai kebutuhan militernya. Memang sulit untuk mengetahui parameter otoritas dan wilayah kewenangan peradilan ketika tidak ada satupun prinsip pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun pada saat itu telah ada pembedaan institusi dan pejabat peradilan seperti qada, mazalim, hisba, dan lain sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yang dilakukan oleh aparat negara, sekaligus menjadi tempat bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh untuk memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya. Kasus-kasus wakaf dan properti individu sering menjadi kasus dalam pengadilan mazalim karena semasa rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik orang lain.

Ahl al-Dzimma di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk 
Dinasti Fatimiya sangat menekankan peran pemimpin dalam membangun masyarakat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya menjadi platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah untuk mendapatkan legitimasi. Secara teoritis, semua urusan negara, masyarakat, dan agama harus berada di bawah pengawasan imam yang maksum yang mengatur masyarakat berdasarkan otoritas ketuhanan yang komprehensif. Berbeda dengan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk tidak mempunyai klaim ideologis dari ajaran lama. Mereka mendasarkan diri pada klaim yang mereka buat sendiri untuk mempertahankan dan mendukung ajaran Islam. Selama pejabat dinasti Mamluk tidak menyalahi tatanan Islam di depan publik, kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi oleh mayoritas ulama. 

Status dan peran ahl al-dzimmah dalam masyarakat Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih banyak dipahami untuk merefleksikan sikap toleransi kepada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data historis menunjukkan bahwa permusuhan lebih banyak mewarnai hubungan antara muslim dan non muslim daripada hubungan simpatik. Dalam kasus Mesir misalnya yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi kepada masyarakat Mesir koptik atas keahlian yang mereka miliki untuk mengelola ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain dalam kehidupan masyarakat Mesir. Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki oleh komunitas Koptik dalam kegiatan ekonomi lokal sering menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk yang beragama Islam yang walaupun menjadi elite penguasa namun tetap tergantung pada minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan seperti ini dinegosiasikan dalam kasus-kasus yang akan saya paparkan nanti memperlihatkan adanya pola perlakuan yang berbeda terhadap ahl al-dzimmah dalam masyarakat muslim.

Selama periode Fatimiyah, kita bisa melihat adanya pola yang toleran dimana tidak adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi untuk mendapatkan kesempatan bekerja atau kemungkinan untuk melakukan mobilitas sosial. Bahkan orang-orang Kristen dan Yahudi berkerja di pemerintahan selama masa dinasti Fatimiyah dan awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun pada dinasti Ayyubi, beberapa pelarangan sempat terjadi. Namun praktik ini tidak boleh kita besar-besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada di Mesir tidak memiliki sistem yang bisa menyeimbangkan sejumlah kelompok dalam masyarakat yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Yang ia miliki hanyalah seorang imam yang memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yang bermazhab Ismailiyah sendiri juga merupakan kelompok minoritas di Mesir yang mengelola kelompok minoritas muslim lain yang mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas mayoritas orang Koptik. Dengan demikian semua segmen masyarakat Fatimiyah dan Mamluk di Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tak terdeteksi oleh negara. 

Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya agak sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) karena berbagai alasan, penduduknya yang mayoritas sunni sangat anti-dzimmi dan mereka marah kepada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang keberadaan kristen Koptik dan yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah dan tidak bisa diterima dalam masyarakat Islam. dengan demikian, tekanan negara kepada kelompok dzimmi harus dilihat sebagai konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada kelompok ini dan sebagai sikap politik yang layak diambil untuk mencegah konfrontasi serius antara kelompok ini dengan masyarakat muslim. Dengan demikian,

Posisi orang kristen dan Yahudi di negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun tidak cukup aman. Hukum Islam melindungi hidup, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa pembatasan, untuk melaksanakan ajaran agamanya. tetapi, hukum Islam juga menuntut mereka untuk dipisahkan dari masyarakat lain dan mengharuskan mereka untuk tunduk pada aturan. Jika aturan-aturan itu dijalankan di bawah pemerintahan yang lemah atau buruk`,maka kondisi ini dapat dan pasti mengarah pada absennya hukum dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah ini selaras dengan karakter umum periode saat itu dimana… perdagangan internasional yang cepat dibuat untuk interaksi bebas antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat disamping karena perilaku tertentu yang dianggap masuk akal.

Debat akademis mengenai status dzimmah di kalangan ummat Islam sering merujuk pada apa yang disebut "perjanjian Umar", sebuah teks yang berasal dari perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, namun dianggap oleh sebagian sarjana baru muncul pada beberapa masa berikutnya. Kondisi yang nampaknya telah diatur oleh perjanjian itu adalah perbedaan gaya berpakaian (ghiyar), larangan untuk mendirikan gereja atau sinagog, pembatasan kegiatan ibadah yang dilakukan di ruang publikm dan aturan-aturan mengenai kemungkinan ahl-dzimmah bekerja dalam pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja merupakan tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah). Aturan-aturan tersebut nampaknya tidak pernah dikodifikasikan di Mesir baik sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, namun implikasi dan pengaruhnya masih terlihat dalam berbagai kasus.

Praktiknya, memang, beragam tergantung faktor politik dan faktor-faktor lainnya. Negara bisa saja mengizinkan pendirian gereja dan sinagog baru atau merehabilitasi bangunan lama, tetapi ia juga bisa saja menyerah pada tuntutan ulama dan masyarakat untuk menolak permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum di masyarakat Islam Fustat saat itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas pengaruh mereka kepada masyarakat non-muslim dengan mewakafkan tanah untuk gereja, melindungi hak-hak lembaga biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi di Yerussalem. Namun kompleksitas masalah ini bisa dilihat dari kasus Muhammad bin Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yang menghadapi tekanan yang sangat besar dari masyarakat muslim yang sangat marah untuk melarang perbaikan gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak. Dua dari tiga ahli hukum yang ditunjuk untuk memeriksa legalitas perbaikan gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi Ibnu Tughj lebih suka mengambil pendapat hakim ketiga yang menyatakan legalitas perbaikan tersebut. Namun setelah ahli hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di jalanan dan bahkan menimbulkan kerusuhan yang melibatkan pasukan bersenjata, jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia tidak bisa mengimplementasikan kebijakannya itu karena akan menimbulkan ketidakstabilan yang berkelanjutan. Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja tidak diizinkan untuk diteruskan.

Pada tingkat lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka untuk mengeksploitasi, memeras dan menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat Yahudi di Yerussalem kadang-kadang harus membayar untuk mendapatkan izin penyelenggaraan kegiatan agama. Pada masa wazir al-Yazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan dan perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus ini akhirnya bisa diselesaikan setelah komunitas Kristen koptik di wilayah itu membayar sejumlah besar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan. Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya ketegangan antara rezim dinasti Fatimiyah dengan Pimpinan Kristen koptik dan akan mengganggu peran komunitas koptik yang cukup besar dalam mengelola pertanian Mesir. Pendukung Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap sejumlah gereja dan pembunuhan sejumlah pendeta yang terjadi sepuluh tahun berikutnya pada perang sipil di masa al-Mustansir. Meskipun ada banyak contoh perlakukan buruk terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah saya kemukakan tadi dan adanya kebijakan resmi pemerintah untuk melindungi dan memberikan toleransi kepada kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian pada kasus diskriminasi yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yang terjadi pada masa Khalifah al-Hakim. 

Sejarawan periode ini umumnya setuju bahwa karakter dinasti ini cukup bagus karena mereka memperlakukan kelompok non-muslim dan non-syiah Ismailiyah dengan baik. Namun, pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas nama agama, terror yang disponsori negara dan tumbuhnya semangat keagamaan yang tidak terkontrol. Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan penghancuran gereja, al-Hakim juga melakukan kampanye sistematis untuk menganiaya dan melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk pemerintahannya, 1004-1012, gereja dan biara di Kairo dan seluruh kota-kota Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di Yerussalem, bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid, kas-kas gereja dirampas, dan tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi sangat buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada masa itu. Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum ia meninggal (menghilang), kerusakan, terutama yang disebabkan oleh hilangnya wakaf dan perubahan bangunan gereja menjadi masjid, bisa dikatakan permanen. Namun pada pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yang beremigrasi ke Byzantium pada masa al-Hakim, mulai kembali ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, hingga hubungan antar agama mulai kembali membaik. 

Tidak seperti rezim Fatimiyah, rezim Mamluk tidak memandang dirinya sebagai pemimpin agama atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan yang dianggap urusan ulama. Malah, mereka tergantung pada ulama dan pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini membuat posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih buruk daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk tidak berniat untuk menyulut permusuhan dengan komunitas ahl-dzimmah tertentu, namun mereka cenderung menyerah pada permintaan para pemimpin agama yang menekan mereka untuk memperlakukan ahl al-dzimmah dengan buruk. 

Hampir di seluruh negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah sering dipekerjakan oleh Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yang cukup berpengaruh itu jelas memancing permusuhan dan kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini nampaknya semakin meningkat ketika mayoritas sunni yang tinggal di Mesir menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama dua abad berikutnya dan menghadapi perang salib. Dalam suasana seperti itu, kejadian kecil saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan biasanya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya dengan cara menekan kalangan dzimmi untuk menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini membuat masyarakat semakin menuntut adanya tindakan yang lebih keras kepada kalangan Kristen Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan dan pembunuhan. Namun ketika Mamluk berusaha untuk menegakkan otoritas mereka dan mengembalikan perdamaian, mereka juga berusaha untuk tidak terlihat mendukung Kristen Koptik, hingga Mamluk terpaksa menjatuhkan hukuman ekstra judicial kepada mereka dan memecat mereka dari pekerjaan. Namun perlakuan buruk ini tidak terjadi pada kristen Koptik yang menjadi pejabat tinggi negara. Mereka biasanya ditawari untuk masuk Islam, namun hanya beberapa orang di antara mereka yang merespon tawaran itu dengan serius. 

Kadang-kadang tuntutan untuk memperlakukan ahl-dzimmah dengan buruk itu datang dari luar. Misalnya ketika seorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung ke Mesir pada tahun 1301. Ia mengungkapkan ketidak sukaannya terhadap sikap baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yang ada di Mesir karena di negerinya orang-orang ini diperlakukan dengan sangat buruk. Akibatnya, beberapa Amir mamluk yang oportunis berusaha untuk melaksanakan tuntutan umum masyarakat ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gereja-gereja di daerah kekuasaan Mamluk bahkan hingga mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah gereja kembali dibuka. Protes massa Muslim terhadap peningkatan status dan perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung menyebabkan negara bertindak keras kepada mereka hingga banyak di antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya ada hasutan dan sejenis koordinasi antara kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan oleh massa di Kairo dan pada hari yang sama, sekitar 60 gereja di daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik melakukan pembalasan dengan membakar sejumlah masjid di Kairo. Akhirnya, Sultan Mamluk menggunakan tindakan kekerasan untuk mengamankan suasana. 

Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan untuk meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yang disebabkan oleh kejadian-kejadian kecil. Seperti pada masa sebelunya, pembatasan ketat yang berdasarkan Perjanjian Umar kembali diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik dan Yahudi yang menjadi pejabat tinggi dipecat dari jabatannya, dipaksa masuk Islam dengan ancaman akan dibunuh di jalanan kota Kairo. Pada tahun itu pula, semua tanah wakaf yang diberikan kepada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan kepada para amir dan beberapa ulama, hingga lembaga-lembaga kristen kehilangan sumber utama keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan sumber-sumber keuangan lembaga itu dimaksudkan untuk menarik ahl al-dzimmah agar masuk Islam dalam jumlah besar. 

IV. Negosiasi Antar Lembaga 
Pengalaman sejarah yang saya ungkapkan tadi hanya merupakan contoh pendekatan Islam terhadap sekularisme sebagai negosiasi konstan antara institusi negara dan politik. Seperti yang sudah saya tekankan di awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang berbeda untuk mendukung pandangan yang berbeda bahkan yang saling bertentangan. Karena itulah saya sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yang saya lakukan di sini bukanlah satu-satunya cara. Namun bukan berarti interpretasi sejarah dan penjelasan mengenai implikasinya yang saya lakukan di sini harus ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan sejarah yang saya lakukan bisa masuk akal dan berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk tetap berpegang teguh kepada syariat dalam konteks mereka saat ini baik dalam konteks lokal maupun global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang saya dapat dari kilas balik sejarah yang saya lakukan tadi dan mengaitkannya dengan proposisi utama yang saya ajukan dalam buku ini, tanpa membuat kesimpulan apapun. 

Bab ini saya mulai dengan menyatakan bahwa saya setuju dengan padangan Ira Lapidus tentang adanya pembedaan antara institusi agama dan negara dalam sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian selanjutnya, saya berusaha untuk mendukung dan menjelaskan validitas pandangan ini dan menghubungkannya dengan ide mengenai pemisahan antara lembaga keagamaan dan negara dengan tetap mengakui keterhubungan antara agama dan politik dalam masyarakat Islam saat ini. Dengan kata lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama bisa dilakukan melalui teori dan dibuktikan dengan analisis sejarah seperti berikut ini. 

Pembedaan instituisonal ini bisa didukung secara teoritis dengan memperlihatkan perbedaan karakter otoritas politik dan agama seperti yang sudah saya jelaskan dalam bab I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini adalah bahwa negara memang harus sekuler dan politis karena kekuasaan dan institusinya membutuhkan tingkat dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas tertentu yang tidak dimiliki oleh otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka tidak punya kekuasaan maupun kewajiban untuk bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan relasi ekonomi dan sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yang efektif atas wilayah dan penduduk, serta kemampuan untuk menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus dimiliki oleh pejabat negara, namun tidak oleh pemimpin agama. 

Seperti yang sudah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan legitimasi keagamaan dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah ada dua tipe otoritas yang berbeda, bahkan meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya memiliki kriteria yang berbeda dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang lain. Otoritas agama didasarkan pada tingkat pengetahuan dan kesalehan seorang ilmuwan dan dinilai oleh yang menerima otoritasnya berdasarkan penilaian pribadinya yang subjektif di luar interaksi personal rutinnya dengan orang itu. Sementara otoritas politik pejabat negara berdasarkan kualitas yang bisa dinilai secara lebih objektif seperti kemampuannya untuk menggunakan kekuasaan dan mengelola administrasi yang efektif untuk kemaslahatan ummat. Bahwa ada seseorang yang bisa mengkombinasikan otoritas politik dan keagamaan, tidak berarti bahwa kedua otoritas ini sama atau kemampuan tersebut harus dimiliki oleh orang lain yang akan melakukan fungsi-fungsi politik dan keagamaan. 

Pentingnya pembedaan otoritas ini juga bisa dilihat dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh keinginan untuk memaksakan penyatuan antara Islam dan negara seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad di masa Khalifah Abu Bakar (632-634). Kesimpulan yang saya tarik dari terjadinya perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya, Abu Bakar tetap bisa melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang oleh para sahabat utama karena ia adalah seorang khalifah dan bukan karena ia mengambil keputusan yang benar dan tepat menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau sah. Ummat Islam memang akan terus berbeda pendapat mengenai hal ini tanpa adanya kemungkinan untuk mendapatkan kepastian yang independen dan bisa diterima oleh semua pihak. Namun menurut saya, akan lebih konstruktif bila kita membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan kebijakan dan tindakan politiknya sebagai khalifah. Seperti Umar dan Ali yang berbeda pendapat dengannya, Abu Bakar juga seorang sahabat yang memiliki justifikasi religius untuk posisi mereka. Namun ini tidak berarti keputusannya untuk menyerang suku-suku Arab yang memberontak adalah keputusan agama dan bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan tidak boleh ditentukan oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat Islam untuk melihat periode Madinah karena otoritas politik pada masa itu masih sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi karena berbagai faktor diantaranya contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara di wilayah Arabia sebelumnya dan cara 4 khalifah pertama dipilih dan menjalankan kekuasaannya. Masalahnya adalah apapun pandangan yang digunakan untuk melihat peristiwa-peristiwa sejarah itu, kebingungan seperti ini tidak bisa dijustifikasi dan diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat ini. 

Pentingnya pemisahan otoritas agama dan negara dalam masyarakat Islam juga bisa dipahami dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yang dikeluarkan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada tahun 833, persis 200 tahun setelah perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini penting bagi diskusi kita kali ini karena peristiwa mihnah jelas memperlihatkan bahayanya penyatuan otoritas agama dan negara sekaligus menandai runtuhnya dominasi model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka dari negara dengan sukses walaupun beberapa di antara mereka harus membayar mahal. Pengalaman ini juga menegaskan pentingnya melindungi otonomi aktor-aktor masyarakat sipil, termasuk otoritas keagamaan karena perlindungan ini merupakan hal penting bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara dengan tetap mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara pemimpin agama dan negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan dan sumber keuangan yang mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tersebut. 

Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yang mampu telah berusaha untuk mewakafkan tanah atau harta milik mereka yang lain untuk mendukung masjid, madrasah dan apapun yang bisa bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya adalah layanan publik yang disediakan oleh waqaf terus mengalir manfaatnya dan mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif saat dia hidup mauopun setelah mati. Waqaf memang telah memainkan peran yang sangat besar dan cukup kompleks dalam masyarakat Islam, lebih dari pernah diperkirakan. Regulasi mengenai wakaf menjadi bidang yang sangat komplek dalam hukum Islam karena ia berkaitan dengan hal-hal yang juga penting seperti warisan termasuk di dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris, dan etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan aturan mengenai wakif karena institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh orang-orang yang menghindari aturan zakat dan waris. Namun, karena wakaf sangat penting dari segi praksis maupun keagamaan, memiliki konsekuensi sosial dan politik serta kompleksitas teknis, ia menjadi rentan terhadap manipulasi yang dilakukan oleh penguasa atau pejabat negara. dan ini bisa menjadi indikasi bahayanya penyatuan otoritas politik dan keagamaan dalam masyarakt Islam. 

Selain memiliki implikasi hukum, wakaf atau donasi semacamnya yang ditujukan untuk kepentingan publik atau kelompok tertentu, juga memiliki implikasi sosial dan politik. Wakaf memang telah menjadi bagian yang penting dalam ruang publik masyarakat Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan norma-norma dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan dan penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan individu, namun pengguna wakaf selalu berada di ruang publik". karena itulah, "dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa keterikatanya dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan nilai-nilai yang dianut komunitas itu." 

Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan wakaf sebagai, "Penggunaan hasil yang didapat dari benda hak milik untuk tujuan-tujuan kebaikan dengan tetap mempertahankan wujud bendanya". Namun insitusi atau bagian—bagian wakaf yang tidak ditujukan untuk mencari penghasilan seperti sekolah agama, madrasah, masjid, tempat-tempat para sufi, dan institusi-institusi keagamaan lainnya biasanya didanai dari hasil aset wakaf yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau bisnis lainnya. Sebagai balasannya, para pewakaf akan terus didoakan oleh orang-orang yang memanfaatkan institusi-institusi yang didirikan di atas properti yang mereka wakafkan baik dengan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu biasanya dilakukan dalam acara publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan, pedagang dan pemuka masyarakat berusaha untuk mewakafkan harta mereka sebanyak-banyaknya untuk memperkuat bahwa kesan mereka adalah pemimpin yang soleh di mata masyarakat. Namun bisa saja sikap itu didorong oleh tujuan untuk mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan wahana bagi pewakaf untuk terus diingat dan didoakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Namun di samping itu, tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi untuk melayani masyarakat. 

Besarnya fungsi sosial dan keagamaan yang dimiliki oleh wakaf jelas mempunyai implikasi politik tertentu. Wakif bisa menjamin kesetiaan orang-orang yang memanfaatkan wakafnya, dan sekaligus menjamin lingkaran jaringan dan hubungan sosialnya. Tak heran bila wakaf yang ditujukan untuk keperluan kegiatan keagamaan seperti untuk madrasah dan masjid banyak bermunculan pada saat taruhan politik sedang meninggi. Sebagai contoh, Sekolah agama Dar al-Ilmi merupakan wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim untuk memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah di Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, ia mewakafkan sekolah pada saat Baghdad sedang dalam suasana tidak menentu.

Akhirnya, wakaf menjadi tempat bagi penguasa dan ulama untuk menegosiasikan dan memediasi hubungan antara keduanya. Penguasa tidak bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya yang menginginkan mereka untuk memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yang sudah dijelaskan oleh para ulama. pada saat yang sama, ulama dan institusi keagamaan juga tidak berfungsi tanpa dukungan penguasa yang tidak hanya melindungi batas-batas negara Islam dan menjaga stabilitas dan perdamaian domestik, tetapi juga memberikan wakaf kepada institusi-institusi keagamaan dan menegakkan aturan-aturan wakaf. 

Namun, seperti yang sudah saya jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama karena para ulama mempunyai kredibilitas untuk memberikan legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama sangat bermanfaat tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi pengikut mereka dan negara. Wakaf menyediakan mekanisme hukum dan sosial untuk menjaga keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai wahana bagi para pemimpin untuk mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf menjadi representasi hubungan yang tersembunyi namun konstan antara yang berkuasa dan yang diatur. Namun dinamika dan peran wakaf di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain dan berimplikasi pada penyebaran mazhab.

Aturan mengenai wakaf memberikan perhatian khusus pada posisi wakif, yang sering memiliki hak untuk menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya untuk mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak untuk mendapapatkan manfaat meskipun tidak ekslusif dari hasil pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi dari prinsip bahwa wakfi tetap memiliki hak kepemilikan tertentu terhadap aset wakaf dan bisa terus mendapatkan keuntungan dari pengelolaan wakaf tersebut. Sebagai prinsip umum, wakif memiliki kekuasaan untuk menentukan aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini sudah sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian mengenai wakaf bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama kuatnya dengan keputusan syariat). 

Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya dianut oleh semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yang menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut mazhab ini untuk mewakafkan hartanya hingga popularitas mazhab ini di Baghdad menurun pada Abad Pertengahan, sementara mazhab lainnya mengail keuntungan pada saat itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya tidak pernah memiliki madrasah di Baghdad maupun di negeri Islam lainnya." Meski demikian, karakter ini menyebabkan lembaga-lembaga mazhab Maliki memiliki otonomi yang sangat tinggi. Dengan tidak mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), lembaga-lembaga mazhab Maliki hendak mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap institusi-institusi keagamaan untuk tujuan-tujuan politik. 

Pemberi wakaf bisa saja memiliki motif berbeda ketika mewakafkan hartanya kepada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya kepada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki ketika hendak menaklukkan Mesir walaupun ia sendiri penganut mazhab hanafi. Nampaknya pemberian wakaf kepada mazhab Maliki bertujuan untuk menenangkan penduduk lokal yang telah menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii didirikan untuk menunaikan ambisi mereka untuk mengikatkan dirinya dan kekuasaannya kepada istana khalifah di Baghdad yang menganut mazhab ini. Salahuddin juga membangun madrasah di lokasi-lokasi yang bagus yang dulunya digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti istana dan stasiun polisi. 

Tingkat otonomi wakaf kemudian memainkan peranan penting dalam menegosiasikan hubungan antara ulama dan penguasa. Karena ditujukan untuk untuk tujuan atau komunitas tertentu, wakaf boleh diberikan kepada kelompok otonom yang memiliki tingkat pengaruh dan partisipasi tertentu dalam ruang publik. Lembaga-lembaga yang memainkan peran dan sosial keagamaan seperti mengundang para sufi, mengembangkan dan mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf dan penerimanya penghormatan yang cukup tinggi dari masyarakat. Wakaf merupakan alat penting bagi keluarga terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka dari otoritas penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah masyarakat. Wakaf juga merupakan alat pendukung yang penting jika mereka hendak melindungi kepentingan masyarakat dengan menentang kebijakan pemerintah." 

Namun, otonomi penuh tidak bisa diraih melalui wakaf dan malah bisa dikompromikan karena berbagai faktor. Misalnya, jika pemberi wakaf adalah pejabat terkemuka, kita tidak akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang bisa kita temukan dari institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka masyarakat sipil, dari institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin bisa meningkatkan kredibilitasnya, namun bisa juga menurunkan tingkat ketertarikan masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yang sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian dari institusi-institusi negara atau terlibat dalam masalah-masalahitu dengan negara. posisi seperti ini mungkin bisa membuat satu mazhab atau seorang ulama memiliki otonomi yang lebih tinggi dan pengaruh yang lebih besar pada lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Namun sikap seperti ini tidak selalu menghasilan kebijakan yang lebih plural dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan pengaruh konservatif atau ortodoks.

Dengan demikian, madrasah-madrasah yang ada di Baghdad pada abad ke-11 adalah wakaf dari para menteri dan sultan dinasti Saljuk yang juga "membayar gaji para guru dan memberikan biaya kepada para siswa." Setelah itu Baghdad dikuasai oleh Dinasti Buwaihi yang penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung penyelengaraan ritual-ritual syi'ah di ruang publik. Sikap ini kemudian memprovokasi massa sunni di Baghdad dan di daerah lainnya. Dengan kata lain, munculnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain dalam hubungan antara institusi negara dan agama yaitu peran sektarianisme. Pola patronase ini tidak hanya terjadi di antara dua jenis institusi ini secara ekslusif, tetapi di dalam kedua institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara aktor-aktor negara yang mempunyai kepentingan berbeda dan bersaing satu sama lain dengan institusi agama yang terdiri dari berbagai kelompok yang bersaing dan bertentangan satu sama lain. Selama peristiwa mihnah, kalangan Syi'ah adalah korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase yang berlaku saat itu. 
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger