Respon Islam Terhadap Multikulturalisme

Respon Islam Terhadap Multikulturalisme
A. Definisi Pluralisme 
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “Pluralisme” berasal dari kata “plural” yang artinya jamak atau lebih dari satu. Pluralistis mengandung arti banyak macam, bersifat keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).

Menurut M. Shiddiq al-Jawi Istilah Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua) hal sekaligus, Pertama, gambaran realitas bahwa di sana ada keanekaragaman agama. Kedua, pandangan atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada.

Menurut The Oxford English Directory, pluralisme berarti “sebuah watak untuk menjadi plural”, dan dalam ilmu politik didefinisikan sebagai : 
  1. Sebuah teori yang menentang kekuasaan monolitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya bahwa kekuasaan harus dibagi di antara partai-partai politik yang ada.
  2. Keberadaan toleransi keragaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan atau institusi dan sebagainya.
Sedangkan dalam Islam yang dimaksud pluralisme adalah paham kemajemukan yang melihatnya sebagai suatu kenyataan yang bersifat positif dan sebagai keharusan bagi keselamatan umat manusia. 

Pluralitas merupakan kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Pluralitas tidak dapat dimasukan kepada kesatuan yang tidak mempunyai bagian-bagian yang tidak menciptakan “keutamaan”, ”keunikan”, dan ”kekhasan” tersendiri. Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi maka tidak dapat dibayangkan kemajemukan, keunikan, kekhasan atau pluralitas itu. Demikian juga sebaliknya.

B. Hakikat Pluralisme dalam Islam 
Tetapi yang paling penting adalah bagaimana umat islam mengembangkan dimensi pluralitas itu sehingga menerima pluralisme, yakni sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu.

Pluralisme dan kemajemukan bersifat “Alami dalam diri manusia dan mereka diciptakan dengan kesiapan untuk itu” serta ditakdirkan untuknya. Pluralisme dan kemajemukan adalah “Ciptaan Illahi”, bukan sekedar sesuatu yang dibolehkan atau satu macam hak dari hak asasi manusia. Jika kemajemukan dan pluralitas merupakan faktor-faktor yang membuahkan perbedaan maka faktor kesatuan kemanusiaan menjadi ikatan persatuan mereka. Karena “tidak mungkin manusia berbeda pada lahir mereka, tetapi tidak berbeda dalam batin mereka. Dan tidak sesuai pula dengan hikmah jika sesuatu terus membanyak, tapi tidak berbeda-beda. Juga tidak mungkin jika suatu jenis dan macam telah disatukan, tapi elemen-elemennya tidak kunjung bertemu dan bersatu

Jika tidak ada pluralitas, perbedaan dan perselisihan niscaya tidak ada motivasi untuk berlomba, saling dorong, dan berkompetisi diantara individu, umat, pemikiran, filsafat serta peradaban-peradaban, dan hidup inipun akan menjadi stagnan dan tawar, serta mati tanpa dinamika. Juga manusia tidak akan dapat mewujudkan tujuan-tujuan amanah kekhalifahan yang telah diembankan, yaitu agar mereka membangun bumi dan mengembangkan wujud peradaban mereka. Keimanan akan kemajemukan, kekhasan, dan perbedaan adalah motivator bagi kreativitas, serta saling dorong dalam medan kemajuan, pembangunan, dan peningkatan peradaban. Sementara, keyakinan akan ketunggalan model pemikiran dan peradaban adalah pintu taqlid, peniruan, dan pada akhirnya membawa kepada stagnasi dan hilangnya potensi kreativitas yang mengantarkan kepada kematian. Karena hikmah Ilahiah yang amat besar ini maka Allah SWT menjadikan manusia berbeda-beda.

C. Pandangan Islam Terhadap Pluralisme 
Hubungan islam dan pluralisme memiliki dasar argumentasi yang kuat. Menurut Nurcholish Majid hal itu berangkat dari semangat humanitas dan universalitas Islam. Yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita manusia pada umumnya. Dan misi Nabi Muhammad adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, jadi bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas islam saja. Sedangkan pengertian universalitas islam dapat dilacak dari term al-islam yang berarti sikap pasrah pada Tuhan . dengan pengertian tersebut, semua agama yang benar pasti bersifat al-islam. Tafsir al-islam seperti ini bermuara pada konsep kesatuan kenabian dan kerasulan, yang kemusiaan dalam urutannya membawa kepada konsep kesatuan umat yang beriman.

Islam secara tegas memandang pliralisme sebagai suatu keniscayaan dan bahkan secara positif menyikapinya. Bukti normatif lain yang ditunjukan Nurcholish adalah terdapatnya gagasan ahl al-kitab dalam al-quran, yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci . ini tidak berarti memandang semua agama sama, suatu hal yang mustahil, mengingat kenyataan agama yang ada adalah berbeda-beda dalam banyak hal sampai sampai ke hal yang prinsip. Tetapi memberi pengakuan sebatas hak masing-masing untuk berada (bereksistensi) dengan kebebasan menjalankan agama masing-masing.

Bertolak dari pandangan bahwa islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang membuat cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal; Nurcholish berpendapat cita-cita keislaman di Indonesia adalah sejalan dengan cita-cita manusia indonesiapada umumnya. Ia yakin betul bahwa pandangan ini merupakan salah satu ajaran pokok islam. Karenanya Nurcholish berpendapat bahwa, “sistem politik yang sebaiknya diterapkan diIndonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat islam, tetapi juga yang membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia.” Pikiran bahwa yang dikehendaki oleh islam adalah suatu sistem yang menguntungkan semua orang. Termasuk mereka yang bukan muslim, menurutnya adalah sejalan dengan watak inklusif islam. Pandangan ini, menurutnya telah memperoleh dukungannya dalam sejarah awal islam.

Dari alur pemikiran Nurcholish di atas, pada intinya ia hendak menandaskan bahwa islam, melalui kekuatan doktrin ajaran dan bagaimana kesejarahanya, memiliki peran besar dalam mengembangkan paham pluralisme agama, memang ia mengakui bagaimanapun tetap ada kendala berupa munculnya sikap tertutup dan tidak suka terhadap agama lain. Prasangka negatif adalah bagian dari kenyataan hubungan antar kelompok. Namun tidak semua kelompok membenarkan adanya prasangka kepada kelompok lainnya dan banyak dari mereka yang mempunyai komitmen untuk memberantasnya. Menurut Nurcholish, pengalaman historis umat islam dalam mempraktekan pluralisme benar-benar mengesankan, namun beberapa abad belakangan mengalami gangguan. Sebabnya ialah karena faktor imperialisme barat (Eropa-kristen) terhadap dunia islam dan gerakan zionisme yahudi. 

Dua hal itu menyebabkan timbulnya konflik yang rumit di kalangan versus kristen dan Yahudi. Meskipun demikian bagi Nurcholis, kendala itu tidak boleh membuat umat islam menurun prestasinya dalam mengembangkan semangat toleransi. Berkat kemajuan pendidikan, umat islam dapat secara kreatif mengolah pengalaman masa lalunya, untuk ditransformasikan kedalam bentuk-bentuk toleransi dan pluralisme modern, dengan sedikit saja perubahan seperlunya beberapa konsep dan ketentuan teknis operasionalnya.

Pendeknya, Nurcholis hendak mengiring bahwa umat islam Indonesia pun harus bisa mewarisi semangat pluralisme yang tinggi. Ia selalu menekankan baik pada umat islam sendiri maupun non muslim bahwa bersikap positif pada pluralisme adalah suatu keharusan, bukan saja karena doktrin agama memang mendukung demikian, tetapi terlebih karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern. 

D. Pluralisme Ekonomi Islam 
Dari sisi metodologis, ekonomi islam dapat dipahami sebagai hukum muamalah yang bersumber dari wahyu (al-quran dan al-hadits) dan dikembangkan melalui penalaran akal budi (ijtihad). Oleh karenanya, kemajuan dan pengembangan ekonomi islam, sangat tergantung kepada kecerdasan para penganutnya, karena kemajuan islam identik dengan pembaharuan intelektualisme. 

Begitu juga ekonomi lainnya, metodologi mereka dibangun atas intelektualitas pemikiran dan penggagasannya. Intelektualisme itulah ideologi mereka sebagai bangunan atas paradigma bepikir tentang konsep dan teori ekonominya, sehingga melahirkan sistem ekonomi. Setiap sistem ekomoni dibangun atas ideologi yang memberikan landaasan dan tujuannya serta prinsip-prinsipnya. Seperti, ekonomi kapitalis berakar pada pengembangan ideologi liberalisme, ekonomi sosoalis berlandaskan pada ideologi komunisme dan ekonomi demokrasi berdasarkan atas ideologi pancasila. Begitu juga ekonomi islam, mengembangkan dirinya berdasarkan wahyu illahi.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger