Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia

Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia
1. Definisi Baru ‘Filsafat Indonesia’
Adalah mustahil menemukan definisi kata ‘Filsafat Indonesia’ dalam kamus-kamus atau ensiklopedi-ensiklopedi filsafat Barat yang standar. Filsafat Indonesia memang belum seberuntung Filsafat Timur lainnya yang telah lebih dulu dikenal Barat. Ambillah karya Paul Edwards sebagai satu ukuran. Dalam karyanya The Encyclopedia of Philosophy yang 8 jilid itu, terdapat 1.500 artikel yang ditulis oleh 500 kontributor dari filosof seluruh dunia, tapi tak satupun artikel yang mengenai Filsafat Indonesia. Sementara itu, ada 1 filosof Mesir, 1 filosof Iran, dan 4 filosof Cina yang menyumbangkan artikelnya selain dari 494 filosof Barat, tapi tak satupun filosof Indonesia yang menjadi kontributor artikel di dalamnya.

St. Elmo Nauman Jr., dalam karyanya yang klasik Dictionary of Asian Philosophies (1979), juga hanya mencantumkan nama-nama filosof Asia dari daerah Persia, India, Cina, Palestina, Babilonia, Tibet, Jepang, Arab, Siria, dan Lebanon. Tak satupun nama filosof Indonesia yang disebut. Apatah lagi di dalam Encyclopaedia Britannica atau Encarta Encyclopedia 2005. Kondisi yang sama juga terjadi ketika anda mencoba browsing di dunia maya lewat fasilitas mesin search dari situs seperti www.google.com. Dengan penuh putus asa tidak akan ditemukan artikel-artikel internet yang berjudul ‘Filsafat Indonesia’.

Itu belum seberapa menyedihkan. Ada lagi kenyataan yang lebih membuat kita, orang Indonesia sendiri, lebih sedih. Perpustakaan Nasional RI, suatu perpustakaan milik pemerintah di Jakarta, hanya memiliki koleksi 42 judul buku dalam katalog subyek ‘Filsafat Indonesia’, sedangkan koleksi buku Filsafat Barat dan Filsafat Timur lainnya malah memiliki beratus-ratus judul.

Seorang filosof Mesir berkaliber internasional seperti Hassan Hanafi juga mengaku tidak pernah mengetahui adanya Filsafat Indonesia, sehingga pada saat diwawancara oleh GATRA pada 5 Juni 2001 mengatakan dengan penuh sinisme:

…kalian misalnya bilang tentang pengaruh Muhammad Abduh, Afghani, Rasyid Ridha, Hasan Al-Banna, atau Sayyid Qutub, tetapi mana pemikir Indonesia? Seperti yang terjadi di Turki, mereka hanya menyebutkan pengaruh dari Abduh, Afghani dan lain-lain. Lalu di mana pemikir Indonesia?

Bahkan di dalam wawancara itu pula Hanafi mengungkap niatnya untuk menulis tentang pemikir-pemikir Indonesia. 

Ini semua berarti, kajian Filsafat Indonesia masih amat baru, bahkan untuk orang Indonesia sendiri. Namun, walaupun belum terkenal secara internasional, setidaknya Filsafat Indonesia sudah dikaji di negeri sendiri, oleh segelintir orang yang memelopori kajiannya, seperti Sunoto, R. Pramono, M. Nasroen, S.A. Kodhi, dan Jakob Sumardjo. Sunoto dan R. Pramono berlatarbelakang UGM. Sunoto sendiri bekas Dekan Jurusan Filsafat Indonesia di UGM Yogyakarta, sedangkan M. Nasroen adalah Guru Besar Filsafat di Universitas Indonesia dan Jakob Sumardjo dari ITB Bandung. 

M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian Filsafat Indonesia pada dekade 60-an. Dalam karyanya yang sangat klasik (Perpustakaan Nasional RI memasukkan bukunya sebagai salah satu koleksi ‘buku langka’), Guru Besar UI ini dalam banyak halaman menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan Filsafat Timur, lalu mencapai satu kesimpulan bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu Filsafat khas yang ‘tidak Barat’ dan ‘tidak Timur’, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.

Demikian pula Sunoto, yang melakukan kajian serius tentang Filsafat Indonesia, walaupun diakuinya sendiri bahwa kajiannya ‘…masih berkisar pada kefilsafatan Jawa…,’ dan tidak menyeluruh. R. Pramono mencoba lebih jauh dari Sunoto. Selain Jawa, ia menelusuri alam pikiran Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia, membahas ‘Ringkasan Sejarah Kerohanian Indonesia’, yang secara kronologis memaparkan sejarah Filsafat Indonesia dari ‘era primordial’, ‘era kuno’, hingga ‘era madya’. Dengan berbekal hermeneutika yang sangat dikuasainya, Jakob menelusuri medan-medan makna dari budaya material (lukisan, alat musik, pakaian, tarian, dan lain-lain) hingga budaya intelektual (cerita lisan, pantun, legenda rakyat, teks-teks kuno, dan lain-lain) yang merupakan warisan filosofis agung masyarakat Indonesia. Dalam karyanya yang lain, Mencari Sukma Indonesia (2003), Jakob pun menyinggung ‘Filsafat Indonesia Modern’, yang secara radikal amat berbeda ontologi, epistemologi, dan aksiologinya dari ‘Filsafat Indonesia Lama’. Semua perintis tersebut sangat membantu dalam mencapai pemahaman yang dalam tentang Filsafat Indonesia.

Semua perintis Filsafat Indonesia tadi mendefinisikan Filsafat Indonesia secara berbeda-beda. M. Nasroen mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai sekumpulan ajaran-ajaran filosofis yang asli Indonesia, yang tidak pernah dimiliki oleh Filsafat manapun. Dalam ungkapannya sendiri, Nasroen menjelaskan:

Pandangan hidup Indonesia adalah berlainan betul dari Pandangan Hidup Junani dan Pandangan Hidup Barat dan Timur yang bersumberkan pada Pandangan Hidup Junani itu…

Sedangkan Sunoto, R. Pramono, dan filosof UGM dari Jurusan Filsafat Indonesia lainnya, mendefinisikan Filsafat Indonesia sebagai ‘…kekayaan budaya bangsa kita sendiri…yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri…’ Atau, dalam ungkapan R. Pramono, Filsafat Indonesia berarti ‘…pemikiran-pemikiran…yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah…’ Jadi, dalam pemikiran kelompok filosof UGM itu, Filsafat Indonesia ialah semua pemikiran filosofis yang ditemukan dalam adat istiadat dan kebudayaan kelompok-kelompok etnis masyarakat Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Definisi ini juga dianut oleh Alumni UGM dan Dosen Matakuliah Filsafat Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah. 

Jakob Sumardjo mendefinisikan Filsafat Indonesia secara amat gamblang dan lugas sebagai ‘Filsafat Etnik Indonesia’, yakni ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, maka artinya:

filsafat… yang terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya…

Semua filosof pelopor tadi, nampaknya, mencapai kata sepakat bahwa definisi Filsafat Indonesia adalah ‘segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia.’ Jadi, semua produk filosofis sebelum datangnya filsafat asing (Cina, India, Persia, Arab, Eropa) ke Indonesia, dapat disebut sebagai Filsafat Indonesia. Mereka menekankan ‘keaslian’ bagi Filsafat Indonesia. Padahal, ‘Filsafat asli Indonesia’ hanya ada pada saat masyarakat Indonesia belum kedatangan penduduk asing. Jika Filsafat Indonesia hanya berisi ini saja, maka sungguh betul miskinlah tradisi filsafat kita.

Penulis menganggap penting adanya definisi baru, agar Filsafat Indonesia tidak hanya seperti katak dalam tempurung, yang kebal terhadap pengaruh intelektual asing dan ‘suci’ dari unsur filosofis asing, dengan cara memperluas scope Filsafat Indonesia, yang bukan hanya mengandung segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik Indonesia, tapi juga segala pemikiran Indonesia yang terpengaruh oleh antar-koneksi filsafat-filsafat sejagat.

Memang benar, sebagaimana sering ditunjukkan oleh penulis buku Filsafat Islam, Persia, Cina, Jepang, Inggris, Jerman, Amerika, dan lain-lain, bahwa para filosof menamai kajian mereka dengan sebutan ‘Filsafat Islam’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, ‘Filsafat Jerman’, dst., di samping untuk menegaskan sumbangan komunal dari komunitas tempat mereka berasal terhadap tradisi filsafat sejagat, juga untuk menunjukkan kekhasan, otentisitas, identitas, atau fitur distingtif dari filsafat yang mereka kaji daripada tradisi filsafat lain. Tapi, para filosof itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka kemudian juga mengakui, baik secara implisit maupun eksplisit, bahwa tradisi filsafat sejagat juga turut memberi warna-warni dalam struktur filsafat regional mereka. 

Bertrand Russell, dalam buku sejarah filsafat Baratnya yang amat klasik History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from The Earliest Times to The Present Day (Sejarah Filsafat Barat dan Hubungannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Masa Lampau Hingga Sekarang), mengakui pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat. Dengan kata-katanya sendiri, Russell berujar: 

Writers in Arabic showed some originality in mathematics and chemistry in the latter case, as an incidental result of alchemical researches. Mohammedan civilization in its great days was admirable in the arts and in many technical ways, but it showed no capacity for independent speculation in theoretical manners. Its importance, which must not be underrated, is as a transmitter. Between ancient and modern European civilization, the dark ages intervened. The Mohammedans and the Byzantines, while lacking the intellectual energy required for innovation, preserved the apparatus of civilization education, books, and learned leisure. Both stimulated the West when it emerged from barbarism the Mohammedans chiefly in the thirteenth century, the Byzantines chiefly in the fifteenth. In each case the stimulus produced new thought better than any produced by the transmitters in the one case scholasticism, in the other the Renaissance (which however had other causes also)

Pengaruh Filsafat Islam terhadap tradisi Filsafat Barat juga diakui oleh filosof Barat lain, Frederick Mayer. Dalam karyanya yang juga tergolong klasik A History of Ancient & Medieval Philosophy, lektur filsafat pada University of Redlands California ini mengatakan:

Averrhoes defended, against Al-Gazzali, the value of philosophical discussion. He held that it could give a spiritual interpretation of the faith and lead to a symbolic explanation of dogmas which otherwise would be accepted in their literal sense. After his death Arabic philosophy declined, but his theories played an important part in Western scholastic circles.

Bukan hanya filosof Barat yang mengakui pengaruh warna-warni filsafat asing dalam struktur filsafat regionalnya, tapi juga filosof Jepang, seperti Masaaki Kôsaka. Dalam artikelnya The Intellectual Background of Modern Japanese Thought (Latarbelakang Intelektual dari Alam Pikiran Jepang Modern), Masaaki mengakui pengaruh Filsafat Barat dalam struktur Filsafat Jepang, seraya berkata:

When Japan in the time of The Meiji Restoration-pen. began dealing with foreign nations, she admitted a host of Western influences. At the time, these sprang solely from modern Europe and America, but it was inevitable that the attention of the Japanese would eventually be caught by the glories of the Renaissance and ancient Greek civilization, and more important, that they would encounter Christianity

Huang Songjie, seorang filosof Cina, juga turut mengakui pengaruh tradisi Filsafat Barat terhadap struktur Filsafat Cina. Dalam artikelnya The ‘Great Triangle’ of Chinese Philosophical Academia and The Modernization of China (‘Segitiga Emas’ Akademi Filsafat Cina dan Modernisasi Cina) , Songjie menegaskan bahwa:

Marxist philosophy, Western philosophy and Chinese traditional philosophy are three independent and yet interrelated philosophical trends in the 20th century Chinese academic and cultural world. I refer to this as the "Great Triangle". Dealing properly with this interrelationship is of great importance for the development of Chinese culture and the modernization of China… Western science and culture spread gradually in China after the Opium War (1840) and forcefully challenged traditional Confucianism. Early in 20th century, with the Revolution of 1911 and the May 4th New Culture Movement, traditional Confucianism was attacked intensely by a large number of progressive intellectuals and radical thinkers. During the twenties and thirties of this century, more and more Chinese intellectuals introduced and popularized Western philosophy in China, among which pragmatism was especially influential. But early in 20th century the greatest impact on Chinese society was the introduction and spread of Marxism. From the 1920’s on the "Great Triangle" appeared in the Chinese philosophical arena, in which the traditional Confucianist philosophy was defeated and Marxist philosophy emerged as the winner. The victory of Marxism is due to the fact that the Chinese communists combined Marxism tactically with Chinese social and revolutionary practice; they made of Marxism an ideological weapon against feudalism and imperialism, leading thereby to the founding of New China.

Tidak mengakui adanya ‘Filsafat asli Indonesia’ dan hanya mengakui pengaruh Modernisme Barat dalam struktur Filsafat Indonesia juga sama buruknya dan sama naifnya. Memang tidak dapat disangkal, bahwa kata ‘Indonesia’ baru diciptakan pada tahun 1917, tapi bukan berarti sebelum tahun itu tradisi Filsafat Indonesia belum ada; sebelum tahun itu, pemikir Indonesia belum lahir. Memang tak dapat disangkal, bahwa ‘Indonesia’ sebagai suatu lembaga politik modern Republik ala Barat baru lahir pada 17 Agustus 1945, tapi bukan berarti semua pemikir yang ada sebelum tanggal itu harus diabaikan begitu saja. 

Semangat ‘anti-tradisi’ semacam itu pernah mencuat dalam tulisan-tulisan polemis ‘Sutan Takdir Muda’ dengan Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dikenal sebagai Polemik Kebudayaan 1935,[16] dimana Sutan Takdir berpendapat bahwa tradisi ‘Indonesia Lama’ termasuk struktur budaya, peradaban, seni, dan filsafatnya sebagai satu paket harus dibuang jauh-jauh ke belakang dan, sebagai gantinya, tradisi Dunia Modern yang mengandung ‘budaya progresif’ harus diadopsi, dipelajari, dan dikuasai, supaya Indonesia dapat mewarisi kebesaran struktur budaya Modern itu dan menjelmakannya untuk dirinya sendiri sebagai ‘Indonesia Modern’. Motif-motif ‘anti-tradisi’ juga sempat hadir dalam deklarasi dan pernyataan-sikap para sastrawan yang tergabung dalam kelompok Angkatan ’45, yang terungkap dalam Surat Kepercayaan Gelanggang Indonesia Merdeka (Jakarta, 18 Februari 1950):

…Kami tidak akan memberikan suatu kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,… Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan…

Upaya pengadopsian filsafat asing ke dalam struktur tradisional Indonesia dalam wujud proyek Modernisasi (Westernisasi) berada pada track yang benar, apabila dimaksudkan untuk menghancurkan sisa-sisa sukuisme dan feodalisme pra Kemerdekaan, tapi menjadi salah-langkah, apabila ditujukan untuk membuang seluruh heritage filosofis lama. 

Pada saat Modernisasi mulai mengetam hasil panennya setelah 2 abad berjalan, yang puncaknya tercapai di era Orde Baru Soeharto, tidaklah salah jika ada orang yang mau ‘kembali ke Tradisi’, bukan untuk sekadar romantisme yang nostalgik, tapi untuk interpretasi-ulang, cipta-ulang, daur-ulang, reka-ulang, pemaknaan-ulang atau introspeksi terhadap tradisi sendiri. Mungkin ada ‘penyakit-penyakit Modernitas’ yang ‘obatnya’ justru terdapat dalam Tradisi. Mungkin juga ada Tradisi yang elemen-elemennya malah menopang sendi-sendi yang rapuh dari struktur Modernitas. Tradisi yang dimaknai-ulang oleh orang modern tentu bukan lagi tradisi kuno, tapi menjadi suatu Modernitas baru, karena tradisi kuno sudah sejak lama hilang, digantikan oleh Modernitas. Ketika Modernitas telah menjadi barang kuno oleh orang Indonesia sekarang, maka penafsiran-ulang terhadap Tradisi mungkin saja menghasilkan ‘Modernitas Baru’.

Definisi baru Filsafat Indonesia mesti merangkul Tradisi dan Modernitas sekaligus. Tidak boleh ada preferensi yang berlebihan pada salah satunya. Jika pilihan dijatuhkan pada salah satu dari keduanya, berarti Filsafat Indonesia telah dimiskinkan isinya.

Mitologi kuno yang sarat elemen filosofis, sebagai bagian dari Tradisi, setidaknya dapat dijadikan titik-tolak (turning point) untuk pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, jika bukan sebagai pintu gerbang (gateway) untuk masuk ke alam pikiran Indonesia. Banyak penulis sejarah filsafat yang sengaja memasukkan kajian mitologis sebagai kajian pembuka dalam bukunya, apalagi jika bukunya memang disusun menurut kronologi. Thomas Kasulis, dalam artikelnya Japanese Philosophy, memulai kajiannya dengan mitologi Jepang kuno. Mohammad Hatta, dalam buku Alam Pikiran Yunani, juga memulai kajiannya dengan mitologi Yunani. Bahkan, Plato, dalam setiap tulisannya, menggunakan mitologi, baik sebagai bahan-baku (raw material) filsafatnya maupun sebagai target kritik untuk membangun struktur filosofisnya. 

Untuk membuat definisi yang baik dari Filsafat Indonesia, maka dibutuhkan beberapa perbandingan dengan definisi filsafat yang lain. Misalnya, ‘Filsafat Islam’ disebut demikian, karena filsafat itu lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yang menetap di wilayah itu. Hal serupa juga berlaku bagi ‘Filsafat Kristen’ dan ‘Filsafat Yahudi’. Sementara, ‘Filsafat Jerman’ disebut demikian, karena ia ditulis dengan aksara dan bahasa Jerman. Ini serupa dengan definisi ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Rusia’, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Kontinental’ (Filsafat yang ditulis berbahasa Eropa Kontinental), ‘Filsafat Analitis’ (Filsafat yang ditulis berbahasa Inggris atau Amerika), ‘Filsafat Korea’, dan ‘Filsafat Arab’, yang mendasarkan penamaan filosofisnya dari penggunaan aksara dan bahasa nasionalnya. ‘Filsafat Afrika’ lebih menekankan segi distingtif tradisi filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat lainnya. Ini serupa dengan ‘Filsafat Persia’, ‘Filsafat Bantu’, dan ‘Filsafat Pakistan’.

Berdasarkan perbandingan di atas, berarti definisi Filsafat Indonesia dapat dibangun dari 3 segi: 1) wilayah tempat filosof itu berada; 2) aksara dan bahasa yang digunakan filosof untuk menulis karya filosofisnya; dan 3) segi distingtif pemikiran filosofisnya dari tradisi filsafat sejagat. Kalau 3 segi ini diterapkan pada definisi Filsafat Indonesia, maka Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah Indonesia berimplikasi, bahwa semua orang yang berasal dari kelompok etnis, kelompok ras, atau kelompok religius yang berbeda, asalkan semuanya menetap di Indonesia, maka semuanya filosof Indonesia. 

Pernyataan bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai medium ekspresi filosofisnya berimplikasi, bahwa semua orang yang menetap di Indonesia, asalkan menggunakan bahasa-bahasa yang hidup di Indonesia sebagai mediumnya, maka semuanya adalah filosof Indonesia. Disebut ‘bahasa-bahasa di Indonesia’, karena Indonesia memiliki 587 bahasa etnik disamping ‘bahasa persatuan’ nya yakni Bahasa Indonesia. 

Untuk sifat ketiga, bahwa Filsafat Indonesia adalah filsafat yang sekurang-kurangnya memiliki segi distingtif dari filsafat sejagat lainnya, harus diberi penjelasan tambahan. Distinctiveness bukanlah suatu keharusan dalam Filsafat Indonesia, sebab, harus diakui, bahwa segi distingtif dalam isi Filsafat Indonesia amatlah sedikit daripada segi adaptifnya. Lebih banyak borrowing nya daripada otentisitasnya. Lebih banyak segi ‘pinjamannya’ daripada segi ‘aslinya’. Yang asli dalam Filsafat Indonesia hanya Filsafat-Filsafat Etnisnya, sedangkan yang pinjaman cukup banyak, meliputi pinjaman dari ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat India’, ‘Filsafat Arab’, ‘Filsafat Persia’, hingga ‘Filsafat Barat’. Pinjaman-pinjaman itu, pada saatnya, akan dipulangkannya lagi setelah ia berhasil membangun suatu corak lain, apakah dalam bentuk sintesa dialektis, adaptasi, transformasi, metamorfosis, atau malah rejeksi dan objeksi. 

Definisi baru Filsafat Indonesia ini juga berimplikasi pada masalah kapan lahirnya kajian Filsafat Indonesia. Jika dimaksud sebagai suatu nama cabang filsafat yang dikaji filosof Indonesia, yang membedakannya dari kajian Filsafat Barat dan Filsafat Asia lainnya, maka Filsafat Indonesia lahir pada dekade 60-an. Tapi, jika dimaksud sebagai aktivitas berpikir logis-rasional yang diproduksi orang Indonesia, maka Filsafat Indonesia lahir bukan sejak dekade itu, tapi malahan sejak local genius primitif memproduksi mitologi filosofis, yang diperkirakan para sejarawan berproduksi sejak era neolitik sekitar 3500-2500 SM, yang jejak-jejaknya masih dapat ditelusuri hingga sekarang dalam kebudayaan suku Sakuddei di Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), suku Atoni di Timor Timur, suku Marind-Anim di Papua (Irian Barat), juga di suku Minangkabau, Jawa, Nias, Batak, dan lain-lain.

2. Mazhab, Sumber, dan Tokoh Filsafat Indonesia
Kini tibalah pada tempatnya untuk membahas cabang-cabang dari ‘Filsafat Indonesia’ dan tokoh-tokoh kunci yang menguasai cabang itu. Di sini penulis membagi Filsafat Indonesia ke dalam 6 mazhab besar, berdasarkan pada sumber-sumber inspirasinya: Filsafat Etnik, Filsafat Timur, Filsafat Barat, Filsafat Islam, Filsafat Kristen, dan Filsafat Paska-Soeharto.

Filsafat Etnik
Jakob Sumardjo telah menjelaskan di muka, bahwa yang dimaksud dengan ‘Filsafat Etnik’ ialah ‘…pemikiran primordial…’ atau ‘…pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya…’ dari suatu kelompok etnik di Indonesia. Maka, jika disebut ‘Filsafat Etnik Jawa’, itu artinya:

filsafat… yang terbaca dalam cara masyarakat Jawa menyusun gamelannya, menyusun tari-tariannya, menyusun mitos-mitosnya, cara memilih pemimpin-pemimpinnya, dari bentuk rumah Jawanya, dari buku-buku sejarah dan sastra yang ditulisnya.

‘Filsafat Etnik’ adalah filsafat orisinil dari Indonesia, yang diproduksi oleh local genius primitif sebelum kedatangan pengaruh filsafat asing. Di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM, penduduk Indonesia asli telah membentuk komunitas berupa desa-desa kecil yang telah mengenal sistem pertanian, sistem irigasi sederhana, sistem peternakan, pembuatan perahu, sistem pelayaran sederhana, dan seni bertenun.[20] Mereka juga sudah mulai berspekulasi mengenai segala yang mereka perhatikan dari alam, sehingga merekapun sudah memproduksi filsafat, sekalipun dalam bentuk yang sangat sederhana. Mitologi-mitologi filosofis yang diproduksi suku-suku etnis Indonesia kini sudah banyak yang dibukukan, sehingga para peneliti Filsafat Indonesia kini dapat membacanya, baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam bahasa asing. Misalnya, mitologi filosofis suku Dayak-Benuaq telah dibukukan dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh Michael Hopes, Madras & Karaakng dengan judul Temputn: Myths of The Benuaq and Tunjung Dayak. 

Kajian ‘Filsafat Etnik’ telah banyak dilakukan oleh filosof Indonesia. M. Nasroen adalah orang pertama yang memelopori kajian ‘Filsafat Etnik’ pada dekade 60-an, lalu Sunoto, yang melakukan kajian serius tentang Filsafat Etnik Jawa. R. Pramono mengkaji Filsafat Etnik Jawa, Batak, Minangkabau, dan Bugis. Sedangkan Jakob Sumardjo, dalam karyanya Arkeologi Budaya Indonesia dan Mencari Sukma Indonesia, membahas Filsafat Etnik Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Melayu, dan lain-lain. Franz Magnis-Suseno juga mengkaji Filsafat Etnik Jawa, seperti karya-karyanya yang berjudul Kita dan Wayang (Jakarta, 1984), Etika Jawa dalam Tantangan, dan Etika Jawa: sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. I Made Swasthawa Dharmayuda mengkaji Filsafat Bali yang terkandung dalam adat-istiadat suku Bali dalam karyanya Filsafat Adat Bali. P.J. Zoetmulder mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari segi kesusastraannya dalam buku Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang dan Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Nian S. Djoemena mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi luriknya dalam buku Lurik: Garis-garis Bertuah (The Magic Stripes). Soewardi Endraswara mengkaji Filsafat Etnik Jawa dari tradisi peribahasanya dalam buku Mutiara Wicara Jawa. Purwadi mengkaji Filsafat Etnik Jawa terutama kearifan tokoh Semar dalam pewayangan Jawa dalam karyanya Semar: Jagad Mistik Jawa dan Woro Aryandini mengkaji kearifan tokoh Bima dalam karyanya Citra Bima dalam Kebudayaan Jawa. Suwardi Endraswara membahas Filsafat Hidup yang dipahami khas orang Jawa dalam karyanya Filsafat Hidup Jawa, dan masih banyak lagi filosof Indonesia yang mengkaji Filsafat Etnik, bahkan hingga detik ini. 

Filsafat Timur
Yang dimaksud dengan ‘Filsafat Timur’ adalah tradisi filsafat yang dikembangkan oleh orang-orang ‘Timur’, sebagai kebalikan dari orang ‘Barat’. Istilah ini jelas saja diberikan oleh bangsa Barat untuk bangsa Timur. Pada kenyataannya, tidak semua bangsa Timur filsafatnya dikenal baik oleh bangsa Barat. Yang tradisii filsafatnya dikenal baik hanya sebagian saja, yakni, ‘Filsafat Cina’, ‘Filsafat Jepang’, dan ‘Filsafat India’. 

‘Filsafat Cina’ baru-baru ini saja dipelajari dengan serius oleh filosof Indonesia, walaupun nyatanya orang Cina sudah menetap di Indonesia lebih dari 30 abad yang lalu! ‘Filsafat Cina Klasik’, seperti Filsafat Lao Tzu (605-531 SM), Konfusius (551-479 SM), dan Chuang Tzu (w.360 SM), kini dengan penuh antusias dikaji-ulang dan ditafsir-ulang. Indra Widjaja mengkaji Filsafat Chuang Tzu dalam karyanya Filsafat Perang Sun Tzu, sedangkan Anand Krishna menafsir-ulang Filsafat Lao Tzu untuk dipahami secara modern dalam karyanya Mengikuti Irama Kehidupan: Tao Teh Ching bagi Orang Modern. Soejono Soemargono membuat ikhtisar sejarah Filsafat Cina dalam karyanya yang pionir Sejarah Ringkas Filsafat Tiongkok.

‘Filsafat Cina Modern’ sudah mulai dikaji oleh filosof Indonesia sejak abad 19 M. Sun Yat-Senisme telah dikaji oleh Kwee Kek Beng (1900-1974) lewat terjemahan karya Sun Yat Sen Djalan Ke Kemerdekaan dari bahasa Cina ke bahasa Melayu, Filsafat Anti-Konfusianisme dikaji oleh Kwee Hing Tjiat (1891-1939), Filsafat Marxisme-Leninisme dan Maoisme dikaji oleh Oey Gee Hoat dan Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie, Wang Jen Shu, Ong Eng Djie, Lie A Tjong, Lien Tiong Hien, Lie Wie Tjung, dll. Namun, karya Leo Suryadinata yang berjudul Mencari Identitas Nasional: Dari Tjoe Bou San sampai Yap Thiam Hien (Jakarta: LP3ES, 1990) dan Politik Tionghoa Peranakan di Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994) memuat dengan jenial ikhtisar sejarah filsafat politik Cina Modern yang dipahami filosof Indonesia dari etnik Cina. 

‘Filsafat India’ juga masih sedikit yang mengkaji. Dari survei, penulis hanya menemukan satu karya saja yang mengkaji ‘Filsafat India Klasik’, itupun hanya sebatas ikhtisar sejarah, seperti karya Harun Hadiwidjono yang berjudul Sari Filsafat India. Sedangkan yang mengkaji ‘Filsafat India Modern’ sudah cukup banyak, di antaranya ialah R. Wahana Wegig yang mengkaji Filsafat Etika dari Mahatma Gandhi dalam karyanya Dimensi Etis Ajaran Gandhi.

Yang cukup menarik dipelajari ialah karya orisinal hasil dari blending antara Filsafat Etnik Indonesia dengan Filsafat India atau hasil dari blending antara Buddhisme dan Hinduisme, yang saya namakan ‘Filsafat India-Indonesia’. Filsafat ini adalah hasil eksperimen filosofis dari beberapa filosof kreatif dari Indonesia, yang menghasilkan corak filosofis yang menarik dan orisinil. Sambhara Suryawarana, seorang penulis kitab suci Buddhisme yang hidup di kerajaan Medang Hindu di sekitar tahun 929-947, memuji-muji raja Sindok yang Hinduist di dalam kitab suci Buddhist yang dikarangnya, Sang Hyang Kamahayanikan. Mpu Prapanca (1335-1380) menulis buku Negarakertagama dan Ramayana Kakawin. Ramayana Kakawin ialah terjemahan epik Hindu-India yang disesuaikan dengan alam pikiran Indonesia primitif, sementara Negarakertagama ialah karya puisi epik berbahasa Jawa Kuno yang menjelaskan filsafat yang dianut Kertanagara (1268-1292), seorang raja terbesar dari Dinasti Singhasari, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Sedangkan Mpu Tantular, seorang pengarang yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), menulis buku Sutasoma, yang memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu. 

Raja Dharmawangsa (991-1006) pernah memerintahkan penerjemahan Mahabharata ke bahasa Jawa Kuno tindakan yang memungkinkan masuknya alam pikiran primitif Jawa ke dalam epik Hinduisme-India itu. Juga raja Jayabaya (1130-1160), yang memerintahkan penyaduran Bharatayudha versi India menjadi versi Jawa, untuk menggambarkan perang saudara antara Jayabaya (sebagai Pandawa) dengan sepupunya Jenggala (sebagai Kurawa). Bahkan, raja Indra (782-812) dari Sailendra membangun Candi Borobudur yang bertingkat 9, untuk memuja arwah 9 keluarga moyangnya dalam perjalanan mereka menuju Nirvana.

‘Filsafat Jepang’ masih jarang dikaji. Dari survei, penulis hanya menemukan 2 karya yang ditulis filosof Indonesia mengenai cabang filsafat ini: pertama, karya Tun Sri Lanang yang berjudul Busido, dan kedua, karya Irmansyah Effendi yang berjudul Rei Ki: Teknik Efektif untuk Membangkitkan Kemampuan Penyembuhan Luarbiasa Secara Seketika.

Filsafat Barat
‘Filsafat Barat’ atau Western Philosophy ialah tradisi filsafat yang dikembangkan bangsa Barat sejak masa klasik (abad 5 SM-5 M), pertengahan (6 M-14 M), dan masa modern (15 M-sekarang), yang diproduksi di negara-negara Barat seperti Yunani, Italia, Perancis, Jerman, Inggris, Amerika, dan lain-lain. Sekarang kajian Western Philosophy dipecah-pecah menjadi banyak cabang, seperti Analytic Philosophy, Continental Philosophy, German Philosophy, dan lain-lain. 

‘Filsafat Barat’ yang cabang-cabangnya amat banyak itu telah banyak dikaji oleh filosof Indonesia, bahkan bisa dikatakan sebagai filsafat yang paling banyak dikaji dan yang paling dikuasai oleh mereka. Sejak abad 19 M, saat kolonialis Belanda menerapkan ‘Politik Etis’ dengan berdirinya sekolah-sekolah ala Barat dan gereja-gereja Protestan yang mengajarkan peradaban Barat Modern di tengah-tengah pribumi Indonesia, ‘Filsafat Barat’ mulai dipelajari pelajar-pelajar pribumi. Hingga proklamasi kemerdekaan RI pun, ‘Filsafat Barat’ sering dijadikan counter-culture terhadap ‘Filsafat Etnik’ oleh para filosof Indonesia yang telah Western-minded.

‘Sejarah Filsafat Barat’, terutama sejarah Filsafat Barat abad 20, telah dikajii oleh K. Bertens dalam karyanya Filsafat Barat Abad XX dan Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman. ‘Filsafat Barat Klasik’, seperti Filsafat Yunani-Kuno sejak Thales hingga Plotinus, telah dikaji oleh Mohammad Hatta (salah satu founding father kita) dalam bukunya Alam Pikiran Yunani.

‘Filsafat Barat Modern’ adalah cabang yang paling banyak dikaji, karena hampir semua lembaga sosial-politik Indonesia banyak yang terinspirasi darinya. Bentuk pemerintahan Republik, konstitusi negara modern, lembaga perwakilan rakyat, distribusi kekuasaan yang sejalan dengan Trias Politica, partai politik, dan ideologi partai tersebut sungguh-sungguh cerminan pengaruh alam pikiran Barat. 

Filsafat Marxisme-Leninisme pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika dan D.N. Aidit dalam bukunya Tentang Marxisme, Problems of The Indonesian Revolution, dan Kibarkan Tinggi Pandji Revolusi!. Semaoen mengkaji organisasi buruh komunis dalam bukunya Toentoenan Kaoem Boeroeh. Filsafat Sosialisme-Demokrat pernah dikaji oleh Sutan Syahrir dalam tulisannya Sosialisme di Eropah Barat dan Masa Depan Sosialisme Kerakyatan. Filsafat Politik Republik pernah dikaji oleh Tan Malaka dalam buku Naar de ‘Republiek Indonesia’ dan perkembangan Kapitalisme di Indonesia juga dibahas dalam bukunya Massa Actie. Soekarno, ‘si penyambung lidah rakyat’, pernah membahas Filsafat Nasionalisme dalam bukunya Mencapai Indonesia Merdeka. Filsafat Fasisme Jerman pernah mencuat dalam pidato Soepomo di Rapat BPUPKI menjelang kemerdekaan dan Filsafat Modernisasi mengisi hampir seluruh wacana sosial-politik di era Orde Baru Soeharto. 

Di era Soeharto, yakni era ‘filsafat sebagai candu’, banyak sekali cabang filsafat Barat yang dikaji oleh filosof Indonesia. Filsafat Estetika dikaji oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni. Juga oleh Wajid Anwar L. dalam kedua bukunya Filsafat Estetika dan Filsafat Estetika (Sebuah Pengantar). Filsafat Etika dikaji oleh K. Bertens dalam beberapa karyanya seperti Keprihatinan Moral, Telaah atas Masalah Etika, Perspektif Etika, Kajian atas Masalah-Masalah Aktual, dan Aborsi sebagai Masalah Etika. Juga dikaji oleh W. Poespoprodjo dalam bukunya Filsafat Moral, dan I.R. Poedjawijatna dalam bukunya Etika Filsafat Tingkah Laku. Rosady Ruslan mengkaji Filsafat Etika yang diterapkan pada bidang Kehumasan dalam karyanya Etika Kehumasan, sedangkan M. Dawam Rahardjo mengkaji Filsafat Etika yang diterapkan dalam bidang Ekonomi dan Manajemen dalam bukunya Etika Ekonomi dan Manajemen. 

Filsafat Epistemologi Barat dikaji SJ. Sudarminta dalam bukunya Epistemologi Dasar, Pengantar ke Beberapa Masalah Pokok Filsafat Pengetahuan dan M. Ghozi Badrie dalam karyanya Filsafat Umum: Aspek Epistemologi. Sedangkan Widoyo Alfandi mengkaji Filsafat Epistemologi yang diterapkan dalam bidang Geografi dalam karyanya Epistemologi Geografi. Filsafat Logika dikaji oleh I.R. Poedjawijatna dalam karyanya Logika: Filsafat Berpikir dan Burhanuddin Salam dalam bukunya Logika Formal. Filsafat Kosmologi dikaji oleh Moertono dalam karyanya Filsafat Kosmologi/Filsafat Alam Semesta: Filsafat Teori Kejadian-Kejadian Factual, Dihampiri secara Manusiawi Filsafat.

Filsafat Semiotika dalam perspektif Roland Barthes dikaji oleh Kurniawan dalam bukunya Semiologi Roland Barthes, sedangkan Filsafat Hukum dikaji oleh Soetikno dalam bukunya Filsafat Hukum, Suhadi dalam bukunya Filsafat Hukum, Lili Rasjidi dalam kedua karyanya Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu? dan Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Juga oleh Moertono dalam bukunya Filsafat Hukum: Metodik Penelitian Ilmu Desisi. Filsafat Politik dikaji oleh J.H. Rapar dalam beberapa karyanya seperti Filsafat Pemikiran Politik, Filsafat Politik Aristoteles, Filsafat Politik Agustinus, Filsafat Politik Machiavelli, dan Filsafat Politik Plato. Franz Magnis-Suseno juga punya concern dalam Filsafat Politik, sebagaimana terlihat dalam bukunya Filsafat Kebudayaan Politik. 

Filsafat Sejarah dikaji oleh beberapa filosof, seperti H.R.E Tamburaka dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Kunto Wijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah, dan Purwo Husodo dalam karyanya Filsafat Sejarah Oswald Spengler. Filsafat Agama dikaji oleh Tom Jacobs, SJ dalam bukunya Paham Allah, dalam Filsafat, Agama-Agama dan Teologi, Hamzah Ya’qub dalam karyanya Filsafat Agama, Hamka dalam bukunya Filsafat Ketuhanan, H.M. Rasjidi dalam karya terjemahannya Filsafat Agama, dan Louis Leahy dalam bukunya Filsafat Ketuhanan Kontemporer. 

Filsafat Ilmu dikaji oleh Djohansjah dalam bukunya Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu, Jujun Suriasumantri dalam dua buku masterpiece-nya Ilmu dalam Perspektif dan Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Burhanuddin Salam dalam dua karyanya Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, Hartono Kasmadi dalam bukunya Filsafat Ilmu, M. Solly Lubis dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Penelitian, Hidanul I Harun dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Chairul Arifin dalam karyanya Filsafat Ilmu Pengetahuan: Suatu Pengantar. Filsafat Pendidikan dikaji oleh Redja Mudyahardjo dalam karyanya Filsafat Ilmu Pendidikan, Imam Barnadib dalam bukunya Filsafat Pendidikan, dan Paul Suparno dalam bukunya Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. 

Filsafat Manusia dikaji oleh Zainal Abidin dalam bukunya Filsafat Manusia, Burhanuddin Salam dalam bukunya Filsafat Manusia: Antropologi Metafisika, Kasmiran Wuryo Sanadji dalam bukunya Filsafat Manusia, N. Drijarkara dalam karyanya Filsafat Manusia, dan Moertono dalam karyanya Filsafat Manusia/Antropologi Kefilsafatan: Potensi Penanganan Masalah. Filsafat Kebebasan dikaji oleh satu-satunya filosof Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Kebebasan. Sedangkan Filsafat Analitik dikaji oleh dua orang filosof, yakni Rizal Mustansyir dalam karyanya Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya dan Kaelan dalam karyanya Filsafat Analitis menurut Ludwig Wittgenstein. Filsafat Sastra dan Budaya juga dikaji satu-satunya oleh FX. Mudji Sutrisno dalam karyanya Filsafat Sastra dan Budaya. Juga Filsafat Matematika yang cuma dikaji oleh The Liang Gie dalam karyanya Filsafat Matematika. Filsafat Ekonomi juga dikaji satu-satunya oleh Save M. Dagun dalam karyanya Pengantar Filsafat Ekonomi, sedangkan Filsafat Desain dan Supervisi dikaji oleh Ir. Hamid Shahab dalam bukunya Filosofi Desain & Supervisi. Demikian pula Filsafat Administrasi yang dikaji hanya oleh Sondang P. Siagian dalam buku Filsafat Administrasi. 

Filsafat Barat Paska-modern juga sempat mampir di Indonesia, yang dikaji oleh Budi Hardiman F. dalam karyanya Melampaui Positivisme dan Modernitas, Onno W. Purbo dalam karyanya Filsafat Naif Dunia Cyber, dan Ridwan Makassary dalam karyanya Kematian Manusia Modern.

Yang cukup menarik untuk dibahas disini ialah Filsafat Barat yang diadaptasikan dengan situasi kongkrit Indonesia, yang saya namakan ‘Filsafat Barat-Indonesia’ atau ‘Adaptasionisme Barat’. Cabang filsafat ini merupakan genre filosofis yang corak Baratnya telah sejauh mungkin dirubah, untuk disesuaikan dengan situasi historis kongkrit di Indonesia. Tokoh-tokoh dari cabang filsafat ini antara lain ialah Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, dan S.C. Utami Munandar. Tan Malaka mengkaji ‘teori gerilya’ dari Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengkaji komunitas Proletar dari Filsafat Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno tentang Marhaen. Adaptasionisme juga dilakukan Moh. Hatta, ketika ia berbicara tentang demokrasi Barat modern untuk diterapkan dalam situasi kongkrit Indonesia dalam bukunya Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran dan dalam kumpulan tulisannya yang diterbitkan Tim LP3ES dengan judul Karya Lengkap Bung Hatta. Juga pengkajian demokrasi Barat yang diterapkan Sjahrir dalam situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Pemikiran Politik Sjahrir. Filsafat Feminisme yang diterapkan dalam mengkaji kaum wanita Indonesia dilakukan oleh Soekarno dalam bukunya Sarinah: Keajaiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, Kris Budiman dalam bukunya Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender, S.C. Utami Munandar dalam bukunya Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia dan Toety Heraty dalam bukunya Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki. M. Dawam Rahardjo mengkaji ‘Teori Ketergantungan Dunia Ketiga’ untuk diterapkan dalam mengkaji Ekonomi Indonesia dalam bukunya Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Sedangkan Sri-Edi Swasono mengkaji pemikiran adaptasionisme Hatta dalam bukunya Demokrasi Ekonomi: Keterkaitan Usaha Partisipasi v.s.Konsentrasi Ekonomi dan Satu Abad Bung Hatta. 

Filsafat Islam
‘Filsafat Islam’ adalah filsafat yang lahir di wilayah kuasa Islam dan diproduksi oleh komunitas religius Islam yang menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’ dan ‘Filsafat Timur’, ‘Filsafat Islam’ juga merupakan salah satu cabang yang sering dikaji dan yang paling dikuasai oleh filosof Indonesia, apalagi saat ini komunitas Islam di Indonesia menempati posisi sebagai mayoritas. ‘Filsafat Islam’ kini dapat dipecah ke dalam banyak cabang, seperti Filsafat Sufisme, Filsafat Pendidikan, Filsafat Kebudayaan, Filsafat Hukum, Filsafat Politik, Filsafat Epistemologi, dan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme). Pembagian Filsafat Islam dalam kategori regional juga cukup menarik, seperti ‘Filsafat Islam Arab’ dan ‘Filsafat Islam Persia’, karena kedua cabang itu, walaupun sama-sama bersifat ‘Islam’ tapi keduanya memiliki corak yang berbeda. Bahkan, kini juga dapat dibangun ‘Filsafat Islam Indonesia’, karena problem filosofis yang dihadapi dalam situasi historis kongkrit oleh filosof Islam di Indonesia berbeda dengan yang dihadapi oleh filosof Islam di Arab atau di Persia. 

Filsafat Sufisme dikaji oleh Alwi Shihab dalam karyanya Islam Sufistik, K. Permadi dalam bukunya Pengantar Ilmu Tasawwuf, M. Solichin dalam karyanya Kamus Tasawuf, Sukardi Kd. dalam bukunya Salat dalam Perspektif Sufi, Meison Amir Siregar dalam karyanya Rumi: Cinta dan Tasawuf dan oleh Asep Salahuddin dalam karyanya Ziarah Sufistik. 

Filsafat Pendidikan Islam dikaji oleh Hamdani Ihsan dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam, Abdurrahman S. Abdullah dalam bukunya Teori Pendidikan menurut Al-Quran, H.M. Arifin dalam Filsafat Pendidikan Islam, Zuhairini dalam Filsafat Pendidikan Islam, Jalaluddin & Usman Said dalam Filsafat Pendidikan Islam, dan oleh Imam Barnadib dalam karyanya Filsafat Pendidikan Islam. Sedangkan Filsafat Kebudayaan Islam dikaji oleh satu-satunya pengkaji, yakni, Musa Asya’arie dalam bukunya Filsafat Islam: Tentang Kebudayaan.

Filsafat Hukum Islam dikaji oleh Zaini Dahlan dalam karyanya Filsafat Hukum Islam, Ishak Farid dalam Ibadah Haji dalam Filsafat Hukum Islam, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Falsafah Hukum Islam, dan oleh Ismail Muhammad Syah dalam karyanya Filsafat Hukum Islam. Sedangkan Filsafat Politik Islam dikaji oleh A. Munawwir Sadzali dalam karyanya yang monumental Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran dan Kamaruzzaman dalam buku Relasi Islam dan Negara.

Teori pengetahuan dari mazhab Islam dikaji oleh Imam Syafi’i dalam karyanya Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Al-Quran dan oleh Mohammad Miska Amien dalam bukunya Epistemologi Islam. Sedangkan Filsafat Pembebasan (Liberasionisme) dikaji oleh Muh. Hanif Dhakiri dalam dua bukunya Islam dan Pembebasan dan Paulo Freire, Islam dan Pembebasan. Juga oleh Fachrizal A. Halim dalam karyanya Beragama dalam Belenggu Kapitalisme.

Karya-karya pengantar Filsafat Islam juga banyak ditulis oleh filosof Islam Indonesia seperti oleh Abdul Aziz Dahlan dengan judul Pemikiran Falsafi dalam Islam, Soedarsono dalam karyanya Filsafat Islam, Oemar Amin Hoesin dalam dua bukunya yang amat klasik Filsafat Islam dan Filsafat Islam: Sedjarah dan Perkembangannya dalam Dunia Internasional, H. Musa Asya’arie dalam karyanya Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, dan oleh J.W.M. Bakker dalam karyanya yang klasik Pengantar Filsafat Islam.

Filsafat Islam Regional seperti ‘Filsafat Arab Klasik’, misalnya, dikaji oleh Harun Nasution dalam karyanya Teologi Islam, Hasan Asari dalam bukunya Nukilan Pemikiran Islam Klasik, dan oleh Ilhamuddin dalam buku Pemikiran Kalam Baqillani. ‘Filsafat Arab Modern’ dikaji, umpamanya, oleh H.A. Mukti Ali dalam bukunya Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, A. Munir dalam bukunya Aliran Modern dalam Islam, H.A. Mukti Ali dalam buku Islam dan Sekularisme di Turki Modern dan oleh Harun Nasution dalam karyanya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. ‘Filsafat Islam Persia’ juga banyak yang mengkaji, terutama setelah Syi’isme disebarluas oleh cendekiawan Syi’ah Indonesia seperti Jalaluddin Rachmat dan Haidar Bagir. Amroeni Drajat mengkaji Filsafat Yahya Al-Suhrawardi dalam karyanya Filsafat Illuminasi: Sebuah Kajian terhadap Konsep ‘Cahaya’ Suhrawardi. 

Suatu ‘Filsafat Islam Regional’ lainnya, seperti ‘Filsafat Islam Indonesia’, sudah banyak yang membahas, terutama mengenai mazhab-mazhab seperti ‘Tradisionalisme’, ‘Modernisme’, ‘Revivalisme’, ‘Neo-modernisme’, ‘’Transformasionisme’, ‘Liberalisme’, dan ‘Perenialisme’, sehingga tak perlu dibahas lagi di sini. Hanya saja, ada kecenderungan baru saat ini yang penulis namakan ‘sesatisme’ atau ‘murtadisme’, yang mulai menyuarakan pandangan-pandangan mereka dalam buku-buku tebal yang dipublikasikan secara luas. Walaupun belum layak dianggap sebagai suatu mazhab filsafat, pandangan mereka mulai diterima luas oleh masyarakat Islam Indonesia. Pendasaran argumentasi mereka pada terjemahan Al-Quran berbahasa Indonesia atau ‘terjemahan sewenang-wenang’ mereka sendiri atas ayat Al-Quran—ini keunikan tersendiri dari mereka, yang sekaligus juga merupakan bukti ketololan mereka akan tata-bahasa bahasa Arab—cukup membuktikan bahwa mereka memiliki sandaran filosofis yang jelas. Yang mereka pegang bukanlah Al-Quran, tapi terjemahannya atau ‘tafsir bebas’ nya. Dan terjemah atau ‘tafsir bebas’ adalah sejenis filsafat. Hartono Ahmad Jaiz dapat dimasukkan dalam mazhab ini. Dalam bukunya Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jaiz mengritik sebagai ‘sesat’ beberapa mazhab ‘Filsafat Islam’ yang pernah ada sebelumnya, yakni, mazhab-mazhab ‘Liberalisme’, ‘Modernisme’ dan ‘Neo-modernisme’. Bukunya yang lain Ada Pemurtadan di IAIN, mengritik beberapa dosen UIN/IAIN yang bercorak liberal, modern, dan neo-modern. 

Filsafat Kristen
Seperti Filsafat Islam, Filsafat Kristen (Christian Philosophy) adalah filsafat yang lahir di wilayah kuasa Kristen dan diproduksi oleh komunitas religius Kristen yang menetap di wilayah itu. Selain ‘Filsafat Barat’, ‘Filsafat Kristen’ juga merupakan bidang yang amat dikuasai oleh filosof-filosof Kristen Indonesia. ‘Filsafat Kristen’ terbagi dalam beberapa cabang: ‘Filsafat Kristen Awal’, ‘Filsafat Kristen Helenistik’, ‘Filsafat Kristen Pertengahan’ (yang disebut pula dengan sebutan ‘Filsafat Skolastik’), ‘Filsafat Kristen Renaisans dan Reformasi’, dan ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’. Di samping pembagian itu, ‘Filsafat Kristen’ pun dapat dikaji secara regional, seperti ‘Filsafat Kristen Jerman’, ‘Filsafat Kristen Amerika’, ‘Filsafat Kristen Amerika Latin’, ‘Filsafat Kristen Filipina’, bahkan ‘Filsafat Kristen Indonesia’, karena situasi kongkrit yang harus diresponi umat Kristen di negara-negara itu tidak mesti sama.

‘Filsafat Kristen Awal’, dikaji oleh Nico Syukur Dister dalam karyanya Filsafat Agama Kristiani: Mempertanggungjawabkan Iman akan Wahyu Allah dalam Yesus Kristus. ‘Filsafat Skolastik’, sejak Santo Anselmus hingga Santo Thomas Aquinas, telah dikaji oleh A. Hanafi dalam bukunya Filsafat Skolastik. ‘Filsafat Kristen Modern dan Kontemporer’, misalnya, dikaji oleh Thomas Hidya Tjaya dalam bukunya Kosmos: Tanda Keagungan Allah, Refleksi menurut Louis Bouyer. 

Yang tak kalah menariknya ialah ‘Filsafat Kristen Indonesia’, yakni sistem filsafat yang diadaptasikan dengan situasi riel yang dialami filosof Kristen di Indonesia. ‘Filsafat Kristen Indonesia’ dapat dibagi dalam 4 cabang seperti ‘Transformasionisme’, ‘Pribumisme’, ‘Liberasionisme’, dan ‘Feminisme’. ‘Transformasionisme’ dikaji oleh JB. Banawiratma dalam karyanya 10 Agenda Pastoral Transformatif, HAM, dan Lingkungan Hidup. Sedangkan ‘Pribumisme’ dikaji oleh Robert J. Hardawiryana dalam bukunya Cara Baru Menggereja di Indonesia: Umat Kristen Mempribumi. ‘Liberasionisme’ cukup banyak yang mengkaji sejak era Soeharto, seperti yang dilakukan oleh J.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno, Wahono Nitiprawiro, J.B. Banawiratma, A. Suryawasita, I. Suharyo, C. Putranta, R. Hardawiryana, AL. Purwahadiwardaya, TH. Sumartana, Greg Soetomo, dan Budi Purnomo. Sedangkan ‘Feminisme’ dikaji secara Kristiani oleh Smita Notosusanto, seperti kajiannya dalam buku Perempuan dan Pemberdayaan dan St. Darmawijaya dalam bukunya Perempuan dalam Perjanjian Lama. 

Filsafat Paska-Soehartoisme
‘Filsafat Paska-Soehartoisme’ berarti filsafat yang lahir untuk mengritik paham dan praxis Soehartoisme modernisasi yang dianut Soeharto ‘si Bapak Pembangunan’ itu dan hendak menghapus segala residu-residunya dengan cara menggantinya dengan paham alternatif. Kritik terhadap Soehartoisme sudah mulai merebak sejak dasawarsa 1970-an dari kampus ITB Bandung (1973) dan Peristiwa Malari di Jakarta (1974), tapi semua kritikan itu tidak didengar. Sejak dasawarsa 1990-an menjelang lengser Soeharto, kembali kritikan dilancarkan oleh beberapa filsuf baru. Merekalah cikal-bakal tokoh filsafat yang kemudian dinamakan filsafat paska-Soeharto. Yang termasuk pelopor filsafat ini ialah Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan, Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang. Sri-Bintang Pamungkas mengritik Soehartoisme dalam karyanya Sri Bintang: ‘Saya Musuh Politik Soeharto’, Dari Orde Baru ke Indonesian Baru Lewat Reformasi Total, Dari Orde Baru ke Indonesia Baru, dan Dibalik Jeruji: Menggugat Dakwaan Subversif. Sedangkan Budiman Sudjatmiko mengritik Soehartoisme lewat pidato resmi partainya PRD. Muchtar Pakpahan mengritik Soehartoisme lewat bukunya Menarik Pelajaran dari Kedung Ombo (1990), Menuju Perubahan Sistem Politik (1994), DPR RI Semasa Orde Baru (1994), dan Rakyat Menggugat (1996). Filsafat paska-Soehartoisme yang dianut Pius Lustrilanang dikaji oleh Sihol Siagian dalam karyanya Menolak Bungkam: Pius Lustrilanang. 

Setelah Soeharto lengser, rupanya Soehartoisme tidak bersama-sama tumbang. Soehartoisme masih bertahan, beradaptasi dengan situasi Indonesia baru, bahkan hingga saat ini. Soehartoisme tetap bertahan, yang terjadi hanyalah perbaikan-perbaikan tambal-sulam yang kerap disebut ‘Reformasi’, yang dilakukan eksponen-eksponen Soehartoist yang masih selamat dari kritik rakyat. Hal itulah yang menggelisahkan Sri-Edi Swasono, kakak kandung dari Sri-Bintang, sehingga ia khawatir bahwa yang terjadi malah ‘deformasi’ (pembekuan), bukannya perubahan keadaan umum Indonesia yang signifikan. Kekhawatiran itu diungkap dalam karyanya Dari Daulat Tuanku ke Daulat Rakyat dan Dari Lengser ke Lengser. 

3. Isme-Isme dalam Filsafat Indonesia
Sebelum menentukan isme-isme apa saja yang dapat dibuat dalam semesta Filsafat Indonesia, alangkah baiknya jika mengkaji lebih dulu tentang bagaimana suatu isme dalam filsafat dibuat. Ada 2 cara membuat kategori isme yang selama ini dipakai peneliti filsafat: (1) isme dibuat dengan cara menyebut nama seorang filosof tertentu yang darinya suatu isme dapat dibangun, seperti Marxisme, Leninisme, Maoisme, Platonisme, Konfusianisme, Aristotelianisme, Phytagoreanisme, dan lain-lain; lalu, (2) isme dibuat dengan cara menyebut ajaran atau doktrin terpenting yang ditemukan dari teks-teks filosof tertentu. Misalnya, dalam teks-teks Plato rupanya ditemukan doktrin sangat penting tentang idea, sehingga peneliti filsafat menyebut ajaran Plato yang amat penting itu dengan sebutan idealism. Begitu pula dengan ajaran penting Hegel tentang Idea yang darinya berasal sebutan idealism. 

Perbedaan kedua cara penyebutan isme itu sangat berpengaruh pada fondasi filsafat yang dibangun. Jika disebut ‘Platonisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal dari teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) Plato selama hidupnya. Tapi jika disebut ‘idealisme’, maka landasan filsafat yang dibangun berasal dari teks-teks atau praktek-praktek (tertulis ataupun disaksikan) beberapa filosof, baik itu Plato, Hegel, McTaggart, atau Iqbal asalkan kesemuanya memiliki ajaran penting tentang idea.

Apakah penyebutan isme-isme dalam struktur Filsafat Barat dapat diterapkan pada struktur Filsafat Indonesia? Ada 2 kemungkinan. Pertama, jika teks-teks Filsafat Indonesia memang menyebutkan sumber-sumber filosofis dari filosof Barat seperti Marx, Hegel, atau Plato, maka bisa saja menyebut filosof Indonesia yang menganut mereka sebagai filosof Indonesia yang ‘Marxist’, ‘Hegelianist’, atau ‘Platonist’. Tan Malaka dan D.N. Aidit, karena itu, dapat disebut sebagai filosof Marxist. Kedua, jika teks-teks Filsafat Indonesia mengajarkan suatu doktrin penting tentang idea, misalnya, maka layaklah disebut sebagai ‘idealist’. Maka, Syahrir dapatlah disebut ‘sosialist’, Soekarno ‘nasionalist’, dan Soepomo ‘sosialist-nasional’, karena ketiganya membahas dengan panjang-lebar dalam karya-karya mereka berturut-turut tentang sosialisme, natie, dan fasisme Jerman. Tapi, pada galibnya, filosof-filosof Indonesia memiliki doktrin-doktrin khas, yang berbeda dari yang biasa ditemukan dalam teks-teks Filsafat Barat. Jadi, peneliti filsafat boleh saja meminjam kategorisasi isme Barat atau boleh pula membuat kategorisasinya sendiri, sesuai dengan tema-tema yang diangkat oleh seorang filosof di negaranya.

Kedua cara pembuatan isme tadi akan kita terapkan pada struktur Filsafat Indonesia. Cara 1 penulis terapkan ketika membuat isme-isme seperti Soekarnoisme dan Soehartoisme. Cara 2 penulis terapkan ketika membuat isme-isme seperti ‘lamaisme’, ‘sintesisme’, ‘adaptasionisme’, ‘baruisme’, ‘terpimpinisme’, ‘pembangunanisme’, dan ‘paska-pembangunanisme’. Untuk maksud pengantar, disini akan dibahas sedikit tentang isme-isme dalam Filsafat Indonesia. 

Sintesisme
Sintesisme berakar dari kata ‘sintesa’ (synthesis), yang berarti menggabungkan bagian-bagian atau unsur-unsur yang berbeda untuk membuat satuan yang kompleks. Artinya, suatu filsafat digabungkan dengan filsafat lainnya untuk membentuk struktur filsafat yang baru. Biasanya, filsafat-filsafat yang dicampur-baur itu berlawanan sifatnya, berbeda isinya, kontras nuansanya. Memang ada beberapa titik-temu di antara filsafat-filsafat yang berbeda itu, tapi lebih banyak ‘titik-pisah’nya. Tapi justru ‘titik-pisah’ itu, jika dicampur-baur dengan ‘titik-pisah’ yang lain, akan melahirkan satuan yang kompleks. Contoh sintesisme yang paling populer di mata sejarawan filsafat ialah apa yang dilakukan Mpu Prapanca (1335-1380), seorang filosof yang hidup di masa pemerintahan Kertanegara (1268-1292) dari Dinasti Singhasari. Mpu Prapanca menulis buku berjudul Negarakertagama, berisi epik filosofis yang ditulis dengan gaya puitik berbahasa Jawa Kuno, yang memadukan filsafat Siwaisme-Hindu dengan Buddhisme. Cara yang sama juga ditempuh oleh Mpu Tantular, seorang filosof yang hidup di masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yang menulis buku Sutasoma, di dalamnya ia berhasil memadukan filsafat Buddhisme dengan Syiwaisme-Hindu.

Perpaduan dua filsafat India yang amat berbeda itu Buddhisme justru lahir di India sebagai reaksi negatif terhadap Hinduisme oleh filosof-filosof Indonesia melahirkan corak filsafat yang baru, yang terkenal sebagai filsafat Tantrayana. 

Soekarno, seorang pendiri Republik kita, juga seorang sintesist. Dia mencoba menyintesa tiga aliran filsafat yang amat bertolak-belakang: Nasionalisme, Agama (Islam, Kristen, Hinduisme dan Buddhisme), dan Komunisme (NASAKOM), tapi gagal di tengah perjuangannya. Nurcholish Madjid, seorang filosof Islam, juga seorang sintesist. Beliau mencoba menyintesa tiga aliran filsafat yang berbeda: Islam, Nasionalisme (Keindonesiaan), dan Barat Modern (Kemodernan) dalam karyanya Islam, Keindonesiaan, dan Kemodernan, untuk mendobrak tradisi Filsafat Islam Masyumi dan mendukung Soehartoisme. Berbeda dengan Soekarno, Nurcholish sangat berhasil, karena amat didukung penguasa saat itu. 

Adaptasionisme 
Adaptasionisme berakar dari kata ‘adaptasi’ (adaptation), yang berarti menyesuaikan sesuatu untuk situasi atau kegunaan yang baru. Artinya, suatu filsafat diubah sedemikian rupa, sehingga menjadi sesuai dengan situasi Iindonesia dan dapat digunakan dalam konteks Indonesia. Biasanya, yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia adalah filsafat-filsafat asing, bukan filsafat asli Indonesia sendiri. Filosof yang tergolong isme ini umumnya berasumsi bahwa segala produksi filsafat bersifat lokal, regional, dan partikular; tidak ada filsafat yang universall secara absolut. Karena itu pula, kebenaran filsafat tidak pernah universal-absolut. Menurut logika mereka, misalnya, Marxisme yang lahir dari sejarah lokal Barat tidak bisa diterapkan atau dicangkok begitu saja pada sejarah kongkrit Indonesia, karena kedua area itu memiliki struktur budaya dan peradaban yang berbeda. Marxisme yang hendak dibangun akar-akarnya di Indonesia harus diubah sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan alam Indonesia. 

Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Soekarno, Toety Heraty, Mohammad Hatta, M. Dawam Rahardjo, Sri-Edi Swasono, Kris Budiman, S.C. Utami Munandar, D.N. Aidit, dan lain-lain adalah contoh dari filosof adaptasionist yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi kongkrit Indonesia. Ki Hajar terkenal dengan ‘prinsip nasi goreng’nya. Nasi goreng adalah makanan asli tradisional yang biasanya digoreng dengan minyak kelapa. Namun, jika margarin yang berasal dari Belanda dapat membuat nasi goreng itu bertambah enak, maka tak ada alasan seseorang harus menolak penggunaan margarin itu, selama yang menggorengnya ialah orang Indonesia sendiri. Artinya, jika ‘margarin Belanda’ (Filsafat Barat) diadaptasikan dengan ‘nasi goreng’ (situasi kongkrit Indonesia), maka ‘margarin’ itu akan menambah sedapnya ‘nasi goreng’. Sedangkan Tan Malaka, dia mengadaptasikan ‘teori gerilya’ Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia dalam karyanya Gerpolek (Gerilya Politik-Ekonomi). Soekarno mengadaptasikan konsep ‘proletar’ dari Komunisme untuk diterapkan pada situasi kongkrit Indonesia, sebagaimana terlihat dalam tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh Penerbit Grasindo dengan judul Bung Karno tentang Marhaen. 

Adaptasionisme juga dilakukan oleh tokoh-tokoh Filsafat Islam, seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Zainuddin Labai Al-Junusi, Kiyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain, yang mengadaptasikan Filsafat Barat ke dalam situasi Islam di Indonesia. Zainuddin Labai dan Mohammad Natsir, misalnya, mengadaptasi konsep nasionalisme Barat ke dalam situasi Islam Indonesia via buku-buku Musthafa Kamil Pasha (1874-1908). Datuk Batuah dan Natar Zainuddin dari Padang Panjang, Haji Misbach dari Surakarta, Semaun, Alimin Prawirodirdjo dan Darsono dari Semarang mengadaptasikan Komunisme Barat ke dalam pandangan-dunia Al-Quran. Begitu pula dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang mengadaptasikan Sosialisme Barat ke dalam situasi Islam Indonesia, sehingga menghasilkan karya Islam dan Sosialisme.

Lamaisme 
Isme ini bertolak dari pandangan, bahwa segala tradisi lama, tradisi primordial, dan tradisi asli Indonesia adalah tradisi yang harus dilestarikan, sebab dalam tradisi itulah terletak asal dan tujuan keberadaan manusia Indonesia, alpha dan omega kehidupan manusia Indonesia, sangkan dan paran dari penciptaan manusia Indonesia. Dalam pandangan filosof yang menganut isme ini, tidak ada konsep ‘baru’; tidak ada ‘yang baru’ yang dapat membatalkan ‘yang lama’. ‘Yang lama’ ialah ‘yang tetap’ absolut. Konsep waktu dan ruang historis tidak berlaku bagi isme ini, sebab ‘yang lama’ terjadi selama-lamanya, abadi, dan tidak berubah. Segala perubahan merupakan pemberontakan terhadap ‘yang lama’, dan karena itu amat ditentang oleh penganut isme ini. Semua filosof etnik Indonesia (seperti M. Nasroen, Sunoto, R. Pramono Jakob Sumardjo, P.J. Zoetmulder, Soewardi Endraswara, Woro Aryandini, dan lain-lain) dapat dikatakan masuk dalam isme ini, sebab mereka semua menganggap bahwa pandangan filosofis lama yang dimiliki etnis-etnis asli Indonesia tetap baik, tetap relevan, tetap harus diterapkan pada situasi modern, tetap harus diwariskan ke generasi baru sebagai ‘penjaga’ identitas. Lamaisme menjadi trend kembali di era Orde Baru, karena filosof lamaist menemukan borok-borok modernisasi Barat sekuler yang diusulkan filosof baruist. Semua filosof agama, baik dari Islam, Katolik, Protestantisme, Buddhisme, Hinduisme, dan Konfusianisme, yang menolak pembaruan (religious reforms) dalam dogmatika tradisionalnya juga dapat masuk dalam kelompok lamaisme ini. 

Baruisme
Isme ini adalah lawan dari lamaisme. Apa yang hendak dilestarikan oleh lamaisme akan diserang dan dibatalkan oleh baruisme, karena ia bertolak pada anggapan bahwa segala tradisi lama adalah tradisi yang tidak membawa kepada kemajuan, tradisi usang yang tidak lagi relevan dengan zaman yang terus berubah, atau tradisi dekaden yang apabila tetap dilestarikan akan membuat Indonesia tidak pernah maju. Isme ini sangat anti dengan filsafat etnik asli, karena, dalam logika tokoh-tokohnya, filsafat etnik masih melestarikan feudalisme dan sukuisme yang justru dianggap sebagai musuh kebudayaan baru Indonesia. Tokoh-tokoh baruisme, misalnya, adalah Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, sastrawan Indonesia Angkatan ’45, dan lain-lain. 

Tan Malaka, dalam bukunya Massa Actie, amat mencela tradisi lama dan mengusulkan tradisi baru yang diambil dari tradisi Barat. Begitu pula halnya dengan Sutan Takdir. Sejak polemiknya yang terkenal di era 1930-an dengan Ki Hajar Dewantara hingga tulisan-tulisannya sampai beliau wafat, Sutan Takdir secara konsisten mengutuk tradisi lama dan mengusulkan tradisi baru Barat sebagai gantinya. Sastrawan Angkatan ’45 juga pernah mempublikasikan suatu ‘manifesto budaya’, terkenal dengan nama Surat Kepercayaan Gelanggang, yang isinya menolak untuk ‘…melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,…’, sebab, ‘Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan.’ Nurcholish Madjid mengutuk tradisi lama dari Filsafat Islam di Indonesia (Masyumisme) yang lebih mementingkan ‘cara’ daripada ‘tujuan’ atau lebih mementingkan ‘kulit’ daripada ‘isi’, yang amat jelas terlihat dalam apologi Negara Islam. Nurcholish, lantas, mengusulkan desakralisasi atau sekularisasi, yang pada intinya merupakan pemutusan langsung (direct shift) dan penolakan tegas untuk melestarikan Masyumisme kuno. Sebagai gantinya, Nurcholish menciptakan prinsip baru yang amat revolusioner di era 1970-an, Islam, Yes! Partai Islam, No!

Terpimpinisme
Disebut ‘terpimpinisme’ karena konsep ‘keterpimpinan’ menjadi pusat wacana. Terpimpinisme bertolak dari pandangan bahwa rakyat Indonesia masih membutuhkan figur seorang pemimpin yang dapat mendidik mereka, melindungi mereka, menunjuki mereka, dan memandu mereka untuk menuju kemajuan. Terpimpinisme sama dengan paternalisme, dalam artian, bahwa paternalisme menganggap penting keberadaan seorang ‘bapak bangsa’ (pater) yang mendidik, membina, menunjuki, memandu, dan memimpin rakyat sebagai ‘anak-anak kecil’ nya. 

Contoh dari konsep ‘keterpimpinan’ yang amat terkenal dalam sejarah Filsafat Indonesia ialah konsep ‘keterpimpinan’ yang dapat dijumpai dalam sebagian besar tulisan dan praktek Soekarno, salah seorang pendiri RI kita, yang disini dinamakan ‘Soekarnoisme’. Soekarnoisme segala tulisan dan praktek Soekarno mengajarkan dua jenis ‘keterpimpinan’: ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’. ‘Demokrasi Terpimpin’ ialah sejenis praktek demokrasi yang dilakukan dengan cara dipimpin oleh seorang sesepuh istilah Soekarno yang dapat membimbing, menunjuki, dan memandu rakyat menuju keadilan sosial-politik. Sedangkan ‘Ekonomi Terpimpin’ ialah sejenis praktek ekonomi-politik yang dilakukan dengan cara dipimpin oleh lagi-lagi seorang sesepuh yang dapat membimbing dan mengantarkan rakyat Indonesia menuju keadilan sosial-ekonomis. Dua ‘keterpimpinan’ itu akan berhasil, jika dipimpin oleh seorang sesepuh luar-biasa, dewa yang lahir di abad modern, yang dipuja rakyat sebagai teladan rakyat. Sayang sekali, terpimpinisme jenis ini gampang sekali dituduh sebagai otoritarianisme terselubung, dan itu terbukti dengan praktek pengangkatan Soekarno sebagai ‘presiden seumur hidup’. 

Soeharto dapat pula dimasukkan ke dalam filosof terpimpinist ini. Paternalisme Soeharto mengajarkan keharusan adanya seorang bapak yang dapat memandu dan mengantarkan rakyat kepada kemajuan; bapak yang sangat melindungi rakyatnya tapi juga sangat tuli dengan suara rakyatnya, karena suara rakyat hanya suara ‘anak kecil’ yang harus terus dibimbing. Soeharto pun mendapat julukan ‘Bapak Pembangunan’, karena ia memandu rakyatnya menuju kemajuan seperti layaknya seorang bapak terhadap anak-anak. 

Pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas ‘Terpimpinisme Soekarno’disebut pula sebagai ‘Soekarnoisme’yang dianggap gagal membawa Indonesia menuju kemajuan. Isme ini amat bertolak-belakang dengan Soekarnoisme, dalam artian, bahwa ia tidak lagi meneruskan paham Soekarno tentang ‘revolusi’, ‘Manipol USDEK’, ‘setan Nekolim’, ‘politik sebagai panglima’, ‘Demokrasi Terpimpin’ dan ‘Ekonomi Terpimpin’, tapi menggantinya dengan pandangan ‘ekonomi sebagai panglima’, ‘stabilitas demi pembangunan, ‘akselerasi pembangunan’, ‘pembangunan jangka-panjang’, ‘globalisasi ekonomi’, dan ‘globalisasi kapital’. 

Isme ini bertolak pada asumsi, bahwa ‘politik revolusi’ sudah tidak relevan lagi, karena bukan menghasilkan kemajuan tapi malah menyengsarakan rakyat. Isme ini menawarkan ‘politik pembangunan’ sebagai solusinya, dengan penekanan bahwa dengan pembangunanlah Indonesia akan berhasil maju. 

Paska-pembangunanisme
Isme ini lahir sebagai reaksi atas kegagalan ‘Pembangunanisme Soeharto’ yang dapat disebut pula ‘Soehartoisme’ dalam membawa rakyat menuju kesejahteraan dan kemakmuran, sesuai dengan yang dicita-citakan UUD 1945. 

4. Periodisasi Filsafat Indonesia
Periodisasi yang biasa dilakukan oleh sejarawan filsafat Barat ialah Periode Klasik, Periode Pertengahan, Periode Modern, dan Periode Kontemporer. Sedangkan sejarawan filsafat Cina membagi Filsafat Cina dalam periode-periode seperti Periode Klasik, Periode Pertengahan, dan Periode Modern. Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah sejarawan filsafat Indonesia juga harus mengikuti pembagian periode seperti itu? Jika memang harus mengikuti periodisasi Barat dan Cina itu, kapankah periode Klasik dari Filsafat Indonesia itu? Bisa saja dikatakan bahwa periode Klasik dari Filsafat Indonesia adalah periode yang dihitung sejak era neolitik (sekitar 3500-2500 SM) hingga awal abad 19 M, lalu periode Modern sejak awal abad 19 M hingga era Soeharto lengser, dan periode Kontemporer sejak Soeharto lengser hingga detik ini (2005).

Sekilas nampaknya periodisasi tadi tidak problematik, tapi jika ditelaah lebih dalam mengandung banyak persoalan. Persoalan-persoalan yang muncul ialah seperti: perbedaan apakah yang paling signifikan antara Filsafat Indonesia pada era Klasik, era Modern, dan era Kontemporer itu? Apakah perbedaan periode itu didasarkan pada perbedaan point of concern (pusat perhatian) yang dikaji filosof di era tertentu? Apakah perbedaan antara ‘yang klasik’ dengan ‘yang modern’ hanyalah perbedaan antara ‘yang menolak’ dengan ‘yang menerima’ pengaruh Barat? Apakah perbedaan periode hanya sekadar penanda waktu, dari satu ‘titik pemberhentian’ ke ‘titik pemberhentian’ selanjutnya? Jika ya, apa yang membedakan ‘titik pemberhentian’ yang satu dengan ‘titik-titik’ yang lain? Apakah yang membedakan ‘yang klasik’ dan ‘yang modern’ hanyalah sekadar perpindahan tema filosofis (thematic shift)?

Banyaknya persoalan yang muncul dengan mengikuti periodisasi ala Barat dan Cina menunjukkan, bahwa model periodisasi seperti itu tidak tepat untuk sejarah Filsafat Indonesia. Harus dicari model periodisasi lain yang dapat memuat kurang-lebih segala filsafat yang pernah diproduksi sejak era neolitikum hingga sekarang. Di bawah ini akan diajukan 2 model periodisasi yang mungkin lebih cocok untuk penulisan sejarah Filsafat Indonesia.

Periodisasi Berdasarkan Interaksi Budaya
Periodisasi Filsafat Indonesia dapat dibuat berdasarkan datangnya budaya-budaya asing yang berinteraksi dengan budaya asli Indonesia, dengan cara membuat kronologi historis dan menyebutkan dari budaya dunia mana sumber filosofis itu berasal-mula. Dengan model ini, misalnya, dapat dikatakan bahwa Filsafat Indonesia dapat dipecah ke dalam periode-periode seperti periode Etnik, periode Cina, periode India, periode Persia, periode Arab, dan periode Barat. Periode Etnik dimulai ketika filsafat etnik asli Indonesia masih dipeluk dan dipraktekkan oleh orang Indonesia sebelum kedatangan filsafat asing. Sedangkan periode Cina, India, Persia, Arab, dan periode Barat dimulai ketika orang Indonesia mulai kemasukan filsafat dari sumber-sumber budaya asing Cina, India, Persia, Arab, dan Barat.

Filsafat Indonesia pada periode Etnik, misalnya, berisi mitologi filosofis, pepatah-petitih, peribahasa, hukum adat, dan segala yang asli dalam filsafat-filsafat etnik Indonesia. Filsafat Indonesia pada periode Cina mencakup Taoisme, Konfusianisme, Anti-konfusianisme, Sun Yat-Senisme, dan Maoisme. Filsafat Indonesia pada periode India mencakup Hinduisme, Buddhisme, Tantrayana, dan Hinduisme-Bali. Periode Persia mencakup Ibnu-‘arabisme dan Ghazalisme. Periode Arab mencakup Wahhabisme, dan periode Barat mencakup filsafat Nasionalisme, Sosialisme-Demokrat, Komunisme hingga Developmentalisme. Periode Kontemporer mencakup filsafat Pancasila, Liberasionisme, Transformatifisme, Pribumisme, Feminisme, New Agisme, Liberalisme hingga Paska-modernisme. 

Periodisasi Berdasarkan Kejadian Historis Penting
Periodisasi Filsafat Indonesia juga dapat dibuat berdasarkan kejadian-kejadian penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, seperti periode pra-Kemerdekaan, periode Kemerdekaan, periode Soekarno, periode Soeharto, dan periode paska-Soeharto. 

Yang termasuk dalam periode pra-Kemerdekaan ialah filsafat-filsafat mitologi etnik asli Indonesia, filsafat adat etnik Indonesia, filsafat Konfusianisme, filsafat Hinduisme dan Buddhisme, filsafat Tantrayana, filsafat Islam-Arab, filsafat Sufisme Persia, dan filsafat Pencerahan Barat. Sedangkan filsafat-filsafat yang masuk dalam periode Kemerdekaan ialah filsafat Modernisme Islam, filsafat Marxisme-Leninisme, filsafat Maoisme, filsafat Sosialisme Demokrat, dan filsafat Demokrasi. Sedangkan yang masuk dalam periode Soekarno ialah filsafat Revolusi, filsafat Sosialisme Indonesia, filsafat NASAKOM, dan filsafat neo-imperialisme. Periode Soeharto dimulai ketika filsafat Modenisasi dan Developmentalisme didewa-dewakan, kemudian filsafat Pancasila, filsafat Ekonomi Pancasila, filsafat Kebatinan, filsafat sekularisme yang sedang marak. Periode paska-Soeharto dimulai ketika kritik terhadap filsafat Developmentalisme marak dan filsuf mencari alternatif pada filsafat-filsafat lain seperti Liberasionisme, Transformatifisme, Reformisme, dan Revolusionisme. 

5. Metode Pengkajian Filsafat Indonesia
Metode itu ibarat ‘kacamata’ yang digunakan untuk memahami gejala atau realitas. Kegunaan metode dalam lapangan filsafat sungguh sangat besar. Filsafat adalah realitas yang terus bergerak abadi dan berseliweran di depan mata seorang filosof, karena sejarah (waktu dan ruang) terus berubah abadi. Hanya metodelah yang mampu membuat still photo dari realitas filsafat yang bergerak abadi itu.

Banyak sekali metode yang dapat digunakan untuk memahami gejala filsafat di Indonesia, mulai dari yang imported hingga yang dikembangkan sendiri di tanah-air. Di bawah ini hanya sekadar contoh dari beberapa metode pengkajian filsafat yang telah dilakukan oleh beberapa pengkaji Filsafat Indonesia.

Metode Survival Economy
Metode ini mengingatkan kita pada dikotomi superstructure-infrastructure dalam Marxisme. Marx pernah berpendapat bahwa produksi budaya (superstructure) mencakup agama, seni, dan filsafat berjalan bersamaan dengan jenis produksi ekonomis (infrastructure). Bahkan, infrastructurelah yang menentukan corak superstructure. Jika mode of production yang diterapkan ialah ‘feudalisme’, maka kebudayaan yang diproduksi bersamaan dengan itu ialah budaya feudalistik. Begitupula dengan mode of production kapitalisme, yang melahirkan budaya kapitalistik.

Metode sejenis ini dipakai oleh Jakob Sumardjo, baik dalam bukunya Mencari Sukma Indonesia dan Arkeologi Budaya Indonesia. Menurut Jakob, filsafat suatu masyarakat di Indonesia tergantung pada cara masyarakat itu bertahan hidup (survive); cara masyarakat itu memanfaatkan alam sekitarnya demi kelangsungan hidup komunalnya. Jika masyarakat itu dapat bertahan hidup dengan cara bersawah, maka filsafat yang diproduksi akan berhubungan dengan sawah (konsep kesuburan, konsep hari baik, konsep musim baik, konsep hidup sesuai alam, dll.). 

Berdasarkan jenis survival economy yang dianut suatu masyarakat, Jakob membagi Filsafat Indonesia ke dalam 4 jenis pola-pikir, yakni ‘pola-pikir masyarakat persawahan’, ‘pola-pikir masyarakat perladangan’, ‘pola-pikir masyarakat peramu-berburu’, dan ‘pola-pikir masyarakat pesisir-maritim’, dimana di antara 4 pola-pikir (filsafat) itu terdapat perbedaan yang amat besar. 

Metode Historis
Metode ini adalah metode yang paling kuno untuk mengkaji fenomena kemanusiaan, termasuk fenomena filsafat. Filsafat Indonesia pertama-tama ditaruh dalam bingkai sejarah, lalu diurai dalam suatu kronologi, kemudian dalam kronologi itu dimasukkan nama-nama tokoh Filsafat Indonesia. Setelah daftar nama memenuhi kronologi, dimulailah pencarian data-data historis yang mencakup biografi tokoh, karya-karya tokoh, peran-peran tokoh itu dalam sejarah filsafat, dan bisa pula ditambahkan data-data tentang peran historis tokoh itu dalam sejarah dunia atau dalam sejarah filsafat dunia. Metode ini telah digunakan, misalnya, oleh Ferry Hidayat dalam karyanya Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia. 

Titik-tolak Ferry ialah pandangan bahwa filsafat dimanapun dan kapanpun ia diproduksi merupakan produk sejarah, dan karena itu, maka konteks sejarah yang melingkari filsafat itu harus ditemukan jika filsafat hendak dipahami secara lebih baik. Filsafat Marxisme, misalnya, akan lebih baik dipahami jika ditemukan konteks historis yang melingkari produksi Marxisme itu: kondisi sosial apa yang menyebabkan Karl Marx membangun filsafat Komunisme? Masalah kongkrit apa di Jerman dan di Inggris yang menyebabkan Marx menulis Das Kapital? Realitas politik apa di era Marx dan Engels hidup yang mendorong mereka membangun classless society? Jika semua pertanyaan itu dapat ditemukan jawabannya lewat kajian historis, maka filsafat Marxisme dapat dipahami secara lebih dalam.

Metode Komparasi dan Kontras
Cara lain untuk mengkaji Filsafat Indonesia ialah dengan cara mencari perbedaan dan kesamaan di antara filsafat-filsafat sejagat yang ada, lalu perbedaannya ditunjukkan, sehingga nampak fitur distingtif dari Filsafat Indonesia. M. Nasroen menggunakan metode perbandingan dan kontras untuk menunjukkan segi-segi berbeda dari Filsafat Indonesia yang membedakannya dari filsafat-filsafat sejagat lainnya dalam karyanya Falsafah Indonesia. Ia membandingkan tradisi Filsafat Barat, Filsafat Timur, dan Filsafat Indonesia, lalu berkesimpulan bahwa Filsafat Indonesia amat berbeda dari dua filsafat lainnya karena mengajarkan ajaran-ajaran asli tentang mupakat, pantun-pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.

Metode Kritik Teks
Metode ini mengkaji Filsafat Indonesia langsung dari teks-teks filsafat yang diwariskan seorang filosof tertentu. Artinya, semua karya seorang filosof Indonesia dikumpulkan, lalu ditelaah secara seksama, diperhatikan konsep-konsep utamanya. Setelah selesai ditelaah, dibangunlah beberapa kesimpulan tentang teks itu, dan dari kesimpulan itu dibangunlah pengertian tentang struktur filsafat yang dibangun teks itu. Metode ini telah diterapkan P.J. Zoetmulder, Sunoto, R. Pramono, dan Jakob Sumardjo dalam karya-karya mereka. 

Metode Internalisasi
Metode ini dipakai oleh Sunoto dalam karyanya Menuju Filsafat Indonesia. Untuk memahami konsep-konsep kenegaraan Jawa Kuno, Sunoto mengunjungi candi-candi di Jawa, mengamati relik-relik candi untuk merenungi pesan cerita yang dipahatkan di atasnya, menghirup udara di sekitar candi, bersemadi di dalam area candi untuk merasakan auranya, mencoba memasukkan citra fisik dan citra metafisik dari candi itu ke dalam badan dan jiwanya, dan saat itu semua berhasil diinternalisir, Sunoto menghentikan semadinya dan kemudian membangun konsep-konsep subjektif tentang konsep kenegaraan Jawa darinya. 
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger