Manajemen Profesi Kependidikan

Manajemen Profesi Kependidikan 
Rasional 
Dalam pembahasan sebelumnya telah ditegaskan, bahwa tenaga kependidikan adalah meliputi baik guru, maupun non guru. Secara rinci yang termasuk tenaga kependidikan di sekolah adalah meliputi: guru, kepala sekolah, tenaga bimbingan, dan tenaga administrasi atau tata-usaha. Namun dalam buku ini pembahasan tentang tenaga kependidikan tersebut lebih ditekankan pada pengkajian jabatan guru sebagai suatu profesi, sehingga dalam pembahasan berikutnya nanti yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah guru. Tenaga kependidikan lainnya, seperti kepala sekolah (administrator pendidikan) dan tenaga pelayanan bimbingan akan dibahas sepintas saja. 

Alasan mengapa guru yang paling banyak disoroti dalam buku ini adalah, pertama, karena guru merupakan tenaga utama di suatu sekolah, mereka merupakan tenaga penggerak utama di sektor pendidikan dan paling dominan peranannya dalam mencapai keberhasilan tujuan pendidikan. Kedua, di samping sebagai penggerak utama di sektor pendidikan, jumlah mereka termasuk paling banyak di bandingkan dengan dengan tenaga kependidikan yang lainnya. 

Sebagai tenaga penggerak utama dalam bidang pendidikan dengan jumlah paling besar, yang diharapkan dapat memajukan dunia pendidikan, guru memiliki tugas-tugas kependidikan yang amat berat, walaupun mereka sering mendapatkan perlakuan yang kurang adil. Banyak guru yang terpaksa ditempatkan pada tempat (kantor) yang berdeak-desakan dan bekerja dengan peralatan yang pas-pasan. Mereka juga memperoleh penghasilan yang pas-pasan pula, pada hal dari sini mereka diharapkan dapat melaksanakan tugas pendidikan dengan baik. Belum lagi dengan tugas-tugas tambahan non mengajar, seperti kegiatan ko-kurikuler yang menyita banyak waktu guru, namun tanpa imbalan yang memadai. 

Tugas-tugas guru tersebut akan semakin terasa lebih berat dan kompleks apabila dihadapkan dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi dengan dukunan fasilitas yang minim dan dengan iklim kerja yang belum menyenangkan. 

Dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan yang dialami masyarakat, maka hal itu membawa konsekuensi serta persyaratan yang semakin berat dan semakin kompleks bagi pelaksana dalam sektor pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut membawa tuntutan baru bagi masyarakat; sedangkan masyarakat sendiri telah terbiasa menjadikan sekolah sebagai pintu gerbang dalam mengejar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Oleh karena itu wajarlah bila tuntutan terhadap sekolah dan peranan guru juga meningkat. Atau dengan perkataan lain, masyarakat semakin membutuhkan sekolah yang baik dengan guru-gurunya yang baik atau yang profesional. Masalahnya sekarang adalah bagaimanakah guru yang baik atau profesional itu ? Sebab selama ini dengan ketiadaan kreteria yang jelas tentang guru yang baik/profesional tersebut dapat menimbulkan bermacam-macam penafsiran mengenai hal tersebut. Untuk memperjelas hal tersebut berikut ini akan diuraikan engenai guru yang profesional tersebut.

A. Hakekat Guru Sebagai Profesi
Seperti dikemukakan di atas, bahwa pengertian guru yang baik atau yang profesional dapat menimbulkan banyak penafsiran. Di antara penafsiran tersebut antara lain ada yang menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang lebih ketat, ada yang menghendaki supervisi yang lebih efektif dan efisien, ada yang menghendaki adanya sistem penyiapan/pendidikan yang baik, ada yang menghendaki perlunya komitmen dan semangat kerja yang tinggi, dan ada pula yang mengutamakan perlunya kelengkapan sarana dan prasarana yang lebih memungkinan para guru menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka telah miliki sebelumnya. 

Untuk situasi dan kondisi tertentu, semua hal di atas mungkin sama-sama diperlukan. Lepas dari kenyataan, bahwa masalah disiplin kerja bukan sekedar masalah ketaatan akan peraturan yang secara ketat, tetapi mempunyai arti yang jauh lebih luas dan dalam dari itu. Dengan disiplin yang ketat cenderung untuk menjadikan manusia itu bertingkah laku secara rutin dan berrsifat mekanis, pada hal pekerjaan mengajar dan pendidikan lainnya yang harus dilakukan guru dan tenaga kependidikan memerlukan sifat-sifat kreatif, dinamis dan inovatif. Demikian pula dengan pengadaan berbagai bantuan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan kerja yang harmonis, menyenangkan dan nyaman, seperti pengadaan peralatan laboratorium, bahan-bahan pengajaran serta fasilitas lain yang dibutuhkan. Pada akhirnya dapat pula dikemukakan, bahwa dengan gedung yang mewah dan penuh peralatan pendidikan yang canggih, tetapi dihuni oleh guru-guru tanpa apresiasi, kreativitas, dinamika, motivasi, semangat, dedikasi serta kompetensi profesional, belumlah merupakan jaminan untuk berhasilnya pendidikan, dan bahkan mungkin sekali akan berakhir dengan frustrasi dan kekecewaan.

Selanjutnya, hakekat guru sebagai suatu profesi memiliki beberapa peran yang melekat pada profesinya tesebut. Hakekat guru sebagaimana dimaksudkan itu sebagaimana dikemukakan oleh Ditjen Dikti (2006) sebagai berikut: (1) guru adalah pendidik, (2) guru berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, (3) guru berperan sebagai fasilitatyor belajar bagi peserta didik, (4) guru turut bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar peserta didik, (5) guru menjadi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya, (6) guru bertanggung jawab secara profesional untuk terus menerus meningkatkan kemampuannya, dan (7) guru merupakan agen pembaharuan. 

Berdasarkan pada uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mencari jawaban apa dan siapa guru yang baik, profesional memerlukan suatu tinjauan yang luas serta melingkupi berbagai segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil guru yang bagaimana yang dikehendaki. Jawabnya adalah, bahwa guru yang baik, profesional adalah guru yang mampu menampilkan diri secara utuh sebagai pendidik. Untuk menjadi guru yang baik, bukanlah sekedar ia mau atau sekedar mengetahui sesuatu, akan tetapi ia harus dapat menampilkan diri secara utuh sebagai pendidik. Ian harus memiliki kompetensi tertentu yang berkaitan dengan tugas profesionalnya. Kompetensi tersebut meliputi: kompetensi pedagogik, personal/ kepribadian, profesional, dan sosial (UU No. 14/2005). Keempat kompetensi sebagaimana dimaksudkan oleh UU no. 14/2005 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kompetensi Pedagogik
Seorang guru adalah sekaligus sebagai pendidik. Oleh karena itu guru yang profesional harus memiliki bekal ilmu pengetahuan yang memadai dalam hal paedagogik atau ilmu pendidikan. Pada penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 

Dengan memiliki kompetensi paedagogik tersebut diharapkan guru akan dapat merancang dan melaksanakan segala aktivitas mengajarnya dari dimensi pendidikan. Kompetensi ini lebih menekan-kan pada pembentukan insan paripurna. Proses belajar-mengajar tidak hanya dilihat dari bertambahnya ilmu pada diri anak saja, tetapi bagi guru yang memahami ilmu pendidikan, melalui proses belajar-mengajar yang dilakukan juga harus mengandung aspek pendidikan. Di sini aspek-aspek moral dan akhlak yang mulia perlu dilekatkan pada bidang studi atau matapelajaran yang diajarkan. Dengan demikian siswa bukan saja pintar dalam bidang studi, tapi juga memiliki tanggung jawab moral yang melekat pada bidang studi yang dipelajari. Misalnya, ketika mengajarkan metematika, guru tidak hanya mengajar materi matematikanya saja, melainkan juga mendidik agar setelah pintar matematika tidak digunakan untuk hal-hal yang negatif, seperti menipu atau manipulasi penghitngan yang dipercayakan kepadanya. Demikian juga pada pelajaran-pelajaran lainnya, apabila gurunya telah profesional dan memahami masalah pendidikan, maka diharapkan anak didik akan dapat menjadi anak-anak yang di samping pandai dalam matapelajaran, juga bermoral yang baik. Masalah inilah yang selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar di sekolah-sekolah kita saat ini.

b. Kompetensi Kepribadian (Personal) 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Memiliki kompetensi personal, artinya memiliki sikap kepribadian yang mantap, jujur, adil dan penuh dedikasi, sehingga mampu menjadi sumber teladan bagi subyek didik. Jelasnya ia memiliki kepribadian yang patut diteladani, sehingga mampu melaksanakan kepemimpinan yang baik dalam kegiatan belajar-mengajar, seperti kepemimpinan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Orang yang memiliki kompetensi kepribadian yang baik akan dapat tahan menghadapi berbagai gangguan dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, otrang yang memiliki kompetensi kepribadian yang baik akan selalu dapat menerapkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) dengan baik dalam pembinaan siswanya.

c. Kompetensi Profesional 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Memiliki kompetensi profesional arinya ia memiliki pengetahuan yang luas, baik dalam kaitan dengan bidang studi/mata pelajaran yang akan diajarkan beserta penunjangnya, metodologi pengajarannnya, dapat mengevaluasi dan mengembangkan materi dengan baik. 

Secara rinci kemampuan tersebut dirumuskan ke dalam 10 kompetensi jabatan guru, yaitu meliputi : (1) menguasai bahan/bidang studi, (2) mengelola program belajar-mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media dan sumber belajar, (5) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola interaksi belajar-mengajar, (7) menilai prestas siswa untuk kepentingan pengajaran, (8) mengenal fungsi dan program Bimbingan Penyuluhan di sekolah, (9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. 

d. Kompetensi sosial 
Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Memiliki kompetensi sosiaol artinya ia menunjukkan kemampuan berkomunikasi sosial yang baik, memiliki seni pergaulan (the social arts) yang baik, baik pergaulan dengan murid-muridnya, maupun dengan sesama guru dan dengan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas. Di sini guru dituntut untuk dapat menerapkan “multiple intellegence” secara tepat. Dengan penerapan “multiple intellegence” secara tepat tersebut, maka guru akan dapat dengan mudah menyesuaikan dengan berbagai kondisi masyarakat yang dilayaninya. 

Dengan memiliki kompetensi sosial yang baik tersebut, maka akan dapat mendukung terjadinya hubungan yang baik antara guru dengan “stakeholders”- nya. Dengan adanya hubungan yang baik antara guru dengan “stakeholders” nya tersebut, maka keberadaan profesi guru akan dapat diterima secara luas oleh semua lapisan masyarakat, utamanya stakeholders pendidikan. Jika ini terjadi maka pengakuan terhadap profesi guru akan lebih meluas. Hal inilah yang dapat menguatkan keberadaan profesi guru di dalam masyarakat.

Apabila digambarkan, sosok utuh guru yang profesional tersebut dapat dilihat pada gambar nomor sebagai berikut:

Gambar  Gambaran sosok utuh guru yang profesional

Dalam upaya pelaksanaan profesionalisasi jabatan guru, berdasarkan UU No. 14/2005 Bab III, Pasal 7, ayat (1), ditegaskan, bahwa jabatan guru merupakan pekerjaan khusus yang dilaksnakan berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 
b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; 
d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; 
e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; 
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; 
g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; 
h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan 
i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

B. Kompetensi Tambahan Bagi Guru Yang memegang Jabatan Kepala Sekolah
Profesi kepala sekolah sebenarnya tidak bisa terlepas dari profesi guru, karena pada hakikatnya kepala sekolah adalah guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah (Peraturan Menteri pendidikan nasional No. 13/2007). Karena merupakan guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah, maka profesi ini tidak bisa terlepas dari profesi guru. Oleh karena itu pemegang jabatan kepala sekolah juga harus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan kepada guru. Dengan demikian kepala sekolah juga terikat dengan semua peraturan yang berkaitan dengan guru, terutama UU No. 14/2005 ditambah dengan beberapa perangkat peraturan khusus mengenai jabatan kepala sekolah. Semua persyaratan profesi guru, termasuk kewajiban memiliki sertifikat sebagai guru yang professional juga melekat pada jabatan kepala sekolah.

Dengan demikian kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang kepala sekolah sebagai pejabat professional dalam bidang kependidikan adalah meliputi 4 kompetensi yang diwajibkan pada guru berdasarkan UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, yaitu meliputi: (1) kompetensi pedagogig, (2) kompetensi kepribadian (personal), (3) kompetensi professional, dan (4) kompetensi sosial. Di samping keempat kompetensi di atas, bagi guru yang mendapatkan tugas tambahan sebagai kepala sekolah masih diharuskan menguasai 3 macam kompetensi tambahan seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 13/2007. Ketiga kompetensi tersebut adalah meliputi: (1) kompetensi manajerial, (2) kompetensi kewirausahaan, dan (3) kompetensi supervsi. 

Keempat kompetensi yang pertama (yaitu kompetensi sebagai guru professional) telah dibahas dalam pembahasan guru sebagai jabatan professional dalam bidang kependidikan. Sedangkan 3 kompetensi tamahan tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.

1. Kompetensi Manajerial.
Yang dimaksudkan dengan kompetensi manajerial dalam konteks kompetensi kepala sekolah tersebut adalah kompetensi yang berkaitan dengan merencanakan, melaksanakan, mengkordinasikan, memonitor atau mengawasi, dan menilai semua substansi program kegiatan di sekolah. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi manajerial kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 16 macam kompetensi sebagai berikut:
  • Menyusun perencanaan sekolah/madrasah untuk berbagai tingkatan perencanaan; 
  • Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah untuk berbagai kebutuhan; 
  • Memimpin sekolah/madrasah dalam rangka mendayagunakan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal’ 
  • Mengelola perubahan dan pengembangan madrasah/sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik; 
  • Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal; 
  • Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optimal; 
  • Mengelola hubungan sekolah/madrasah dengan masyarakat dalam rangka pencapaian dukungan ide, sumber belajar, dan pembiayaan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan serta pengembangan kapasitas peserta didik; 
  • Mengelola pengembangan kurikulum kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional; 
  • Mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan dan efisien; 
  • Mengelola ketata usahaan sekolah/madrasah dalam mendukung tujuan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah/madrasah; 
  • Mengelola sistem informasi sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan; 
  • Memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah, dan 
  • Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya. 
2. Kompetensi Kewirausahaan.
Kompetensi kewirausahaan yang dimaksudkan di sini adalah kompetensi dalam megusahakan dan memperjuangkan terciptanya kehidupan sekolah yang lebih baik, mau dan mampu bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah, memiliki motivasi untuk sukses dalam mengelola lembaga yang dipimpinnya, dan pantang menyerah dalam setiap usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.madrasah yang ia pimpin. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi kewirausahaan kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 5 macam kompetensi sebagai berikut:
  • Menciptakan inovasi yang berguna bagi pengembangan sekolah/madrasah; 
  • Bekerja keras untuk mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Memiliki motivasi yang kuat untuk sukses dalam melaksanakan pokok dan fungsinya sebagai pemimpin sekolah/madrasah; 
  • Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik dalam mengatasi kendala yang dihadapi sekolah/madrasah; dan 
  • Memiliki naluri kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/ madrasah sebagai sumber belajar peserta didik. 
3. Kompetensi Supervisi
Yang dimaksudkan sebagai kompetensi supervisi di sini adalah kompetensi supervise akademik dalam membina dan mengembangkan guru agar dapat mencapai peningkatan dalam kemampuan mengajar dan dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru. Dengan demikian kineja guru dalam pembelajaran diharapkan akan selalu meningkat. Dengan meningkatnya kineja pembelajaran guru tersebut diharapkan akan dapat dicapai kemajuan pendidikan di sekolah secara kontinyu. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi supervisi kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 3 macam kompetensi sebagai berikut:
  • Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru; 
  • melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervise yang tepat; dan 
  • menindak hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. 
Dengan berbekal 7 macam kompetensi tersebut diharapkan kepala sekolah/madrasah akan dapat sukses dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai kepala sekolah, yaitu sebagai pengelola dan Pembina serta pengembang semua aktivitas pendidikan di sekolah. Dalam pelaksanaan di lapangan, tidak semua kepala sekolah mampu menguasai 7 macam kompetensi tersebut secara baik. Untuk itulah diperlukan penilaian, pembinaan dan pengembangan dari pengawas sekolah. Dengan demikian pengawas sekolah juga harus menguasai kompetensi tersebut secara baik agar dapat melakukan tugas dan fungsinya secara baik. 

C. Hak dan Kewajiban Profesional Guru
Apabila guru telah memiliki keempat komponen kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, maka ia akan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat pemakainya (murid, masyarakat, dan stakeholders lainnya). Pelayanan yang diharapkan dari seorang tenaga profesional adalah pelayanan yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dari pada benda-benda material. Apabila seorang guru telah memiliki kompetensi tersebut di atas, maka menurut Winarno Surachmat (1973) guru tersebut telah memiliki hak profesional karena ia telah dengan nyata :
1) Mendapat pengakuan dan perlakuan hukum terhadap batas wewenang keguruan yang menjadi tanggung jawabnya.
2) Memiliki kebebasan untuk mengambil langkah-langkah interaksi edukatif dalam batas tanggung jawabnya dan ikut serta dalam proses pengembangan pendidikan setempat. 
3) Menikmati kepemimpinan teknis dan dukungan pengelolaan yang efektif dan efisien dalam rangka menjalankan tugas sehari-hari. 
4) Menerima perlindungan dan penghargaan yang wajar terhadap usaha-usaha dan prestasi yang inovatif dalam bidang pengabdiannya. 
5) Menghayati kebebasan mengembangkan kompetensi profesionalnya secara individual, maupun secara institusional.

Hak-hak profesional seorang guru yang dimaksudkan oleh Winarno Surachmat di atas, hingga saat ini memang belum dapat diaktualisasikan. Gagasan untuk memberikan hak-hak tersebut memang telah ada. Bahkan pada Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ditegaskan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru memiliki 11 macam hak profesional. Hak-hak tersebebut meliputi sebagai berikut:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum tersebut meliputi: 
(1) gaji pokok. Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(2) tunjangan yang melekat pada gaji, 
(3) tunjangan profesi. Tunjangan profesi sebagaimana dimaksudkan tersebut diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru;
(4) tunjangan fungsional, 
(5) tunjangan khusus. Tunjangan ini diberikan kepada guru yang bertugas di daerah khusus. Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru; dan 
(6) maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Maslahat tambahan ini menurut pasal 19 dapat berupa: tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

Di samping hak-hak istimewa guru tersebut, dalam UU No. 14/2005 guru juga diikat dengan berbagai kewajiban profesional. Kewajban tersebut dituangkan dalam Bab IV Pasal 20. Kewajiban profesional tersebut meliputi sebagai berikut:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Apabila dilihat hak dan kewajiban guru sebagaimana diuraikan tersebut, maka jabatan guru sebenarnya merupakan jabatan yang sangat prospektif, cukup menjanjikan kesejahteraan bagi pemegangnya. Sayangnya, hak-hak yang ada tersebut masih belum dapat direalisasikan sepenuhnya, sebab untuk merealisasikan hak-hak istimewa guru tersebut masih diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai acuan operasionalnya. Paling tidak UU No. 14 tersebut masih membutuhkan 8 buah Peraturan pemerintah (PP) untuk dapat diarealisaikan. Kita belum dapat mengetahui secara pasti, kapan Peraturan Pemerintah (PP) yang dibutuhkan untuk merealisasikan UU No. 14 tersebut dapat diwujudkan. Hingga saat ini satu PP pun yang diperlukan untuk itu belum diterbitkan. Rasa psimispun muncul, sebab 38 Peraturan Pemerintah (PP) yang dibutuhkan sebagai perangkat pelaksanaan UU No. 20/2003 yang lebih dulu saja hingga saat ini baru diterbitkan satu PP. lalu kapan giliran penerbitan PP yang berkaitan dengan UU No. 14/2005. Semoga UU No. 14/2005 ini tidak memberikan harapan yang hampa bagi guru.

Walaupun secara ideal hak-hak profesional seorang guru telah dirumuskan seperti diuraikan di atas, namun dalam kenyataan, kondisi-kondisi guru di Indoinesia saat ini masih jauh berbeda dengan harapan tersebut. Hak-hak profesional guru saat ini masih rendah. Dengan perkataan lain kondisi obyektif guru saat ini masih belum layak disebut sebagai jabatan profesional, karena dilihat dari penghasilannya, rata-rata guru masih mendapatkan penghasilan yang rendah, belum memenuhi standart hidup layak sebagai suatu profesi. Apa lagi apabila penghasilan tersebut masih harus dipotong untuk biaya pengembangan profesi, misalnya membeli buku-buku, mengikuti pendidikan, penataran membeli majalah profesi dengan biaya mandiri, tentu penghasilan tersebut akan sangat tidak mencukupi. Belum lagi apabila dilihat dari kebebasan inovasi dan kreativitas guru. Banyaknya peraturan yang bersifat teknis tentang pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di sekolah dapat menghambat kreativitas dan sifat inovatif guru, karena guru secara kaku harus mengikuti peraturan dan ketentuan yang telah ada. 

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa keberadaan profesi guru di Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya profesional; melainkan baru pada taraf embriyonal. Artinya profesi guru di Indonesia saat ini masih baru dalam taraf pertumbuhan, dan berada para taraf peralihan dari rutinitas ke profesional. Walaupun demikian tanda-tanda ke arah profesional telah nampak secara nyata, seperti upaya-upaya yang telah dilakukan sebagai berikut: 
1) adanya upaya meningkatkan taraf pendidikan para guru yang telah berdinas, semula untuk guru SD minmal D2, untuk SLTP minimal D3. Dan untuk SMU/SMK harus S1. Saat ini berdasarkan PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005, semua guru mulai dari TK hingga SLTA harus memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau D4 sesuai dengan bidang studi yang diajar. Semua itu dimaksudkan agar para guru selalu dapat mengikuti perkembangan keilmuan, terutama yang berkaitan dengan bidang profesinya, sehingga selalu dapat memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.

2) Di samping itu juga adanya perubahan pengakuan kedudukan jabatan guru dari pegawai biasa menjadi fungsional, yang ditandai dengan adanya perubahan sistem kenaikan pangkat dari regule ke kenaikan pangkat pilihan dan keharusan untuk mengumpulkan angka kredit tertentu untuk menduduki jenjang jabatan guru tertentu berdasarkan SK Menpan No. 26/1989. Pengakuan keprofesional jabatan guru tersebut kemudian diperkuat dengan UU 20/2003, PP. No 19/2005 dan kemudian UU No. 14/2005 tentang guru dan dosen.

3) Diberikannya tunjangan fungsional sejak tahun 1985, walaupun jumlahnya masih sangat kecil. Seiring dengan mulai diakuinya jabatan guru sebagai jabatan fungsional, maka guru mulai diberikan tunjangan fungsional yang besarnya menurut golongan pangkatnya. Pada awalnya tunbjangan fungsional guru diberikan menurut jenjang sekolah yang diajar, kemudian pemberian tunjangan tersebut didasarkan pada golongan pangkatnya tanpa memperhatikan di mana ia mengajar. Hal itu merupakan bukti kongkrit adanya pengakuan jabatan guru sebagai jabatan profesional, meski belum optimal. Akan tetapi dengan adanya UU No. 14/2005 tentu penghargaan guru sebagai jabatan profesional akan lebih besar lagi.

Upaya-upaya itulah yang kita anggap sebagai indikator positif untuk menuju profesionalisasi jabatan guru secara penuh di Indonesia. Tentu saja masih banyak faktor penentu jabatan profesional yang harus dipenuhi untuk menunju pada era jabatan profesinal guru secara penuh.

D. Faktor Penetu Profesi Guru
Meskipun saat ini telah ada Undang-undang tentang Guru dan dosen, yaitu UU No. 14/2005, namun keberadaan profesi guru di Indonesia hingga saat ini masih berada pada taraf embriyonal, walaupun demikian tanda-tanda ke arah profesional yang sebenarnya telah nampak. Penerapan Undang Undang No. 14 tersebut masih membutuhkan waktu yang panjang, karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh pemerintah, terutama dari segi keuangan negara. Penerapan undang-undang tersebut membutuhkan biaya yang cukup mahal. 

Dari berbagai kajian dapat dikemukakan, bahwa keberadaan profesi guru, dalam arti kuat-tidanya posisinya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut anta lain adalah sebagai beriku: (1) akuntabilitas rata-rata LPTK rendah, (2) pendidikan dalam jabatan (inservice training) kurang baik, (3) organisasi profesi lemah, (4) kode etik profesi longgar, (5) penghargaan terhadap jabatan guru selama ini kurang baik, dan (5) kurang adanya perlindungan jabatan. Kelima faktor tersebut dibahas lebih rinci pada bagian berikut ini.

1. Akuntabilitas LPTK Rata-Rata Rendah. 
Akuntabilitas program LPTK sebagai penghasil tenaga kependidikan hingga saat ini rata-rata umumnya masih rendah. Hal itu dapat dimaklumi, sebab dilihat dari program/kurikulum, tenaga pengajar, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan dan input atau masukannya masih kurang memenuhi standart. Hal yang demikian ini dapat berpengaruh terhadap mutu lulusan yang dihasilkan. Karena mutu lulusa yang dihasilkan rendah, maka keterpercayaan terhadap lembaga ini huga rendah. Dampak lebih lanjut dari hal ini adalah adanya penghargaan yang rendah pada para lulusan. Kondisi yang demikian ini semakin diperparah dengan kontrol yang kurang ketat terhadap keberadaan LPTK-LPTK yang kurang memenuhi persyaratan dan penyelenggrraraan pendidikannya yang carut-marut di beberapa LPTK pinggiran, maka hal itu semakin memberikan image, bahwa penyelenggara pendidikan guru kurang profesional.

Akuntabilitas kurikulum sebagian besar LPTK cukup rendah. LPTK kurang akomodatif dalam penyusunan dan pengembangan kurikulumnya. Umumnya LPTK menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri, tanpa melibatkan kebutuhan ataupun tuntutan kebutuhan stake-holder lainnya sehingga tidak dapat mengakomodasikan kebutuhan riil profesi di lapangan. Mestinya penyusunan dan pengembangan kurikulum LPTK perlu melibatkan kelompok-kelompok profesi, pengamat dan pengguna lulusan LPTK sehingga kurikulumnya dapat relevan dengan kebutuhan riil di lapangan.

Demikian pula mengenai tenaga pengajar LPTK. Umumnya tenaga pengajar pada LPTK, terutama pada beberapa LPTK swasta kurang memenuhi persyaratan professional maupun akademis tertentu. Banyak dosen LPTK yang asal-asalan, baik dari segi kesesuaian atau relevansi matakuliah yang diampu dengan bidang keahliannya dosen pengampunya, maupun dari segi jenjang pendidikan yang kurang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 14 tahun 2005 serta PP No. 19 tahun 2005. Hal demikian itu menyebabkan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh para tenaga dosen tersebut kurang. Dampak lebih lanjut, hal itu dapat mengurangi keterpercayaan pada lulusan LPTK yang dihasilkan. Bahkan dampak yang lebih parah adalah adanya generalisasi terhadap semua lulusan LPTK, sebab para lulusan tersebut sulit didentifikasi beral dari LPTK mana.

Manajemen dan faktor kepemimpinan lembaga juga turut menjadi salah satu penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Banyak LPTK yang dimanaj asal-asalan, baik yang berkaitan dengan manajemen pembelajaran atau akademik, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, maupun substansi bidang manajemen lainnya kurang berjalan dengan baik. Dari sisi manajemen akademik misalnya, banyak LPTK yang menyelenggarakan perkuliahan asal-asalan dan kurang menunjukkan proses pembelajaran yang baik. Ada LPTK yang menyelenggarakan kelas jauh dan diselenggarakan di tempat yang kurang memenuhi persyaratan (seperti di gedung SD), demikian juga perkuliahan dilaksanakan secara borongan setiap seminggu sekali, bahkan ada yang sebulan sekali serta tidak menuntut kehadiran mahasiswanya secara optimal. Hal ini tentu saja akan menghasilkan lulusan yang kurang berkualitas. Lebih-lebih perkuliahan diselenggarakan dengan dosen dan sarana prasarana seadanya, maka hal itu akan lebih memperburuk kualitas lulusan LPTK dan selanjutnya jika lulusan LPTK tersebut diangkat menjadi guru, maka hal tersebut akan dapat memperpuruk citra guru sebagai tenaga profesional dalam bidang pendidikan. 

Banyak temuan kasus dalam pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), pelatihan guru-guru yang tidak lulus sertifikasi profesi guru melalui jalur portofolio di rayon 16 (Universitas Jember) yang menunjukkan, bahwa guru tidak memenuhi kreteria profesional, khususnya dalam penguasaan bidang studi yang harus diajarkan. Banyak guru yang mengikuti sertifikasi dalam bidang pendidikan bahasa Inggris, tetapi ketika praktik mengajar (peer teaching), mereka tidak bisa dan bahkan tidak berani mengajar Bahasa Inggris ataupun banyak salah konsep dalam melakukan pembelajaran. Demikian juga dalam kasus guru matematika, banyak guru peserta PLPG tersebut ternyata juga membuat kesalahan konsep yang sangat mendasar dalam melaksanakan pembelajaran dalam peer teaching, pada hal mereka sudah menjadi guru cukup lama. Inilah diantaranya merupakan salah satu dampak dari proses pendidikan calon guru yang dilaksanakan dengan kurang baik dan asal-asalan. Semua itu jika tidak segera diatasi akan dapat semakin memperpuruk citra profesi guru.

Di samping itu, faktor kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan dan rendahnya pembiayaan pendidikan juga merupakan salah satu kendala dalam meningktkan kualitas proses dan hasil pembelajaran pada sebagian besar LPTK. Sebagian besar LPTK memiliki kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan yang cukup memprihatinkan. Bahkan beberapa komponen sarana yang vital sekalipun tidak dimiliki, seperti laboratorium bahasa, laboratorium IPA, laboratorium microteaching, serta peralatan pembelajaran lainnya. Hal demikian itu menyebabkan kurang optimalnya proses pembelajaran yang berlangsung. Belajar nahasa, misalnya tidak dapat mempraktikkan dalam laboratorium sehingga tingkat akurasinya kurang. Demikian pula dalam belajar fisika juga tidak dapat dilakukan dengan percobaan-percobaan laboratorium. Belajar fisika hanya dilakukan dengan ceramah dan diskusi, sehingga sampai terlontar sindiran, apakah ini sedang belajar fisika ataukah “sastra fisika”? Sindiran itu muncul karena pembelajaran fisika yang seharusnya banyak dipraktikkan ternyata hanya dilakukan dengan cerita belaka, bagaikan pembelajaran sastra. Demikian juga dari segi biaya pendidikan, umumnya LPTK merupakan perguruan tinggi yang miskin, sehingga pembiayaan proses pembelajaran yang berlangsung juga sangat minim. Padahal pembelajaran yang berkualitas sanga memerlukan pembiayaan yang cukup mahal, baik untuk kesejahteraan dosennya, maupun untuk biaya-biaya operasional pembelajaran yang lainnya. Dampak dari hal itu akan menyebabkan kurang berkualitasnya lulusan yang dihasilkan LPTK, dan dampak lebih lanjut hal itu adalah dapat mengurangi akuntabilitas LPTK yang ada.

Rendahnya input LPTK juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Secara sistemik kesemua komponen pembelajaran di LPTK memang sangat berpengaruh, termasuk berpengaruh pada masukan atau input LPTK tersebut. Sebagai suatu misal, karena keberadaan jabatan guru masih belum menarik, maka hal itu dapat berdampak pada perolehan input yang kurang berkualitas juga. Para siswa SLTA yang potensial umumnya tidak tertarik untuk memasuki lembaga pendidikan guru, dan mereka lebih cenderung untuk memilih profesi-profesi yang keren dan bergengsi, seperti dokter, teknologi, farmasi, komputer dan lain sebagainya karena profesi tersebut lebih menjanjikan nasib mereka di masa yang akan datang. Dengan tidak dapat direkrutnya input yang berkualitas, maka hal itu akan berdampak pada kurang berkualitasnya lulusan LPTK, dan dampak lebih lanjut hal itu adalah dapat mengurangi akuntabilitas LPTK itu senndiri.

2. Pendidikan Dalam Jabatan (inservice training) Kurang Baik 
Pembinaan guru melalui penataran selama ini dirasa kurang intensif, kurang mengena sasaran, sehingga dapat mempengaruhi mutu guru. Penataran ternyata tidak dapat meningkatkan profesional-itas guru. Penataran hanya dapat menambah pengetahuan guru dan belum ada bukti mampu mengubah prilaku dan sikap profesionalisme guru. Bahka hasil penelitian menunjukkan, bahwa para guru yang ditatar dan yang tidak ditatar menunjukkan perilaku yang sama dalam hal penerapan CBSA sebagai pembaharuan pendidikan (Sulthon, 1997). Banyak kegiatan penataran yang dilakukan dengan sia-sia, sebab tidak diawali dengan identifikasi kebutuhan riil di lapangan. Penataran umumnya dilakukan dengan pendekatan “top-down”, sehingga materi penataran kurang menyentuh kebutuhan riil di lapangan. Dampaknya guru yang ditatar kurang berminat terhadap materi penataran yang disampaikan. 

Di samping itu, permasalahan lain dari lemahnya penyelenggaraan penataran tersebut adalah berkaitan dengan tenaga penatar atau pelatihan. Kebanyakan tenaga penatar atau pelatih yang ditugasi untuk melatih kurang menguasai materi dengan baik. Demikian pula jika dilihat dari proses penyelenggraan penataran juga kurang tepat. Selama ini penataran guru sering tidak didasarkan atas kebutuhan riil para guru. Kebanyakan penataran dilaksanakan aas keinginan pengambil kebijakan, dan bukan didasarkan atas kebutuhan guru di lapangan, sehingga hasil penataran juga kurang optimal.

Semestinya penataran diselenggarakan berdasarkan hasil pemetaan kebutuhan guru di lapangan. Sebelum penataran perlu dilakukan identifikasi kebutuhan guru. Pemetaan kebutuhan guru juga dapat dilakukan berdasarkan hasil ujian nasional (UNAS/UN). Dari hasil UN tersebut dapat dipetakan kebutuhan guru di lapangan. Jika hasil UN di daerah tertentu menunjukkan, bahwa sebagian besar siswa di daerah tertentu nilai matematikanya jelek, maka guru matematika memerlukan penataran matematika, jika bahasa Inggris rata-rata jelek, maka guru bahasa Inggris perlu mendapatkan penataran, dan sebagainya. Dengan demikian program penataran guru akan menjadi lebih fungsional dan mengena pada sasaran yang diharapkan. 

3. Organisasi Profesi Guru Lemah
Keberadaan organisasi profesi guru yang ada hingga saat ini masih rendah. Organisasi tersebut masih sering terpancing pada kegiatan-kegiatan non-profesional, seperti politk dan kepentingan tertentu yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan profesional. Dengan demikian fungsi organisasi sebagai alat untuk pengembangan dan perjuangan kelompok profesi kurang optimal. 

Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi organisasi profesi guru. Organisasi profesi guru hasus diorientasikan pada pengembangan profesionalitas guru dengan cara sering melakukan identifikasi kebutuhan dan permasalahan profesional, serta menindaklanjuti dengan pembinaan kepada anggotanya. Organisasi ini juga harus dapat mengendalikan keanggotaannya secara ketat, artinya hanya mereka yang memenuhi persyaratan sebagai guru saja yang dapat diterima menjadi anggota dan berpraktik sebagai guru, meskipun mengajar di swasta. Organisasi ini juga harus memegang kendali profesi, dalam pengertian bahwa organisasi ini juga harus berperan dalam memberikan rekomendasi kelayakan bagi setiap orang yang akan berpraktik sebagai guru. Jika organisasi ini belum memberikan rekomendasi, maka siapapun, termasuk pemerintah tidak boleh memberikan ijin atau mengangkatnya sebagai guru. Untuk melaksanakan tugas ini, perlengkapan organisasi harus dibenahi secara baik.

Di samping itu, organisasi ini juga harus dapat menciptakan solidaritas profesi yang tinggi di antara anggotanya. Sesama anggota organisasi profesi harus ditumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling membutuhkan, rasa saling mengisi, dan rasa saling memilki yang tinggi. Solidaritas yang tinggi ini terutama dibutuhkan untukm peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan para anggotanya. Jika hal itu dapat diwujudkan, maka nilai bargaining organisasi ini juga akan tinggi. Organisasi ini akan diakui dan disegani siapa saja, baik oleh masyarakat, pemerintah, maupun kelompok profesi lainnya. Dengan demikian, maka keberadaan profesi guru di masa akan datang akan dapat terangkat kredibiltasnya. 

4. Kode Etik Profesi Guru Longgar 
Kode etik sebagai landasan moral dan rambu-rambu tingkah laku bagi setiap anggota sangat mempengaruhi kuat-tidaknya suatu profesi. Hingga saat ini kode etik profesi guru kurang dapat berfungsi dengan baik. Kode etik tersebut kurang ”membumi” dan terkesan sebagai pelengkap organisasi saja. Bahkan kebanyakan guru kurang mengenalnya dengan baik. Akibatnya, kode etik tersebut kurang mewarnai perilaku guru dalam menjalankan tugas sehari-hari. 

Permasalahan lain, di negeri kita ini yang merasa terikat dengan berbagai peraturan hanyalah guru negeri, sedangkan guru swasta tidak merasa terikat. Selama ini guru swasta merasa terbebas dari segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, karena mereka tidak dibayar oleh pemerintah. Pada hal jumlah guru swasta cukup banyak, dan bahkan kemungkinan bisa lebih banyak dari pada guru negeri. Demikian pula, jika terjadi kasus pelanggaran pada salah satu guru, meskipun itu guru swasta dampaknya cukup luas bagi profesi guru secara keseluruhan. Hal inilah yang perlu segera aicarikan solusinya. Kode etik guru harus dikembangkan dan disosialisasikan secara terus menerus, baik pada guru negeri maupun swasta, dan bahkan kepada calon guru. Apabila perlu kode etik guru harus masuk dalam kurikulum pendidikan guru. Dengan demikian ”jiwa guru” yang melekat pada kode etik guru tersebut telah dapat dihafal dan dijiwai oleh para calon guru sejak dalam proses pendidikan guru. Bila ini dapat dicapai, maka di masa mendatang tidak akan ada guru yang masih asing lagi terhadap kode etik jabatan guru. 

5. Penghargaan terhadap Jabatan Guru Kurang Baik
Nilai suatu jabatan salah satu di antaranya adalah ditentukan oleh tinggi rendahnya penghargaan terhadap jabatan tersebut. Jika jabatan tersebut mendapat penghargaan yang tinggi (terutama penghargaan finansial atau gaji tinggi), maka jabatan tersebut dapat dianggap bernilai tinggi sehingga dihargai dan diminati banyak orang. Sebaliknya jika dari jabatan tersebut tidak dapat memberikan penghasilan yang tinggi, maka jabatan tersebut dianggap kurang bernilai tinggi sehingga kurang dihargai dan kurang diminati banyak orang.

Jabatan guru selama ini termasuk jabatan yang kurang mendapatkan penghargaan yang layak. Gaji dan penghasilan guru selama ini sangat rendah. Penghasilan yang diperoleh dari jabatan guru selama ini kurang dapat menjamin kelayakan hidup keluarga, apa lagi untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Bahkan banyak di antara para guru terpaksa harus mencari tambahan penghasilan lain di luar profesinya, seperti menjadi ”tukang ojek” seusai mengajar atau bekerja di sektor pertukangan dan jasa lainnya. Semua itu jelas dapat menurunkan nilai jabatan guru.

Apabila hal-hal tersebut tidak segera ditangani secara baik, maka sampai kapanpun jabatan guru tidak akan memperoleh penghargaan yang baik. Dampak lebih jauh adalah kurang tertariknya generasi muda untuk menjadi guru. Bila hal itu terjadi, maka upaa untuk mendapatkan guru-guru yang baik akan sulit diwujudkan, sebab dengan kurang menariknya jabatan guru tersebut, maka generasi muda yang baik dan potensial akan enggan menadi guru, ia akan memilih profesi lain yang lebih menarik.

Untuk meningkatkan keberadaa profesi guru tersebut kiranya perlu segera direalisasikan hak-hak guru yang tercantum dalam UU No. 14 tahun 2005. Apabila hal itu te;lah dilaksanakan, maka di masa yang akan datang, profesi guru akan menjadi profesi yang cukup bergengsi. Dengan demikian profesi guru akan menjadi profesi yang diminati, termasuk generasi muda yang baik dan potensial.

6. Kurang Adanya Perlindungan Jabatan Guru
Selama ini profesi guru kurang mendapatkan perlindungan secara hukum. Ringannya persyaratan menjadi guru, terutama di lembaga swasta dapat menurunkan keberadaan profesi ini. Profesi ini terkesan “murahan”, dan siapa saja boleh memangkunya. Kondisi yang demikian ini membuat keberadaan profesi guru menjadi lemah. Untuk meningkatkan keberadaan profesi guru tersebut perlu adanya persyaratan yang ketat untuk menjadi guru, baik pada sekolah-sekolah negeri, maupun swasta. Siapa saja yang melakukan tugas sebagai guru harus memiliki sertifikat kelayakan sebagai guru yang memadai. 

Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidkan dan UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, ditegaskan bahwa guru mulai TK hingga SLTA harus memiliki ijazah minimal S1 atau D-IV. Hal itu mestinya harus diterapkan secara ketat. Demikian pula pengawasan dan sangsi terhadap pelanggarannya juga harus dilakukan secara ketat pula. Seharusnya, siapa saja yang berpraktik sebagai guru tanpa memiliki sertifikat kelayakan sebagai guru yang sah dan siapa saja yang menggunakan/memperkerjakan seseorang sebagai guru tanpa disertai sertifikat sebagai guru yang sah dinyatakan bersalah dan dapat ditindak secara tegas. Dengan cara demikian itu diharapkan keberadaan profesi guru akan terlindungi.
 

Kumpulan Artikel News Copyright © 2011-2012 | Powered by Blogger