Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia

Pola Pembaharuan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia
Tema tentang penyelenggaran lembaga sekolah yang kredibel saat ini cukup menarik dan relevan di tengah konstelasi sistem pendidikan yang kian mengglobal. Relevansi tersebut makin beralasan manakala kajian persepsi masyarakat diletakkan sebagai titik tolaknya, karena persepsi masyarakat dalam memandang bagaimana sebuah sistem dan model pendidikan yang penuh pengharapan, sekaligus kredibel merupakan aspek krusial bagi terselenggaranya pendidikan yang solutif.

Untuk menjawab kebutuhan itu, maka mencermati demokratisasi dalam dunia pendidikan agaknya mendesak untuk dilakukan. Demokratisasi penyelenggaraan lembaga pendidikan saat ini bukan menjadi sebatas gagasan akademik belaka, namun lebih dari itu telah menjadi sebuah keputusan politis dengan dukungan landasan legal dan konseptual, bahkan telah didukung oleh landasan teoritis yang memadai. Kondisi itu memungkinkan dan menjadi sebuah keniscayaan, karena praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia telah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. 

Kurikulum berbasis kompetensi dan KTSP dua-duanya memudahkan guru dalam mengajarkan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip belajar sepanjang hayat yang mengacu pada empat pilar pendidikan Universal yaitu belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi diri sendiri dan belajar hidup dalam kebersamaan.

Sekolah atau madrasah pada beberapa hal dimaknai sebagai sebuah organisasi atau unit sosial yang sengaja dibentuk oleh beberapa orang dalam ikatan koordinasi untuk mencapai tujuan bersama (Carlisle, 1987: 3). Sehingga, sekolah bisa dikatakan sebagai unit sosial yang di dalamnya terdiri atas sekelompok individu yang bersatu secara sengaja meski dengan tugas yang berbeda, namun memiliki satu tujuan untuk mendidik anak-anak dan mengantarkannya menuju tahap pendewasaan, baik secara fisik maupun non fisik, agar anak-anak itu memiliki kemandirian pribadi dan sosial.

Digalakkannya Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) merupakan jawaban atas tuntutan pemerintah dan masyarakat untuk peningkatan SDM masyarakat guna siap menghadapi tuntutan zaman yang mengharuskan bangsa Indonesia mampu berkomunikasi dan bertransformasi dengan bangsa lain. Dasar pijakan berdirinya Madrasah Bertaraf Internasional adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan:

“Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Tidak kalah penting adalah resolusi UNESCO terkait pendidikan bagi seluruh anak di dunia, bahwa pendidikan harus memenuhi empat aspek, yakni transfer keahlian dan pengetahuan (transfering skill and knowledge), penanaman berpikir logis (mastering logic), pembangunan karakter (character development), dan ketahanan dalam menjalani berbagai arena pelatihan (trainning endurance). Empat hal ini menyiratkan tiga aspek kompetensi yaitu kognisi, afeksi dan psikomotorik. Dari tiga aspek tersebut, aspek afektif memungkinkan untuk lebih penting dikedepankan. Penanaman ajaran agama selanjutnya menjadi prioritas. Agama memiliki pandangan dan bahkan mewajibkan umatnya untuk meningkatkan kualitas sumber daya. 

Rencana pemerintah untuk memajukan kualitas pendidikan sudah sepatutnya didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Munculnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) atau Madrasah Bertaraf Internasional (MBI) diharapkan bisa membantu rencana pemerintah untuk mewujudkan niat baik tersebut. Hanya saja, sekarang setelah tujuh tahun diimplementasikan, disosialisasikan, dan dievaluasi sangat diperlukan adanya kajian dan penelitian yang mendalam mengenai keberadaan, peran fungsi, dan pemikiran terhadap SBI atau MBI. Tingginya disparitas pendidikan di Indonesia, baik dilihat dari pemerataan, kualitas, relevansi dan efisiensi manajemen, secara langsung menjadi pendorong terhadap perlunya penelitian-penelitian pendidikan termasuk penelitian tentang persepsi masyarakat terhadap SBI atau MBI.

Secara empiris keberadaan SBI atau MBI sekarang ini masih menimbulkan penafsiran dan pemaknaan yang beragam dari pihak sekolah maupun dari pihak stakeholder lain seperti orang tua murid atau masyarakat luas pada umumnya. Hal ini dimungkinkan lantaran pemerintah sendiri belum secara jelas dan gamblang memaparkan apa dan bagaimana SBI atau MBI kepada pihak-pihak terkait, terutama masyarakat sebagai konsumen pendidikan. Pandangan masyarakat yang tidak seragam tentang SBI atau MBI ini harus segera direspon oleh pemerintah agar semua lapisan masyarakat memahaminya.

Madrasah Bertaraf Internasional yang dikembangkan di Pacet Mojokerto sesungguhnya merupakan solusi alternatif penyelenggaraan sistem pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan zaman di era globalisasi yang sarat dengan kompetisi. MBI MA Amanatul Ummah dalam sejarahnya merupakan lembaga pendidikan setingkat SMA/MA yang berupaya secara serius terutama setelah mendapatkan Qoror Mu’adalah, yakni pernyataan disamakan oleh Perguruan Tinggi Al Azhar yang berkedudukan di Mesir. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah inilah yang mendorong dan menginspirasi didirikannya MBI MA Amanatul Ummah di tahun 2004. Pernyataan disamakan bagi MA Amanatul Ummah yang mengilhami berdirinya MBI MA Amanatul Ummah menjadi sebuah keharusan mengingat perjalanan proses, hasil, serta prestasi yang ditorehkan MA Amanatul Ummah khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas setara dengan penyelenggaraan kurikulum pendidikan sebagaimana di Perguruan Tinggi Al Azhar Mesir, telah mengalami perkembangan yang mengagumkan disertai dengan respon publik yang bervariasi.

Selanjutnya, data dan informasi pada observasi awal yang didapat dari penelitian ini berisikan berbagai perkembangan jumlah murid sejak awal tahun pertama berdiri Program MBI MA Amanatul Ummah hingga saat ini dan perkembangan jumlah lulusan yang dapat diterima pada lembaga perguruan tinggi negeri dan swasta. 

Tingginya animo masyarakat terhadap program MBI MA Amanatul Ummah yang berlokasi di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, di mana banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anak-anak mereka pada lembaga ini yang dari tahun ke tahun menunjukkan angka peningkatan semenjak empat tahun didirikan. Pada sisi lain, meningkatnya jumlah siswa-siswi tersebut mendorong peningkatan jumlah guru untuk melaksanakan visi, misi, dan tujuan pendidikan pada lembaga ini. Berikut ini disajikan data perkembangan jumlah siswa dan guru yang ada di Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto semenjak empat tahun didirikan. 

Tabel Data Perkembangan Siswa Program Madrasah Bertaraf Internasional MA Amanatul Ummah Surabaya 
No.
Tahun
 Pelajaran
Jumlah
Siswa
Jumlah
Rombongan Belajar
Jumlah
Guru
1
2006-2007
49
2
34
2
2007-2008
114
5
50
3
2008-2009
226
9
68
4
2009-2010
310
12
75
Sumber : Diolah dari Data Primer (2010)

Telah terujinya kualitas pendidikan yang telah dihasilkan oleh Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto, di mana semenjak awal telah melahirkan output lulusan yang berkualitas, di mana nilai tambah lulusan telah memiliki kualitas moral dan akademis dengan dibuktikan dengan diterimanya 46 dari 49 siswa atau 93,88% lulusan pada perguruan tinggi negeri dan sisanya 3 siswa atau 6,12% pada lembaga perguruan tinggi swasta. Untuk 46 siswa angkatan I, 3 siswa berhasil mendapatkan beasiswa luar negeri ke perguruan tinggi di Maroko, 22 siswa mendapatkan beasiswa Depag untuk mengikuti kuliah pada perguruan tinggi terkemuka di dalam negeri (di antaranya 3 siswa mendapatkan kesempatan beasiswa pada fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1 siswa menempuh program pendidikan Dokter di Universitas Gajah Mada, 6 siswa mendapatkan beasiswa dari ITS sepuluh Nopember Surabaya, dan beberapa lainnya di IPB, UIN Jakarta dan sebagainya). Dari 46 siswa MBI MA Amanatul Ummah angkatan I, 4 di antaranya berhasil menempuh perkuliahan melalui PMDK Unibra, ITS da Unair. Sementara itu, ada 17 siswa yang berhasil lolos melalui jalur SMPTN. Ini mengandung arti bahwa 100% lulusan MBI MA Unggulan Amanatul Ummah Suarabaya yang ada di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto telah mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. 

Walaupun Program MBI MA Amanatul Ummah berprestasi mengesankan pada lulusan pertamanya, tetapi kendala terbesar yang dihadapi oleh Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto saat ini adalah belum mendapat pengakuan secara formalitas dari pemerintah khususnya Departemen Agama (Depag), serta belum tersedianya infrastruktur penunjang sarana dan prasarana yang memadai sebagai penunjang aktivitas pendidikan untuk merespon tingginya animo masyarakat yang ingin menyekolahkan anak-anaknya di Program MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto. Kendala terbesar terhadap penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana pendidikan tersebut lebih dikarenakan oleh belum tersedianya dana penunjang. Sejauh ini, dana penunjang masih merupakan dana murni yang dimiliki oleh Yayasan Pondok Pesantren Amanatul Ummah Surabaya.

Di samping itu, observasi awal yang dilakukan oleh peneliti menemukan suatu fakta bahwa hampir seluruh siswa MBI MA Amanatul Ummah menjalani dan mengalami proses belajar secara menyenangkan. Letak atau lokasi MBI MA Amanatul Ummah yang spesifik berada di daerah pegunungan menjadi alasan penting mengapa proses belajar mengajar di MBI MA Amanatul Ummah berlangsung secara menyenangkan. Sistem pengajaran yang diselenggarakan dengan memadukan tiga kurikulum sekaligus, yakni kurikulum Nasional, kurikulum mu’adalah dari Al Azhar Mesir, serta kurikulum Cambridge sebagai konsekuensi penyelenggaraan MBI. Ketiga kurikulum yang disinergikan itu memiliki keunikan dan karakter yang spesifik dan makin menguatkan dugaan bahwa proses belajar mengajar serta sistem pengajaran di MBI MA Amanatul Ummah merupakan representasi model pendidikan yang layak diteliti. 

Di samping itu, penyebaran siswa alumni atau lulusan MBI MA Amanatul Ummah yang tersebar di hampir perguruan tinggi terkemuka seperti UGM, IPB, UNAIR, ITS, UIN Jakarta, serta sejumlah perguruan tinggi di luar negeri seperti Al Azhar, Kourtoum, Maroko, Yaman, dan sejumlah perguruan tinggi di timur tengah, merupakan alasan lain keunikan dan kelayakan mengapa penelitian ini diselenggarakan.

Dari berbagai fenomena di atas peneliti tertantang untuk melakukan penelitian tentang Kualitas Manajemen Madrasah Bertaraf Internasional”. (Kajian Manajemen Pendidikan di MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto). 

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas, kajian ini akan mengambil rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana kualitas manajemen Madrasah Bertaraf Internasional di MBI MA Amanatul Ummah di Desa Kembang Belor Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto?”

KAJIAN TEORI
Pada mulanya menentukan kualitas di Sekolah itu sulit, sebagaimana Fairweather dan Brown (1991: 157) menyatakan bahwa memperoleh daftar yang sempurna dari penilai-penilai mutu program akademik di sekolah merupakan persoalan yang sulit. Akan tetapi berdasarkan pada beberapa referensi serta pedoman yang digunakan oleh institusi resmi, penilai-penilai mutu itu dapat ditemukan dan ditetapkan. The Higher Educational Council (HEC) Australia melihat mutu dalam konteks sebagai berikut: the council sees the focus on outcome, the fitness for purpose, as fundamental to understanding how each of the processes within institutions are organized and evaluated in order to ensure the quality of outcome (Linke, 1992). Di sini, prinsip utama adalah bahwa mutu di lembaga pendidikan diukur dengan pendekatan fitness for purpose.

Pada umumnya tujuan sekolah meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian atau yang dikenal sebagai tridarma sekolah. Sehubungan dengan hal ini. Porter (1994) mengindikasikan akan adanya kesulitan dalam mengukur mutu sekolah hanya dengan menggunakan pendekatan fitness for purpose. Porter1994) ) menambahkan pendekatan lain yang sifatnya interrelated dengan pendekatan fitness for purpose, yaitu konsep exceptional dimana mutu dapat dipandang sebagai passing a set of requirement or minimum standard.

Dalam konteks pendidikan intemasional, Global Alliance for Transnational Education (GATE) mendefenisikan mutu sebagai as meeting or fulfilling requirements, often referred to as fitness for purpose (GATE), 1998) dan dalam hubungannya dengan pendekatan pemenuhan standar minimum, standar diartikan sebagai a level or grade of goodness of something, and in an education context may be defined as an explicit level of academic attainment. Jelaslah, bahwa fungsi standar antara lain as means of measurements of the criteria by which quality may be judged (GATE, 1998).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kualitas sekolah diartikan sebagai pencapaian tujuan dari suatu lembaga pendidikan yang umumnya mencakup tri darma sekolah dan pengukurannya dilakukan dengan pendekatan exceptional di mana menurut Porter (1994) memiliki tiga variasi, yaitu 1) kualitas sebagai sesuatu yang distinctive, 2) kualitas sebagai sesuatu yang excellence, dan 3) kualitas sebagai sesuatu yang memenuhi batas standar minimum atau conformance to standard.

Madrasah Bertaraf Internasinal (MBI) merupakan konsep Madrasah yang berupaya mencetak peserta didiknya memiliki kemampuan akademis dan keimanan kepada Allah SWT. SBI/MBI harus merupakan sekolah atau madrasah yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada Standar Pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan atau negara maju lainnya yang memiliki keunggulan tertentu di bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Pada prinsipnya, SBI/MBI pun harus mampu memberikan jaminan mutu pendidikan dengan standar yang lebih tinggi dari Standar Nasional Pendidikan.

Esensi SBI/MBI yang penting adalah terpenuhinya pelaksanaan standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. SBI/MBI juga diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu anggota OECD dengan semangat adaptasi, adopsi, inovasi, serta berorientasi pada pembentukan lulusan (outcome) yang kompeten.

Karakteristik SBI/MBI terletak pada keunggulan yang ditunjukkan dengan adanya pengakuan internasional terhadap proses dan hasil keluaran pendidikan yang berkualitas dan teruji dalam berbagai aspek melalui pemberian sertifikasi berpredikat baik dari salah satu negara OECD dan atau negara maju lainnya.

Di samping itu, proses dan hasil pendidikan SBI/MBI dijamin untuk memperoleh predikat layak sebagai satuan pendidikan dengan indikator pencapaian kinerja kunci minimal, yakni perolehan sertifikasi akreditasi minimal predikat ’A’ dari Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M). Selain itu, predikat keberhasilan SBI/MBI juga ditandai dengan perolehan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan dari salah satu negara OECD dan atau negara maju lainnya.

Sementara itu, kurikulum yang harus diselenggarakan oleh SBI/MBI harus menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), sistem satuan kredit semester, memenuhi standar isi serta memenuhi standar kompetensi lainnya. Penerapan sistem administrasi akademik berbasis dan berorientasi pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Sementara itu, SBI/MBI juga harus berstandar sarana dan prasarana yang memadai dengan dukungan standar pengelolaan yang baik berbasis multikultural, mampu menjalin persahabatan dengan sekolah sejenis di luar negeri, bebas narkoba dan rokok, bebas kekerasan (bullying), menerapkan prinsip kesetaraan gender dan mampu meraih prestasi dan penghargaan kompetisi sains, matematika, teknologi, seni dan olahraga.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Menganalisis bagaimana sebenarnya sebuah lembaga pendidikan setaraf madrasah berkualitas sangatlah tidak mudah. Banyak sekali ukuran yang bisa dijadikan indikator. Banyak yang terjadi pada penilaian kualitas sebuah madrasah hanya berdasarkan klaim semata. Madrasah yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh megahnya gedung sarana dan prasarana. Madrasah yang baik juga belum boleh dikatakn baik jika hanya ditentukan oleh banyaknya jumlah siswa yang bermadrasah. Madrasah yang baik pun belum layak dikatakan baik bila ditunjukkan oleh lokasi di mana madrasah itu bertempat.

Untuk menilai sebuah madrasah berkualitas, sampai hari ini masih ada perdebatan. Untuk menyebut sebuah madrasah yang memiliki kualifikasi tinggi saja masih banyak perbedaan. Ada yang mengidentifikasi sebagai madrasah efektif, madrasah unggulan, madrasah terpadu, madrasah integral, dan berbagai sebutan lainnya. Dan terlepas dari banyaknya sebutan untuk madrasah yang berkualitas, Coleman (1966) melakukan penelitian di Amerika dan berhasil mendapatkan informasi tentang kondisi siswa berkaitan dengan latar belakang sosial ekonomi keluarganya dan sampai pada sebuah kesimpulan sebagai berikut : 1) Siswa yang berprestasi tinggi di madrasah, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan hidupnya berhasil adalah siswa yang berasal dari keluarga yang sosial ekonominya tinggi. 2) Siswa yang prestasinya rendah, tidak mampu belajar di madrasah, drop-out, tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak mempunyai motivasi belajar adalah siswa yang berasal dari keluarga yang sosial ekonominya rendah.

Dengan demikian, lagi-lagi sulit dewasa ini untuk menentukan indikator madrasah unggul. Untuk memudahkannya, madrasah unggul boleh saja disetarakan dengan pelaksanaan madrasah yang mengaplikasikan manajemen berbasis madrasah (MBS). Tujuan utama penerapan implementasi visi, misi dan komitmen di MBI pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara madrasah, pemerintah daerah dan pusat, sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran diserahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu madrasah. Di samping itu, penyerahan kewenangan itu adalah untuk memberdayakan madrasah, agar madrasah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat. 

Tujuan penerapan implementasi adalah untuk memandirikan atau memberdayakan madrasah melalui kewenangan (otonomi) kepada madrasah dan mendorong madrasah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya implementasi itu bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif madrasah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Meningkatkan kepedulian warga madrasah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Meningkatkan tanggung jawab madrasah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu madrasahnya. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar madrasah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. 

Prinsip utama pelaksanaan implementasi ini ada 5 (lima) hal yaitu: Fokus pada mutu, bottom-up planning and decision making, manajemen yang transparan, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan mutu secara berkelanjutan

Selanjutnya, berkenaan sekolah efektif, Rutter (1979), menyebut sekolah efektif memiliki ciri-ciri menekankan pada pembelajaran, guru merencanakan bersama dan bekerja sama dalam pelaksanaan pembelajaran pada supervisi yang terarah dari guru senior dan kepala sekolah. Sementara itu, Weber (1971), Austin (1978), Brookeover & Lezotte (1979), Edmonds & Frederickson (1979), Phi Delta Kappa (1980) menyimpulkan sekolah efektif mempunyai ciri kepemimpinan yang kuat, harapan yang tinggi bagi siswa dan guru, lingkungan yang kondusif, kepala sekolah berperan sebagai ‘instructional leader’, serta kemajuan prestasi belajar siswa sering dimonitor pelibatan orang tua secara aktif.

Selanjutnya, yang paling menarik dari tiga ihwal antara visi, misi, atau peruntukan MBI, maka menelusuri peruntukan MBI menjadi relevan, karena peruntukan MBI merupakan kristalisasi visi dan misi MBI. Sebagaimana sudah dicantumkan pada deskripsi daerah penelitian, bahwa peruntukan MBI adalah dalam rangka membangun kader bangsa melalui empat pilar, yakni ulama, pemimpin bangsa, konglomerat, serta profesionalis. Mempersiapkan kader menjadi empat profesi tersebut bukanlah upaya yang mudah. Kaum ulama merupakan suatu bagian yang amat berpengaruh dalam masyarakat Islam. Mereka mempunyai kedudukan yang tinggi berkat pengetahuan agama mereka. Karena itu di dalam tradisi, siapa saja yang telah memiliki pengetahuan agama sampai suatu ukuran tertentu yang telah umum diterima orang, dapat menjadi seorang ulama, dengan demikian martabat dan pengaruhnya terhadap masyarakat tergantung dari kesalehan dan pengabdiannya kepada ilmu dan agamanya. Hadits membagi ulama ke dalam dua kategori; ulama akhirat dan ulama dunya. Dasar pembagian ini adalah perbedaan sikap mereka terhadap masalah keduniawian. Ulama akherat hidup bersahaja dalam pengabdiannya yang saleh terhadap ilmu agama dan menjauhkan diri dari mengejar hal kebendaan dan politik. Mereka lebih suka melewatkan hari demi hari dalam kemiskinan dari pada bergaul dengan raja dan orang kaya. Ia menampik penghidupan yang kaya dan mewah, dan menolak ditarik dalam pergolakan politik. Keseluruhan hidup mereka adalah untuk menyebarkan pengetahuan dan berjuang untuk mempertinggi moral masyarakat, serta pengabdian mereka yang tidak mementingkan diri sendiri untuk tujuan ilmu dan pemberantasan kejahilan. Ulama dunya sebaliknya, mereka bersifat duniawi dalam pandangan hidup mereka. Mereka menginginkan kekayaan dan kehormatan duniawi dan tidak segan-segan untuk menghianati hati nurani mereka asalkan tujuan mereka tercapai. Mereka bergaul bebas dengan raja-raja dan pegawai pemerintah, serta memberikan sokongan moral terhadap tindakan mereka yang baik ataupun yang buruk. Ahli Islam jenis ini umumnya disebut ulama-su’i (ulama yang buruk), dan pendapat umum di kalangan Islam tidak hanya memperlakukan mereka secara masa bodoh sambil mencela dan menghina mereka tetapi menganggap mereka bertanggung jawab untuk segala keburukan dan kemalangan yang menimpa komunitas Islam. Selama periode yang dibicarakan ini, adalah saat ulama menjadi suatu kekuatan dalam politik tidak membawa ke arah pencerahan masyarakat karena sikap sosial dan perilaku politiknya yang cenderung mencoba-coba untuk tidak memperdulikan martabat dan kedudukan mereka sebagai pemimpin agama. Dalam konteks ini, peruntukan MBI dalam mencetak ulama sangat didasari oleh kegalauan realitas keterlibatan ulama masa kini dalam urusan keduniaan. MBI berketetapan untuk menjauhi ulama dunya dan berupaya keras mengejar tercapainya ulama akherat. Penggemblengan aspek keagamaan baik dalam konsep dan aplikasinya yang digelorakan pada pembelajaran di pesantren MBI harusnya menjadi titik tolak pemenuhan peruntukan membentuk ulama besar bagi siswa MBI. Pemberdayaan kurikulum mu’adalah dan pengajian rutin adalah jalan masuk menuju cita-cita ini.

Selanjutnya, potret MBI dalam bingkai pembentukan pemimpin dimanifestasikan secara kongkrit pada awal siswa MBI memasuki jenjang pendidikan. Siswa baru MBI diwajibkan menmgikuti Masa Orientasi Siswa dan Latihan dasar Kepemimpinan yang dikselenggarakan oleh WISNU (OSIS MBI). Penanaman jiwa kepemimpinan dipadu dengan pengenalan keorganisasian, kajian pembangunan karakter, serta pemberian ketrampilan memecahkan masalah (problem solving) sepertinya akan juag menjadi pemicu bagi siswa MBI dalam mengenal apa dan bagaimana menjadi seorang pemimpin. Apa yang disampaikan oleh Karimullah dan Gigih sebagai dua orang yang pernah menjadi Ketua WISNU jelas membuktikan wujud kongkrit pembekalan jiwa kepemimpinan kepada siswa MBI.

Konglomerat dalam sudut pandang moralis adalah para pemilik modal atau orang kaya yang masih mau berbagi kepada sesamanya. Apalah artinya memiliki harta berlebih jika hanya disimpan untuk memuaskan diri sendiri. Konsep pemahaman zakat, shodaqoh, dan hadiah sejatinya adalah konsep yang akan membimbing siswa MBI menjadi pribadi konglomerat yang santun. Untuk menjadi konglomerat, maka tausiyah di hampir setiap apel pagi yang sarat motivasi kepada siswa MBI justru akan makin melambari pribadi siswa MBI untuk berjuang dan bercita-cita menjadi pemilik perusahaan bukan pekerja, pemilik pabrik bukan buruh, pemilik lembaga profit bukan peminta-minta, pemilik Bank syariah bukan nasabah, dan seterusnya. Semangat dan motivasi seperti ini dilakukan dengan berulang-ulang. Visi, misi, komitmen, peruntukan dan tujuan MBI acap disampaikan kepada siswa MBI dalam berbagai kesempatan untuk pada saatnya siswa MBI makin bulat dalam tekad terutama dalam pencapaiannya. Reinforcement atau perulangan biasanya akan melahirkan pembiasaan dan kebiasaan, sekaligus akan menghasilkan karakter yang pada akhirnya akan mengukir nasib seseorang.

Profesionalis adalah siapapun yang menjalankan setiap tugas dan kewajibannya secara tuntas dan bertanggungjawab. Penanaman komitmen MBI untuk menjadi pribadi yang beriman, bertaqwa, berilmu, berdisiplin, bertanggungjawab, bersih, sopan, ramah dan rapi bukanlah sekedar semboyan dan slogan semata. Tetapi akan membekas dalam sanubari siapapun yang mendengar dan merenungkan serta mengamalkannya. Internalisasi nilai yang terkandung dalam komitmen MBI akan melahirkan sikap dan perilaku yang profesionalis. Untuk lima tahun pertama ini memang belum tampak hasilnya, tetapi tanda-tanda kemanjuran internalisasi komitmen itu sudah mulai tampak. Kemajuan dan pertumbuhan di segala aspek pada MBI setidaknya akan menjauhkan kesangsian harapan besar MBI mencetak generasi muda yang unggul.

Profil Madrasah Aliyah Unggulan Program Madrasah Bertaraf Internasioanl (MBI) yang telah dikembangkan adalah bukti kongkrit sejalan dengan upaya phraksis setiap gerak pikir dan tindakan para pengelola MBI. Perwujudan tersebut telah berlangsung dan berproses sekian lama dan meski memerlukan banyak revisi dalam pelaksanaannya, namun itu semua adalah kristalisasi sebagai bentuk perhatian yang serius pada pembangunan sumber daya manusia pada domain pendidikan. National building (pembangunan bangsa) ini tidak harus diselenggarakan secara fisik semata, namun lebih dari itu, pembangunan mental dan sosial atas dasar pembangunan etika moral adalah kunci utama bagi keberhasilan pembangunan pendidikan di MBI.

Untuk melihat keberhasilan itu, mengurai apa gerangan yang menjadi pola perilaku (pattern of behavior) yang mencuat agaknya akan makin menunjukkan sisi cerita sukses di MBI. Istilah ini merujuk pada aspek budaya yang berarti kaidah bagi sebuah perilaku. Terma ini sangat filosofis karena memuat ihwal yang normatif dan preskriptif. Apa yang seharusnya dijadikan dasar pijakan ini seakan penting dan perlu dalam setiap penyelenggaraan sebuah ideasi.

Terma ini sebetulnya diilhami oleh pemikirian Hegelian yang meletakkan dataran Mind (pikiran) sebagai sumber penjelasan. Realitas pendidikan sebagai kongkritisasi sekolah efektif yang akan dijalankan harusnya dapat dijelaskan dengan apa yang dibayangkan oleh Hegel sebagai ide yang menentukan materi. Kalangan Hegelian memang sangat mendewakan ideasi daripada keberadaan materi. Berbeda dengan muridnya (Marx) dan semua pengikutnya (Marxian), yang meletakkan materi di atas gagasan / ide yang dipandang abstraktif. Bagi Marxian, segala yang bersifat materi kebendaan sangat menentukan, sehingga ideasi dianggap tidak rasional dan menghambat proses kehidupan manusia. 

Untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat tabel preskripsi berikut ini.

Tabel  Pattern of Behavior / Visi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input
Proses
Output - outcome
Anak-anak bangsa yang dengan segala potensi diri yang dimilikinya (minat bakat dan kemampuan):
-         sense of interest
-         sense of courisity
-         sense of reality
-         sense of inquiry
-         sense of discovery
Modal/investasi moral ini dimantapkan sejak dini dan diproses di MBI untuk menumbuhkan kreatifitas

Internalisasi Pembiasaan


Karakter (Akhlaqul Karimah)
                    

Nasib Baik
Ulama, Pemimpin, Konglomerat, dan Profesionalis

Selanjutnya, perilaku yang mempola adalah respon aktif atas kaidah perilaku (pola perilaku) dalam terma budaya. Oleh karena bingkai relijius-multikulturalisme dikedepankan, maka dengan sendirinya konsepsi yang telah ditentukan dalam pattern of behavior wajib diwujudkan ke dalam tindakan yang realistis empiris (pattern for behavior). Untuk itu marilah kita lihat tabel berikut ini.Dari tabel di atas, tampaklah bahwa proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya dapat dibangun dengan meminjam penjelasan sistem dengan mekanisme input-output. Dari wilayah input, proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya diideasikan dengan menyiapkan sumber daya siswa yang berpotensi diri dengan segala kemampuan untuk berminat, ingintahu, membuktikan, menyelidiki, serta menemukan hal baru yang bermanfaat bagi dunia pendidikan dan kemanusiaan pada umumnya. Modal dan investasi sumber daya siswa ini selanjutnya diproses melalui apa yang dinamakan pembiasaan untuk menanamkan akhlaqul karimah, sehingga melahirkan nasib baik, sehingga teraihlah apa yang disemangatkan dalam peruntukan MBI untuk mencetak ulama, pemimpin, konglomerat dan profesionalis. Proses pembelajaran ini sejauh mungkin berada dalam bingkai relijius-multikultural. Oleh karenanya, pendekatan budaya dan perilaku yang bermartabat hendak dikedepankan. Sasaran akhir dari proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya ini diarahkan demi terwujudnya intelektual muda yang tangguh sebagai investasi moral bangunan masyarakat Indonesia masa depan.

Tabel  Pattern for Behavior / Misi MBI Amanatul Ummah Surabaya
Input
Proses
Output - Outcome
Unsur-unsur yang harus dimiliki oleh proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya:
-         Pengelola  manajerial
-         Metode andragogis
-         Berbasis kompetensi
-         Sumber daya siswa yang kritis-etis
Kognitif :
Pemahaman nilai budaya, kemampuan verbal, logika dasar dan kecakapan

Lulusan MBI yang Kompeten (Beasiswa dalam dan luar negeri, PMDK, SNMPTN
             
          
Intelektual yang cerdas dan beriman
Afektif :
Pemahaman etika dan estetika yang berbasis nilai-nilai relijius

Berkaca dari tabel, perwujudan ideasi proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya secara empiris-realistis sangat dekat dengan upaya sinergis antara semua elemen pendidikan yang terdiri atas kemampuan manajerial pengelola lembaga pendidikan, pemilihan metode pengajaran yang berwawasan lokalitas, mementingkan basis kompetensi dalam setiap kurikulum pengajarannya, serta tersedianya sumber daya siswa yang kritis-etis. 

Realisasi proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya diarahkan pada tergalinya kemampuan kognisi dan afeksi dari input yang tersedia. Pola ini dikembangkan sedemikian rupa agar tercapai apa yang dicita-citakan, yaitu intelektual muda yang cerdas dan beriman (lulusan yang kompeten dengan mendapatkan beasiswa dalam dan luar negeri, PMDK, atau SNMPTN).

Dengan demikian, ada hubungan relasional yang saling memajukan antara lembaga penyelenggara pendidikan dengan siswa sebagai investasi moral. Proses pembelajaran di MBI Amanatul Ummah Surabaya (yang berbasis kognitif-afektif, logis-etis-relijius) merupakan salah satu pilar tercapainya visi, misi, komitmen dan peruntukan, serta tujuan MBI Amanatul Ummah Surabaya.

Proses enkulturasi atau sosialisasi sangat berperan setelah proses internalisasi yang berlangsung dalam setiap program pembelajaran dalam bingkai relijius-multikulturalisme. Sehingga azas voluntarisme yang menyiratkan kebebasan di atas pijakan logis-etis-relijius akan mendorong keberhasilan pendidikan nasional di Indonesia.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger