Revolusi Islam Iran Dan Realisasi Vilayat-I Faqih

Revolusi Islam Iran Dan Realisasi Vilayat-I Faqih 
Revolusi Iran adalah contoh paling spektakuler di dunia Islam, bagaimana agama mampu memberi kekuatan bagi gerakan revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan tiranik dan despotik. Bahkan tidak sekedar menumbangkan kekuasaan, tetapi lebih mendasar dari itu, mengganti sistem politik lama (monarki) dengan sistem politik baru (wilâyah al-faqîh). Banyak kalangan menyebut revolusi ini sebagai “salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat Islam”. Kesuksesannya dapat disejajarkan dengan Revolusi Prancis (1789) atau Revolusi Bolshevik Rusia (1917).

Revolusi yang telah berlangsung di Iran tahun 1978-1979 dan menghasilkan pemerintahan Islam yang berlangsung sampai hari ini, mengangkat banyak isu yang terkait dengan kebangkitan Islam kontemporer: keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, dan politik dengan penekanan pada identitas bangsa, keaslian budaya, partisipasi politik, dan keadilan sosial disertai pula dengan penolakan terhadap pembaratan  otoriterisme kekuasaan, dan pembagian kekayaan yang tidak adil. Inilah “the real revolution” yang digerakkan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dipimpin oleh para tokoh agama.

Keterlibatan para mullah dalam gerakan revolusioner menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa di Iran mulai tahun 1925-1979, merupakan fenomena menarik dan unik jika dilihat dari perspektif sejarah sosial-politik Syi’ah. Syi’ah sebagai madzab resmi Iran sejak Dinasti Safavi menekankan artikulasi politik yang lebih akomodatif terhadap kekuasaan. Perilaku para pengikut Syi’ah sejak lama terpola dalam tradisi taqiyeh (dissimulation) dan quietisme. Apa yang telah ditampakkan oleh para mullah dan pengikutnya yang terlibat dalam gerakan revolusi adalah pergeseran orientasi sikap keberagamaan dari pasivisme menanti datangnya Imam Mahdi ke arah gerakan kongkret dan pro-aktif dalam melawan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Di sinilah tampak peran para reformer ideologi Syi’ah kontemporer yang berhasil memperbaharui ajaran Syi’ah.

Syi’ah sebagai madzab resmi Iran menjadi identitas nasional dan sumber legitimasi politik sejak abad keenam belas. Islam Syi’ah telah terlibat dalam percaturan politik sejak kemunculannya dan karena itu memiliki sejarah dan sistem kepercayaan yang dapat ditafsirkan dan dimanfaatkan dalam krisis politik. Tetapi sejak ditetapkan sebagai madzab resmi pada Dinasti Savafi, ajaran Syi’ah Imâmiyah (aliran mainstreem dalam Syi’ah) memiliki kecenderungan apolitis dan terlalu kooperatif dengan penguasa negara. Wacana keagamaan yang diusung para ulama berkutat pada masalah-masalah ringan dan fiqh oriented dari pada masalah sosial-politik yang memiliki jangkauan spektrum lebih luas. Julukan untuk mereka adalah para akhund, sebuah istilah pejoratif untuk menyebut ulama yang berpengetahuan dangkal.

Dalam tradisi Sunni, ulama model itu juga menjadi fenomena dominan dalam konstelasi politik negara-negara berbasis madzab sunni. Ulama-ulama Wahhabi, misalnya, posisi sosio-politik mereka telah terhegemoni oleh sistem politik kerajaan Saudi. Wahabi menjadi madzab resmi Kerajaan Saudi Arabia sehingga ia adalah sumber legitimasi bagi penguasannya. Wahabi yang pada awal-awal kelahirannya sangat kritis, telah berubah menjadi sekadar lembaga stempel bagi kekuasaan sang Raja. Agama dalam kondisi seperti ini seolah mati suri karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah sejarah umat manusia. Agama telah kehilangan elan vital sebagai sumber inspirasi untuk membela yang lemah dan memerangi kemungkaran (depotisme).

Ali Syari’ati, salah satu dari sedikit para pemikir Iran yang sangat gundah dengan fenomena “kematian agama (syi’ah)”. Apalagi latar historis saat Syari’ati tumbuh berkembang menjadi intelektual terkemuka adalah kekuasaan Syah Reza Pahlevi yang mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Di saat para ulama Syi’ah kebanyakan bungkam atau mengambil sikap diam dan menjaga jarak dengan dengan sosio-politik kala itu, Syari’ati tampil untuk melontarkan gagasan-gagasan radikal tentang oposisi dan revolusi yang bersumber dari ajaran Syi’ah yang sudah dicangkokkan dengan tradisi revolusioner Dunia Ketiga dan Marxisme. Ali Syari’ati berhasil membangun ideologi Islam revolusioner yang lantas ditawarkan sebagai ideologi alternatif atas kecenderungan Marxis dan nasinalis-sekular yang banyak digemari kalangan muda Iran.

Ali Syari’ati mengecam para ulama yang telah menjadikan Syi’ah semata-mata sebagai agama berkabung dengan mengubah arti hakiki peristiwa Karbala. Ulama, menurut Syari’ati telah mengkhianati Islam dengan “menjual diri” kepada kelas penguasa, dengan begitu ulama telah mengubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (dîn-i dewlati), yang paling tinggi hanya sebabatas menekankan sikap kedermawanan (philantropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan.

Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan khusus ulama semacam itu telah menjadikan mereka sebagai instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikelola ulama dibiayai kaum kelas berharta untuk mencegah ulama berbicara tentang perlunya menyelamatkan kaum miskin dan mereka yang tertindas (mustad’afîn). Sebaliknya, dengan menggunakan doktrin tentang fiqh ekonomi, ulama merupaya mengabsahkan eksploitasi yang menurut Syari’ati lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Islam di tangan ulama itu telah menjadi khordeh-I burzhuazi (borjuasi kecil). 

Masih menurut Syari’ati, banyak ulama berpandangan sangat picik (ulamâ-i qisyri), yang bisa bisa mengulang-ulang doktrin fiqih secara bodoh. Mereka memberlakukan Kitab Suci sebagai lembaran kering, tanpa makna, sementara pada sisi lain asik dengan isu-isu yang tidak penting seperti soal pakaian, ritual, panjang pendeknya jenggot dan semacamnya. Akibatnya ulama gagal memahami makna istilah-istilah kunci seperti ummah, imâmah, dan nizâm al-tauhîd. Ulama yang digambarkan Syari’ati itu lebih cenderung fiqh oriented dan senang bergumul dengan wacana khilâfiyah yang semua itu tidak terkait dengan problem real masyarakat. Kemisminan, kebodohan dan keterbelakangan serta penindasan menjadi isu yang tak tersentuh (untouchtable) dalam alam pikiran para ulama sehari-hari, karena mereka lebih disibukkan dengan polemik wacana fiqhiyyah yang tidak urgen.

Kecenderungan ulama seperti gambaran di atas akan menguntungkan posisi penguasa, karena aspek-aspek penyelewengan kekuasaan, praktek ketidakadilan dan kebijakan yang hanya menguntungkan diri sendiri menjadi lepas dari kontrol dan kritik ulama. Maka tidak aneh jika pihak penguasa menyediakan dana yang cukup untuk aktifitas ulama model ini, karena semakin ulama tidak independen, akan lebih memudahkan para penguasa melakukan kontrol terhadap aktivitas mereka. Kolaborasi semacam ini yang telah terjadi di Iran sebelum revolusi, dimana rezim Syah banyak memanfaatkan ulama untuk melakukan counter balik terhadap wacana kritis yang dilontarkan para kaum oposisi. Termasuk di antara kaum oposisi itu, Ali Syari’ati adalah salah satu tokoh pentingnya.

Berada dalam pusaran oposisi vis-à-vis kekuasaan rezim Syah dan ulama konservatif, Ali Syari’ati banyak menuai kritik bahkan hujatan dan fitnah dari beberapa ulama. Mereka pada umumnya menuduh Syari’ati menyesatkan dan menipu kaum muda mengenai ajaran Islam sejati versi Syari’ati. Ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayatullah Khu’i, Milani, Ruhani dan Thabathaba’i, bahkan mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual dan membaca tulisan Syari’ati. Mereka menganggap tulisan-tulisan Ali Syari’ati, khususnya dalam bukunya Eslamshenasi (diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Islamology), telah menyimpang dari tradisi Islam Syi’ah karena menggunakan sumber-sumber non-Syi’ah. 

Ali Syari’ati adalah contoh intelektual sui generis yang berani dalam posisi melawan mainstreem politik maupun pemikiran Islam. Ia dapat disejajarkan dengan para pembaharu Sunni pendahulunya, seperti Jamal al-Din al-Afghani (w.1897), Muhammad Abduh (w. 1905) atau Muhammad Iqbal (w.1938). Sama dengan Syari’ati, mereka adalah pembaharu pemikiran Islam dan sekaligus para oposan yang sangat kritis dengan fenomena ketidakadilan dan imperialisme Barat. Yang membedakan antara Syari’ati dengan ketiga tokoh Sunni itu adalah bahwa Syari’ati lebih radikal dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran pembaharuannya dan ini yang perlu mendapat catatan tebal sejarah pembaharuan Islam, bahwa Syari’ati dengan gagasan revolusinya berhasil menarik gerbong oposisi di kalangan masyarakat Iran untuk melawan rezim yang berkuasa sampai akhirnya gerakan oposisi itu berhasil melakukan revolusi bersejarah tahun 1979.

Ali Syari’ati dan Revolusi Iran adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Walau dia meninggal dunia beberapa saat sebelum revolusi itu benar-benar terwujud, tepatnya tanggal 19 Juni 1977, gema revolusi yang dia kampanyekan di Iran sampai akhir hayatnya, mendapat sambutan yang antusias dari massa pengunjak rasa pada puncak gerakan revolusi 1978-1979. Poster-poster Ali Syari’ati bersanding dengan poster tokoh revolusi lain seperti Mossadeq dan tentunya Khomeini, diusung sepanjang demonstrasi besar-besaran melawan Rezim Syah. Bahkan beberapa kalangan menyebut Syari’ati lebih mempunyai peran dalam Revolusi Iran ketimbang Khomeini, misalnya, yang munculnya pada saat-saat setelah secara efektif revolusi berakhir. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution: Past, Present, and Future, bahkan menuduh Khomeini sebagai pembajak Revolusi Iran dari para pejuang pra-revolusi. 

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, peneliti menemukan titik urgensi penelitian tentang pemikiran Ali Syari’ati, khususnya yang terkait dengan Islam dan revolusi. Syari’ati adalah prototype cendekiawan Islam yang melaju diantara pusaran konservatisme pemikiran Islam yang menekankan Islam sebagai agama yang terpisah dengan persoalan-persoalan real di masyarakat, dan sekularisme pemikiran yang begitu terpesona dengan modernisme Barat dan meninggalkan Tradisi Suci Agama. Syari’ati menawarkan model lain (the third way, dalam istilah Antoni Gidden), yaitu Islam revolusioner, Islam yang mengambil posisi sebagai jalan revolusi menuju pembebasan umat atas segala macam bentuk ketidakadilan dan penindasan. Syari’ati berhasil menggali nilai-nilai revolusioner Islam yang selama ini terkubur oleh ortodoksi, yang dalam konteks ajaran Syi’ah, Syari’ati telah merevolusi doktrin Syi’ah dalam bentuknya yang lebih progresif. Simbol-simbol penting Syi’ah seperti asy-Syûra, Karbala, Syâhid diposisikan kembali dalam wacana perlawanan seperti semula. 

Penelitian ini juga akan menggali lebih eksploratif tentang pengaruh pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dalam Revolusi Iran 1979. Keberhasilan Revolusi Iran tidak bisa lepas dari keberhasilan revolusi doktin Syi’ah. Dan salah satu tokoh penting yang terlibat dalam proyek revolusi doktrin Syi’ah itu adalah Ali Syari’ati.

Pemikiran Ali Syari’ati yang revolusioner mengundang perhatian orang untuk mengkaji lebih dalam hubungan pemikirannya dengan para pemikir revolusioner sebelumnya. Para pengkaji pun lantas mengaitkan Syari’ati dengan Marx dalam satu pola hubungan geneologis pemikiran. Hasilnya pun bisa ditebak, bahwa Syari’ati sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Marx, khususnya yang terkait dengan bagaimana menganalisis ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sehingga beberapa kalangan menyebut proyek pemikiran Syari’ati adalah Islamisasi Marxisme atau Marxisisasi Islam.

Eko Supriyadi adalah salah satu dari peneliti Indonesia yang telah berusaha mengkaji pengaruh Marxisme dalam pemikiran Ali Syari’ati. Dalam penelitiannya yang telah diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati, Eko berupaya menelusuri akar-akar geneologis pemikiran sosialisme Ali Syari’ati pada pemikiran Marxisme. Dalam temuannya Supriyadi menyatakan bahwa ada pengaruh Marx dalam pemikiran Syari’ati, tetapi Syari’ati menerima pemikiran Marx dengan kritik dan ia menawarkan sintesa antara Marxisme dan Islam. Salah satu yang dikritik Syari’ati dalam rancang bangun pemikiran Marx adalah kecenderungannya yang menafikan segala bentuk spiritualitas, yang dengan begitu menafikan agama, sekaligus Tuhan. Penelitian lain yang agak mirip dengan karya Eko Supriyadi adalah yang dilakukan oleh Munawar Anwar Firdausi dengan judul Analisis Tipologi Pemikiran Karl Marx dalam Pandangan Ali Syari’ati yang dia ajukan sebagai tesis di pascasarjaan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004. 

Kedua penelitian di atas lebih menekankan pada pengaruh pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati dan kritik Syari'ati terhadap Marxisme. Penelitian itu tidak memotret secara utuh bagaimana wacana Islam dan politik yang diusung Syari'ati apalagi mengaitkannya dengan revolusi Iran. Tetapi paling tidak dari penelitian itu dapat dilacak akar geneologis pemikiran revolusioner Syari'ati, sehingga lebih memudahkan untuk merekonstruksi pemikirannya dan mengaitkannya dengan revolusi Iran 1979.

Adalah terlalu sempit jika memposisikan Syari’ati sebatas tokoh yang mampu mensitesakan antara Islam dan Marxisme. Realitas sosial, politik dan budaya yang melingkupi Syari’ati dalam menelorkan karya-karya intelektualnya begitu komplek. Rezim Syah Pahlevi yang despotik, ajaran-ajaran Islam (Syi’ah) yang dibonsai ulama resmi menjadi sebatas ajaran ritual, serta kondisi umum masyarakat Islam yang berada dalam cengkraman hegemoni Barat adalah fenomena penting yang membentuk karakter pemikiran Syari’ati, sehingga wajar jika tampak karakter revolusioner dalam pemikirannya. Ali Syari’ati tergelisahkan oleh kondisi umat yang terus-menerus diposisikan sebagai pihak yang teraniaya (mustal’afîn), dan karya-karya Syari’ati seolah mewakili suara-suara itu.

Ali Rahmena yang telah melakukan pembacaan cukup komprehensif atas beberapa karya penting Syari’ati dalam bukunya Pioneer of Islamic Revival yang dalam edisi Indonesia oleh penerbit Mizan diberi judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Buku Rahmena mereview pemikiran-pemikiran Syari’ati yang tertuang dalam beberapa karya penting, diantaranya adalah Eslamshenasi (Islamologi) dan Kavir (Gurun).

Tulisan Rahnema cukup lengkap sebagai tulisan yang memotret sejarah kehidupan Ali Syari'ati yang sarat dengan petualangan khas seorang revolusioner. Penelitian ia yang bersumber dari data primer akurat dan berbahasa asli (Persia) memungkinkan Rahnema untuk menganalisis secara lebih tajam fenomena kesejarahan pemikiran dan aktivitas politik Syari'ati. Tetapi karena tulisan itu hanya sebuah tulisan biografi, bangunan pemikiran Ali Syari'ati yang kaya dan komplek tidak tertuang dengan utuh, dan sebaliknya, banyak konteks historis yang terlewatkan begitu saja, sehingga kesan yang muncul adalah fragmentasi dan distorsi. Tetapi tulisan Rahnema akan menjadi informasi awal yang cukup penting untuk memetakan secara historis warisan intelektual dan politik Ali Syari'ati.

Azyumardi Azra dalam salah satu bagian dari bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, menulis tentang filsafat pergerakan Ali Syari’ati. Azra menyatakan bahwa pandangan dunia Syari'ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik. Sehingga dalam konteks ini, Syari'ati dapat disebut politico–religio thinker (pemikir politik keagamaan), yang buah pikirannya menjadi salah satu akar ideologi Revolusi Islam Iran. Azra juga menyorot bagaimana kritik Syari'ati terhadap ulama dan tawaran Syari'ati tentang ideologi Syi’ah revolusioner (Syi’ah Alawi) sebagai lawan dari Syi’ah konservatif (Syi’ah Safavi).

Sama dengan tulisan Rahnema, Azra hanya memotret pemikiran Syari'ati pada segmen tertentu saja. Ketika ia menulis tentang pengaruh penting pemikiran Ali Syari'ati terhadap Revolusi Islam, Azra tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana proses pengaruh-mempengaruhi itu berjalan. Tulisan Azra hanya menambah informasi tentang karakter pemikiran Syari'ati dan komentar-komentar para tokoh terhadap pemikiran dan kiprah Syari'ati dalam gerakan oposisi di Iran saat itu.

Senada dengan John L. Esposito dan John O. Voll, Abdulaziz Sachedina dalam tulisannya, Ali Syari’ati: Ideologue of Iranian Revolution, menyatakan bahwa Syari’ati adalah salah satu tokoh yang berhasil merumuskan ideologi perjuangan bagi Revolusi Iran. Syari’ati, tulis Sachedina, menawarkan satu bentuk penafsiran baru dalam pemikiran Islam yang mendorong umat Islam untuk bersikap progresif dan anti status quo. Progresifitas dan anti status quo inilah yang menjadi ruh dalam ideologi perlawanan yang ditawarkan Syari’ati, dan itu diterima baik oleh khususnya kelompok mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya di Iran saat itu.

John L. Esposito dan John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina telah menulis tentang pengaruh pemikiran Ali Syari'ati terhadap revolusi Iran, tetapi seperti juga tulisan-tulisan para tokoh terdahulu, apa yang ditulis oleh John L. Esposito dan John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina tidak lebih hanya sekadar asumsi atau tesis yang tidak dilengkapi dengan fakta historis secara detail. Apa yang mereka tulis tidak utuh menggambarkan fakta historis dan sosio-politik disaat pemikiran Syari'ati mengalami pergolakan.

Hamid Dabashi menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”. Dalam bukunya, Theology of Discontent: The Idelogical Foundation of The Islamic Revolution in Iran, Dabashi menyatakan bahwa Ali Syari’ati adalah salah satu ideolog terkemuka Iran yang mengusung aliran dan ideologi utama dan penting yang berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi. Dalam kajian beberapa sarjana yang concern dengan Revolusi Iran, ada beberapa aliran dan ideologi menonjol yang berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi 1978-1979, diantaranya adalah ideologi sosialis-sekuler yang diusung diantaranya oleh Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), dan ideologi sosialis-religius (Syi’ah progresif) yang diusung oleh Ali Syari’ati.

Partai Tudeh memang disebut-sebut oleh Zuyar dalam bukunya, Iranian Revolution: Past, Present and Future, sebagai elemen penting dalam revolusi Iran, disamping beberapa kelompok gerakan sosialis lainnya, diantaranya adalah Fadaeen (Organisasi Rakyat Iran). Tidak hanya itu, Zuyar bahkan menempatkan Khomeini hanya sebagai tokoh yang datangnya lebih belakangan yang ambil bagian dalam gerakan revolusi. Khomeini tidak lebih dari “pembajak revolusi” tulis Zayar.

Apa yang ditulis oleh Dabashi dan Zayar memberi jalan masuk yang lebar atas potret historis revolusi Iran. Tetapi masing-masing kurang menyinggung, bahkan dalam tulisan Zayar tidak disinggung sama sekali peran Ali Syari'ati dalam revolusi itu. Sehingga apa yang ditulis Zayar, lebih menampakkan peran penting kelompok Marxis Iran, dan ini seakan seperti menafikan fakta historis-sosiologis bahwa masyarakat Iran adalah mayoritas Syi’ah. 

Penelitian ini mengambil fokus pada pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dan pengaruhnya terhadap Revolusi Islam Iran. Berbeda dengan apa yang telah diteliti oleh Eko Supriyadi dan Munawar Anwar Firdausi yang lebih fokus pada pengaruh pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati, penelitian ini lebih fokus pada pengaruh pemikirannya terhadap gerakan revolusi di Iran yang berhasih menumbangkan rezim Syah. Begitu pula dengan apa yang telah dikaji oleh Ali Rahmena yang lebih menyorot karya-karya penting Syari’ati. Tulisan Azyumardi Azra memang memberi inspirasi untuk melacak pengaruh pemikiran Syari’ati terhadap Revolusi Iran, tetapi apa yang disampaikan Azra lebih sekedar hipotesis awal dari pada sebuah analisa yang mendalam. Karya Hamid Dabashi memang memberi informasi detail tentang berbagai aliran dan ideologi yang berpengaruh dalam Revolusi Iran, tetapi dari kesekian aliran itu mana yang paling berpengaruh, dan sejauhmana pengaruh ideologi yang digagas Syari’ati dalam revolusi tampaknya belum dikupas secara memadai oleh para peneliti dan penulis itu. 

KERANGKA TEORITIK
Selama ini revolusi merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perubahan fundamental di pemerintahan atau konstitusi politik sebuah negara, terutama yang terjadi karena sebab-sebab internal dan lewat suatu pergolakan bersenjata, dan rusuh. Menurut Funk & Wagnalls New Encyclopedia, revolusi adalah sebuah perubahan sosial atau politik dengan memakai kekerasan dan secara paksa, dipengaruhi oleh kekejaman dan bentrok senjata; revolusi juga berarti perubahan sistem politik, namun secara cepat dan total, melalui cara-cara di luar konstitusi dan pengingkaran atas lembaga pemerintahan. Senada dengan pengertian itu, dalam Black’s Law Ditionary, revolusi diartikan “on overthrow of a government usu. Resulting in fundamental political change, a successful rebellion” (meruntuhkan pemerintah yang ada, menghasilkan perubahan politik secara fundamental, dan sebuah pemberontakan yang sukses). 

Eugene Camenka adalah salah satu yang menyatakan bahwa kekerasan dalam revolusi adalah sebuah keniscayaan, tetapi, ia buru-buru memberi penjelasan lanjutan, seandainya revolusi itu tanpa menimbulkan kekerasan, masih tetap dianggap revolusi. Akhirnya Samuel Huntington merumuskan revolusi sebagai “suatu penjungkirbalikan nilai-nilai, mitos, lembaga-lembaga politik, struktur sosial, kepemimpinan, serta aktifitas maupun kebijaksanaan pemerintah yang telah dominan di masyarakat”. Dan secara prinsip dari berbagai definisi yang diberikan para pakar politik, revolusi terkait dengan gagasan perubahan menyeluruh, pembaharuan dan diskontinuitas menyeluruh dan juga menganut asumsi bahwa revolusi erat hubungannya dengan transformasi sosial.

Dari beberapa definisi tentang revolusi di atas dapat diambil beberapa kata kunci (key words) dalam diskursus revolusi diantaranya adalah; perubahan politik secara fundamental (fundamental change in the political system), kekuatan massa (extra-legal mass actions), pemberontakan (rebellion and revolt), dan oposisi. Dalam banyak kasus oposisi senantiasa menimbulkan kekacauan (chaos) dan kekerasan (violence), tetapi terminologi itu bukan karakter pokok dalam revolusi, tetapi hanya sebagai akibat samping saat revolusi itu dijalankan.

Bagaimana revolusi dapat dijelaskan menjadi satu strategi politik dalam mencapai suatu tujuan? Tentu ada banyak perspektif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Salah satu perspektif untuk melihat masalah itu adalah tesis Gramsci tentang hegemoni. Pada prinsipnya, dalam teori hegemoni ala Gramsci disebutkan bahwa para elite membutuhkan cara untuk dapat melakukan kontrol efektif terhadap pihak yang dikuasainya. Cara-cara elit ini penting dalam rangka tetap terus menjaga posisi kekuasannya dari ancaman-ancaman ketidakpatuhan. Hegemoni yang dilakukan para penguasa/elite tidak sebatas hegemoni cara-cara pruduksi, tetapi juga hegemoni ideologi. Dengan demikian, melalui hegemoni ideologis, kepatuhan bisa dipaksakan dan perlawanan bisa dipatahkan atau dilenyapkan oleh elite. Pada akhirnya ketika hegemoni itu mengalami titik kulminasi, demikian kata Gramsci, pada saat yang sama, perlawanan bisa mengambil bentuk berupa upaya-upaya kontra hegemoni oleh kelas yang dikuasai untuk melawan formasi sosial yang ada.

Bagaimana kontra hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yang tertindas? Kerkvliet adalah salah satu pakar politik yang mampu melihat fenomena kontra- hegemoni sebagai sesuatu yang mungkin terjadi yang asal-muasalnya adalah dari sikap kritisisme masyarakat bawah (yang tertindas) terhadap ideologi dominan yang dipaksakan oleh elite kekuasaan. Lebih jelas Kerkvliet menulis :

“Masyarakat dari kelas yang dikuasai tidak harus selalu tunduk kepada ideologi dominan, karena mereka mempunyai gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan alternatif yang mampu menampilkan tantangan signifikan kepada pandangan kelompok dominan tentang bagaimana hak milik dan sumber-sumber lainnya bisa digunakan oleh siapa saja. Mereka mempunyai gagasan tentang hak-hak mereka dan apa itu keadilan, yang sekali lagi menentang keyakinan banyak orang yang berkuasa”.

Singkatnya, gagasan bahwa ideologi kelas yang dikuasai bisa menyusup dan melawan ideologi hegemonik adalah mungkin. Banyak contoh yang membenarkan tesis ini, seperti yang diperlihatkan oleh buruh tambang di Indian. Mereka mengembangkan ideologi mereka sendiri melalui elaborasi atas kebudayaan tradisional Indian dan mereka menggunakan idiom-idiom budaya untuk melakukan perlawanan terhadap pemilik-pemilik tambang dan negara.

Apakah agama bisa menjadi sumber kekuatan dan inspirasi ideologis untuk melakukan oposisi dan revolusi terhadap kekuatan elite yang hegemonik? Bagi Gramsci, fungsi agama salah satunya adalah memberikan bentuk-bentuk kesadaran baru yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan sosial yang baru. Menurut Gramsci, sesuatu yang memiliki nilai penting khusus adalah agama atau ideologi yang bisa mewujudkan suatu ‘kehendak kolektif nasional-populer’ seperti yang ia lihat pada protestanisme dalam revolusi Perancis.

Oliever Roy dalam bukunya yang sangat populer The Failure of political Islam mengemukakan suatu fakta bahwa keyakinan tertentu terhadap agama (Islam) ternyata membawa implikasi terhadap sikap politik tertentu. Kaum Islamisis, begitu Roy menjelaskan, memiliki argumen politik yang berpijak pada asas bahwa Islam adalah sistem pemikiran global dan menyeluruh. Menurut mereka, masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja tidak cukup, tetapi juga harus Islami dalam landasan maupun strukturnya. Konsekwensinya, lanjut Roy, setiap orang punya kewajiban untuk memberontak terhadap negara Muslim yang dinilai korup; bahkan juga keharusan untuk mengekskomunikasikan (takfir) penguasa yang dipandang murtad serta untuk melakukan tindakan kekerasan (revolusi) terhadapnya.

Peneliti tidak bermaksud memperdebatkan apakah gerakan kelompok Islamisis itu kontra produktif terhadap upaya-upaya gerakan Islam yang ramah dan toleran, tetapi sekadar mencari bukti kebenaran tesis Gramsci di atas bahwa agama bisa, bahkan menjadi faktor penting dalam menumbuhkan kekuatan oposisi dan revolusi. Mungkin ini yang ingin dieksplorasi secara akademis oleh Ali Syari’ati. Ia berupaya untuk merumuskan tradisi keberagamaan Islam yang tidak melulu mengurus akherat, seperti yang ditunjukkan oleh perilaku mayoritas Muslim. Akan tetapi yang lebih berarti dari itu semua adalah bagaimana menjadikan agama sebagai kekuatan revolusi yang membebaskan umat dari penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa Ali Syari’ati adalah sosok intelektual Muslim yang revolusioner. Pandangan dunia Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Ali Syari’ati adalah dalam hal ini, Islam dapat dan harus di fungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya yang belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merasakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.

Hassan Hanafi senafas dengan Ali Syari’ati dalam memberdayakan Islam sebagai kekuatan revolusi. Untuk mewujudkan idealisme Islam pembebasan itulah, Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasâr al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan dari Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr, yang menjadi agenda Al-Afghani dalam melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke dalam blok Islam atau blok Timur. Jurnal ini juga terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Sehingga, peristiwa besar itu memang telah membangkitkan Hassan Hanafi dalam meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Namun, menganggap peristiwa itu sebagai satu-satunya penyebab, adalah tidak benar karena kita juga harus memperhitungkan faktor pergerakan Islam modern dan lingkungan Arab-Islam. Demikian pula, kata Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. Kiri Islam lahir dari kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yang sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yang menindas.

Tokoh Islam lain yang senafas dengan Ali Syari’ati dan Hassan Hanafi adalah misalnya Ashar Ali Engineer. Asghar menyatakan bahwa kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara signifikan dalam sejarah umat manusia. Akan tetapi, begitu keterangan selanjutnya dari Asghar, setelah meninggalnya Nabi Muhammad, terjadi perebutan kekuasaan yang berorientasi kepada kepentingan pribadi. Saat kekuasaan itu menjadi instrumen kepentingan pribadi, muncullah dalam wilayah kekuasaan Islam, penguasa-penguasa despotik seperti yang dipertontonkan secara nyata oleh Reza Syeh Pahlevi yang menjadi obyek kritik dan oposisi Ali Syari’ati atau para penguasa Mesir yang juga menjadi ladang kritisisme seorang anak bangsa seperti Hassan Hanafi yang dikenal sebagai pengusung al-yasar al-islami (kiri Islam). Watak perlawanan Islam terhadap kesewenang-wenangan sekaligus keberpihakan Islam terhadap kelompok tertindas (mustad’afîn) telah menjadi watak dasar Islam sebagai agama rahmatan li al-’âlamîn. Maka akan banyak dijumpai dalam al-Qur’an, kitab pedoman umat Islam, pelbagai anjuran bahkan perintah tegas untuk melakukan pembelaan terhadap mustad’afîn Pembelaan terhadap mustad’afîn ini dilakukan secara simultan dengan larangan secara tegas pula atas segala bentuk ketidakadilan, baik kultural maupun struktural.

Sebagaimana yang menjadi fokus kajian para pemikir Islam revolusioner, bahwa Islam tidak hanya sebatas agama yang melangit, hanya sekadar kumpulan doktrin, tetapi lebih dari itu, Islam adalah agama yang sarat dengan dimensi praksis. Istilah yang sering digunakan untuk ini adalah faith in actions, keyakinan yang diwujudkan dalam aksi-aksi nyata. Berangkat dari kerangka berfikir ini, para pemikir Islam revolusioner, termasuk di dalamnya Ali Syari’ati berupaya agar buah pikirannya dapat diserap sebanyak mungkin lapisan masyarakat untuk mempengaruhi pola pikir mereka. Setelah masyarakat mengalami revolusi pemikiran, maka harapan selanjutnya adalah mewujudkan sebuah gerakan sosial-politik yang radikal untuk merevolusi struktur sosial politik yang dominan.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger